TUGAS
ACARA AGAMA HINDU II
“EKSESTENSI UPACARA MEPANDES
DALAM MASYRAKAT UMUM”
Dosen
Pengampu: Drs. I Ketut Indrayasa, M.Pd.H
IHDN
DENPASAR
OLEH :
NI MADE
SULIARTINI
NIM :
10.1.1.1.1.3864
P.A.H.
V.B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
KATA
PENGANTAR
“Om
Swastyastu”
Puja dan
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ide Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
asung kerta waranugraha-Nya penulis dapat menyusun makalah yang berjudul tentang “ Eksestensi Upacara Metatah (potong gigi)
dalam Masyarakat Umum” , dengan
baik dan tepat waktu . Penulis menyusun makalah ini yaitu untuk memenuhi
tugas mata kuliah Acara Agama Hindu
II. Dan penulis juga ingin
mengetahui tentang upacara potong gigi, Karena sangat berguna bagi penulis
dalam membantu pengetahuan peenulis
dalam mata kuliah Acara Agama Hindu II.
Dalam
penyusunan makala ini banyak pihak yang telah membantu penulis . diantaranya:
Dosen pengampu matakuliah Acara Agama Hindu II, yaitu bapak Drs. I Ketut Indrayasa, M.Pd.H. Penulis ucapakan terima kasih kepada beliau karena
berkat bimbingan beliau penuis dapat
menyusun makalah ini. Dan ucapan terima kasih kepada teman-teman dan keluarga
atas bantuan dan partisipasinya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna, maka dari itu penulis mengharapakan kritik dan saran dari pembaca
demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang ini ada manfaatnya bagi para pembaca.
“Om Santih, Santih,Santih, Om”
Singaraja,
Desember, 2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Upacara
Yadnya merupakan koraban suci yang tulus iklas serta langkah yang diyakini
sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena Yadnya merupakan
salah satu penyangga bumi, karena alam semesta ini diciptakan dengan Yadnya.
Dan Yadnya juga merupakan perputaran kehidupan yang dalam Bhagawad-Gita
disebutkan Cakra Yadnya. Apa bila cakra Yadnya ini tidak berpur maka kehidupan
ini akan mengalami kehancuran.
Adapun
bagian-bagian dari Yadnya yaitu: Dewa Yadnya yaitu upacara yang ditujukan
kepada para Dewa / Ide Sang Hyang Widi, Bhuta Yadnya yaitu upacara yang
ditujuka kepada mahluk bawahan nyata dan mahluk bawah yang tidak dengan memeberikan penyupatan, Rsi Yadnya
upacara seperti mediksa yang berkaitan dengan orang suci, Pitra Yadnya yaitu
upacara untuk para leluhur atau yang umum dilakukan di Bali yaitu ngaben, dan
Manusa Yadnya yaitu upacara pada manusi dari masih kandungan sampai dewasa.
Dimasing-masing Yadnya yang diselenggarakan sudah barang tentu upakara atau
bantennya berbeda-beda sesui dengan Yadnya yang diseleggarakan.
Upacara
manusa Yadnya yang menyangkut upacara pada manusia dari lahir hingga dewasa.
Mulai dari upacara magedong-gedongan (bayi
dalam kandungan), upacara bayi lahir, upacara kepus pengsed, upacara nelepas Hawon/ upacara 12 hari,
upacara tutug kekambuhan, upacara tigabulanan atau nyambutin, upacara satu
oton, upacara tumbuh gigi, upacara makupak, upacara munggah deha, upacara
mapandes (upacara ptong gigi), upacara wiwaha (upacara perkawinan).
Mepandes
(potong gigi) merupaan salah satu upacara manusa yadnya. Dalam makalah ini
penulis akan membahas tentang upacara Mepandes, karena upacara ini perlu diketahui. Kemungkinan saja
ada yang belum mengetahui seperti apa upacara mepandes itu, serta rangakina
upacara dan banten yang digunakan. Karena setiap yadnya memang saranannya
banten namun banten yang digunakan itu tidak sama sesuia dengan jenis upacara
yang dilaksankan.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Bagaimana pengertian dan makna upacara
mepandes (potong gigi)?
1.2.2
Apa tujuan pelaksanaan upacara mepandes (potong gigi)?
1.2.3
Bagaimana rangkaian upacara mepandes
(potong gigi)?
1.2.4
Bagaimana mantram dalam upcara mepandes (potong
gigi)?
1.2.5
Bagaimana metologi upacara mepandes
(potong gigi)?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan Umum
Setiap
penulisan tentunnya memiliki tujuan, adapun tujuan umum yang ingin dicapai,
yaitu dengan mempelajari Manusa Yadnya khususnya upacara Mepandes (Potong
Gigi), sangat berguna nantinya di imfelemntasikan dalam kehidupan di masyrakat.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.3.1
Ingin mengetaui pengertian dan makna
upacara mepandes (potong gigi).
1.3.2
Ingin mengetaui tujuan pelaksanaan upacara mepandes (potong gigi).
1.3.3
Ingin mengetaui rangkaian upacara
mepandes (potong gigi).
1.3.4
Ingin mengetaui mantram dalam upcara
mepandes (potong gigi).
1.3.5
Ingin mengetaui metologi upacara
mepandes (potong gigi).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Makna Upacara Mepandes
(Potong Gigi)
Adapun sastra
suci yang melandasi pelaksanaan upacara mepandes antara lain disebutkan dalam:
a.
Lontar Kalapati
b.
Lontar Kala Tattwa
c.
Lontar Smaradhana
Dalam
Lontar kalapati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda
perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi
dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat
bertemu dengan para leluhur di sorga Loka. Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa
Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan
ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong.Oleh karena itu, manusia hendaknya
menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di
sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa
Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa NIlarudraka yang menyerang sorgaloka
dengan menggunakan potongan taringnya.
2.1.1. Pengertian Mepandes
Dalam
bahasa Bali di sebutkan dengan istilah “Nandes” dengan mendapatkan awalaan “me”
yang akhirnya mepandes. Nandes sama artinya dengan tekan atau menekan sehingga
menjadi mepandes yaitu: menekan. Bukan hanya menekan akan tetapi dilanjutkan
dengan mengasah sehingga menjadi rata dan rapi.
Mepandes atau potong gigi sama, bila disebutkan mepandes yaitu pada saat
Mangku Sanggih akan melaksanakan memahat gigi yang empat yaitu gigi seri dan
dua gigi taring bagian atas secara simbolis kemudian dilanjutkan dengan
pemotongan gigi (mengasah) dengan meempergunakan kikir. (Swastika.2010: 29).
2.1.2 Makna upacara mepandes
1.
Adapaun makna yang dikandung dalam upaca
mapandes ini adalah: Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa,
yakni
manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan
makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata.
Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi
sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgita.
2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa,
karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajna, menumbuh-kembangkan
keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan,
mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat
manusia.
3. Secara spiritual, seseorang yang telah
disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para
dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Atma yang
bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Pitraloka).
4. Magumi Padangan.
Upacara ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung
makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga
adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab
untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan
waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur
5. Ngekeb. Upacara ini dilakukan di meten atau
di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan
diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang
disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa
loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
6. Mabhyakala. Upacara ini dilakukan di halaman
rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi
dari unsur-unsur Bhuta Kala, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun
karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacara ini juga disebut
Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut
Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
4. Persaksian dan
persembahyangan ke Pamarajan. Upacara ini mengandung makna untuk:
1)
Memohon wara nugraha Hyang Guru dan
leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan
upacara potong gigi.
2)
Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan
dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya,
karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava,
pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Siva,
sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.
3)
Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat
keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
4)
Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon
kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.
5)
Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara
suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui
ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci,
lahir dan batin.
6)
Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang
Widhi Siva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacara ini seperti simbolik
Sang Hyang Siva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatara Kala.
Demikianlah
sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacara Mapandes, yang tidak lain
guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Sraddha dan Bhaktinya kepada
Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.
2.2. Tujuan Upacara Mepandes (Potong Gigi)
Tujuan
upacara mepandes dalam lontar kalapati disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan
dari gerigi adalah enam buah yaitu dua buah taring dan empat gigi seri bagian
atas. pemotongan enam gigi itu melmbangkan symbol pengendalian terhadap Sad
Ripu (enam musuh daalm diri manusia) yang meliputi:
1. Kama
(hawa nafsu)
2.
Loba (rakus/tamak/keserakahan)
3.
Krodha (marahan)
4.
Mada (mabuk)
5.
Moha (bingung)
6. Matsarya
(Iri hati/ dengki) (Swastika.2010: 30-31)
Dan
pula tujuan dari pelaksaan upacara mepandes ini selain untuk mengendalikan Sad
Ripu yang ada pada diri manusia. Diataranya:
1. Melenyapkan
kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat
kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan
sebagai sifat Bhuta, Kala, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui
pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena
berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
2. Dengan
kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan
Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya
seseorang akan dapat meningkatkan Sraddha dan Bhakti kepada-Nya.
3. Menghindarkan
diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu
meningkatkan kesucian pribadi.
Merupakan
kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan
untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan
Yajna dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti,
menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar
menjadi seorang putra yang suputra.
2.3 Rangkaian Upacara Mepandes (Potong Gigi)
Upacara
ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan mapetik, dan
penambahan upakaranya tidaklah begitu banyak. Seluruh rangkain upacara yang
diawali dengan persiapan, pelaksanaan dan diakhiri dengan pejaya-jaya sebagai
penutup. Secara upacara di awali dari pembersihan diri anak dari pengaruh negatif bhutakala selanjutnya dilakukan pengekeban
dan dilanjutkan dengan merajah, naik kebalai penatahan turun mengijak peras ,
muspa bersama dan berakhir dengan mejaya-jaya.
2.3.1
Persiapan
upacara mepandes (potong gigi)
1. Persiapakan
tempat untuk potong gigi, yang dibuat seperti tempat upacara manusa yadnya,
dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergamar smara-ratih atau dengan alas
yang sejenisnya.
2. Bale
Gading : Bale gading ini dibuat dari bambu gading (yang lain) dihiasi dengan
bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta di dalamnya diisi banten
peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci), canang
buratwangi, canang sari dengan raka-raka : kekiping, pisang mas, nyahnyah gula
kelapa dan periyuk/ sangku berisi air serta bunga 11 jenis. Bale- gading adalah
sebagai tempat Sanghyang Semara-Ratih.
3. Kelapa
gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “Ardanareswari” (gambar
Semara Ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat “ludah” dan
“singgang-gigi” yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading ini dipendam
di tempat yang biasa untuk maksud tersebut.
4. Untuk
singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga potong tebu
malem/ tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1cm atau 1 setengah cm.
5. “Pengilap”
yaitu sebuah cincin bermata mirah.
6. Untuk
pengurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih, dan
kapur.
7. Sebuah
bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat. (Biasanya “pengilap” yang tersebut
di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula pengurip-urip” nya.
8. Sebuah
tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan gambir (di
dalam lekesan itu sudah berisi kapur).
9. Rurub
berupa kain yang dipakai menutupi badan pada waktu upacara, diharapkan kain
yang dipakai adalh kain baru (sukla), dan sanggih adalaah rurub putih kuning
bertulis rerajahan Semara-Ratih.
10. Banten
“tetingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan
agung).
11. Bokor
berisi bunga dan kuwangen, kelengkapan untuk muspa saat baru naik dan akan
mulai mepandes.
2.3.2
Persiapan
banten yang akan digunakan antara lain:
2.3.2.1
Banten untuk Mepandes
1. Upakara
yang paling kecil
Banten
pabyakalaan, prayascita, pengelukatan, dan tataban seadanya.
2.
Upakara yang lebih besar
Seperti
diatas, tetapi tatabannya memakai pulagembal.
2.3.2.2
Banten untuk sanggih
1. Satu
soroh banten suci
2. Peras,
Sodan ditambah tipat
3. Canang
dan sesari
4. Satu
helai kampuh yang telah memakai tepi, biasanya kampuh kuning.
5. Arak,
berem, tirta, panasta dan pengasepan
2.3.2.3
Banten sekaa gender dan kidung
1. Banten
Pejati
2. Peras
3. Sodan
2.3.3 Tata cara pelaksanaan upacara mepandes.
Seperti biasa dilakukan upacara
mabyakala dan maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Batara Surya, dan Sang
Hyang Semara Ratih. Acara dilanjutkan dengan upacara Pengekeban, yang
selanjutnya orang yang akan diupaacarai naik balai tempt upacara Mepandes
(potong gigi). Serta duduk menghadap ke hulu (ke luanan). Pimpinan upacara
mengambil cincin yang akan dipakai untuk nga- “rajah” pada beberapa tempat
yaitu :
Pada dahi (antara kedua kening) dengan huruf ()
Pada taring sebelah kanan dengan huruf ()
Pada gigi atas dengan huruf ()
Pada gigi bawah dengan huruf ()
Pada lidah bawah dengan huruf ()
Pada dada dengan huruf ()
Pada nabi puser dengan huruf ()
Paha kanan dan kiri
dengan huruf ().
Penulisan “Rerajahan”
tersebut sesuai dengan pilihan pimpinan upacara (Sangging) yang memimpin
upacara Metatah tersebut. Setelah itu diperciki “tirtha pesangihan”, kemudian
ditidurkan menengadah, ditutupi dengan kain/ rurub dan selanjutnya acara
dipimpin oleh “sangging” yaitu orang yang bisa melaksanakan hal tersebut. Tiap
kali “pedangal” diganti; Ludah serta pedangal yang sudah dipakai dibuang ke
dalam “kelungah” kelapa gading. Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi
pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan
sirih (ludahnya ditelan tiga kali), dan sisanya dibuang ke dalam kelapa gading.
Sore hari (setelah berganti pakaian) dilaksanakan acara natab/ ngayab dipimpin
oleh sulinggih atau orang yang wajar untuk maksud tersebut.
Setelah selasai merajah kemudian dilanjutkan dengan
prosesi yang selanjutnya. Diantaranya:
1.
Pendeta
atau orang yang terhormat dalam upacara ini minta restu di tempat suci, lalu
anak anak atau remaja yang akan melaksanakan potong gigi dipercikan air
suci/tirta, setelah itu mereka memohon keselamatan untuk melaksanakan upacara.
2.
Pendeta
melakukan potong rambut dan menuliskan lambang lambang suci dengan tujuan
mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia, untuk
meninggalkan masa kanak kanak ke masa remaja.
3.
Anak-anak
yang akan di potong giginya naik ke bale tempat pelaksaaan Mepandes dengan
terlebih dahulu menginjak sesajen yang telah disediakan sebagai symbol mohon
kekuatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa(Tuhan Yang Maha Esa).
4.
Setelah
pemotongan gigi berlangsung, bekas air kumur kumur dibuang di dalam
buah kelapa gading, ini bertujuan agar tidak mengurangi nilai
kebersihan dan kesakralan dalam menjalankan upacara ini.
5.
Lalu
dilanjutkan dengan melakukan penyucian diri oleh pendeta agar dapat
menghilangkan bala/kesialan untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6.
Melaksanakan Mapedamel yang
bertujuan sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi
Ratih agar dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang
yang bijaksana, dalam mengarungii kehidupan di masa datang. Di saat melakukan
upacara ini anak anak mengenakan kain putih dan kuning, memakai benang pawitraberwarna tridatu (merah,
putih dan hitam) sebagai simbol pengikat diri terhadap norma norma agama,
kemudian anak anak yang dipotong giginya mencicipi 6 rasa (pahit, asam,
pedas, sepat, asin dan manis) yang mempunyai arti dan makna makna
tertentu.
7.
Setelah
proses mapedamel dilakukan, dilanjutkan dengan upacara Natab
Banten, yang bertujuan memohon anugerah kepada Hyang Widhi agar apa yang
menjadi tujuan dapat tercapai.
8.
Setelah
proses upacara tersebut dilakukan dilanjutkan dengan Metapak,
tujuan adalah memberitahukan kepada anak nya bahwa kewajiban sebagai orang tua
dari melahirkan, mengasuh dan membimbing sudah selesai, diharapkan sang
anak kelak setelah upacara ini menjadi orang yang berguna, sebaliknya si
anak kepada orang tua nya menghaturkan sembah sujud ungkapan terima
kasih sudah dengan susah payah berkorban jiwa dan raga untuk melahirkan
mereka, mengasuh, membesarkan, mendidik dan membimbing mereka menuju
jalan yang baik dan benar sampai dewasa. (Ida Pandita Sri Bhagawan
Dwija Warsa Nawa Sandhi.
2.3.4 Upacara mepandes untuk sawa
Suatu
kenyataan terkadang ada dan terjadi di kehidupan masyatrakat adalah belum
semapatnya terlaksana upacara pitotng
gigi pada anak. Mengingatkan kejadian tidak dapat dipredeksi sehingga hsl ini
dapat dan bisa terjadi, anak telah keburu meinggal sehingga upacara potong gigi
belum terlaksana semasih hidupnya. Atas kejadian ini, jelas sebagai suatu
bhakti aka nadanya upacara mepandes (potong gigi) tidak tertutup kemungkinan
akan terlaksana setelah meninggal dunia (jenazah). Akan tetapi tiada dibenarkan
pula potong gigi pada sawa. Upacara mepandes (potong gigi) itu bisa dilakukan
untuk sawa (jenazah) hanya saja ketentunanya harus ditaati, yaitu tiada
melakukan sebagaiman upacara potong gigi paada manusia hidup yaitu hingga mengasahnya.
Akan tetapi cukup hingga mepandes saja dengan selanjutnya dilakukan seolah
mengasah (mengoles) hanya saja menggunakan bunga teratai putih yang masih
kuncup.
2.4
Beberapa
Mantra Dalam Upacara Mepande (Potong Gigi)
1. Mantra
kikir :
OM Sang Perigi Manik,
aja sira geger lunga, antinen kakang nira Sri Kanaka teka kekeh pageh, tan
katekaning lara wigena, teka awet-awet-awet.
2. Mantra
waktu pemotongan gigi yang pertama :
OM
lunga ayu, teka ayu (diucapkan 3 kali).
3. Mantra
pangurip-urip :
OM
urip uriping bayu, sabda idep, teka urip, Ang Ah.
4. Mantra
lekesan :
OM suruh mara,
jambe mara, timiba pwa sira ring lidah, Sang Hyang Bumi Ratih ngaranira, tumiba
pwa sira ring hati, Kunci Pepet arannira, katemu-temu delaha, samangkana lawan
tembe, metu pwa sira ring wewadonan Sang Hyang Sumarasa arannira, wastu kedep
mantranku.
2.5
Mitologi Upacara Mepandes (Potong Gigi)
2.5.1
Kelahiran bhatara kala
Pada
suatu ketika, Dewa Siwa bersama Dewi Uma bersenang-senang sedang melakukan
perjalanan, atas hembusan Dewa Bhayu (angin)
yang mana saat itu membuat “kamben” Dewi Uma tersingkap sehingga paha
Dewi Uma keliahtan sehingga menyebabkan nafsu birahi Dewa Siwa muncul dan kamanya jatuh di samudra yang di makan oleh
ikan, yang melahirkan bhatara kala yang sakti mandraguna yang tidak ada dapt
mengalahkannya. Atas dorongannya ingin tahu kepada siapa orang tuanya maka ia
membuat kekacauan di jagat raya. Pada suatu kesempatan, sampailah anak yang
dimaksud naik ke Sorga Loka mencari
ayahnya dan bertemu dengan Dewa Indra. Atas dasar dari Dewa Siwa, anak yang
bernama Dewa Kala itu disuruh mematahkan taringnya agar dapat bertemu dengan
orang tuanya.
Makna
dari cerita itu adaalh dengan mematahkan segala bentuk keangkuan dan kesombongn
dalam diri sendiri, kita senantiasa akan dapat bertemu pada jati dri sebagai
umat manusia yang beradab dan berprilaku Subha Karma. Keangkara murkaan tu
adanya beruppa Sad Ripu, yang dalam ritual upacara Mepandes (Potong Gigi)
disimbulkan dengan memotong enam buah gigi antaranya: empat gigi seri, dan dua
buah taring bagaian atas.
2.5.2
Taring
Ganesa patah
Pada
suatu hari Raksasa Nilarudraka melakukan tapa yang sangat dahsyat ia memohon
kepada kekuatan kepada Dewa Siwa. Karena tapanya yang sangat kuat maka ia
mendapatkn anugrah dari Dewa Siwa.
Raksasa itu menjadi angkuh dan sombong hingga akhirnya para Raksasa
menyerang Sorga. Dewa Indra memohon bantuan kepada Dewa Siwa, dan Dewa Siwa
akan membntu paru Dewa dengan kekuatan Jnananya lahirlah seorang anaknya
Ganesa, yang berkepalakan gajah yang memiliki kekuatan sangat hebat. Pada suatu
ketik Dewa Siwa sedang bersemedi dan ada yang mau bertemu dengan Dewa Siwa maka
Ganesa mencegatnya dan terjadi pertempuran yang mengkibatkan patahnya taring
Ganesa. Setelah Ganesa tumbuh besar, akhirnnya para Dewa meminta bantuan kepada
Ganesa dan akhirnya Ganesa mampu mengalahkan
Raksasa Nilarudraka.
Berdasarkan
mitilogi Patahnya taring Ganesa, merupakan symbol filosofi upacara mepandes,
patahnya taring Ganesa ppada waktu remaja merupakan symbol kedewasaan atau
symbol perubahan satus dari masa anak-anak menjadi remaja. Dan setelah patahnya
taring Ganesa mampu mengalahkan Raksasa Nilarudraka merupakan perubahan pola
pikir remaja dari yang tidak tahu menuju pendewasaan diri dengan mengendalikan
atau mengalahkan sifat-sifat Raksasa dalam diri manusia atau yang sering
disebut dengan Sad Ripu.
2.5.3
Sang
Hyang Semara-Ratih
Kisah
yang ditulis dalam Smarandahana (api asmara) gubahan Mpu Dharmaja pada paruh
abad terahir sangat dramatis. Berawal
tentang ancaman yang melanda kahyangan, berawal dari Raksasa Nilarudraka yang
menyerang sorga. Raksasa itu hanya dapt dikalahkan oleh putra dari Dewa Siwa
maka atas usul seorang penasehat, Dewa
sepakat mengutus Dewa cinta sang hyang samara untuk menemui Dewa Siwa. Kemudian
Dewa Siwa terbangun dari tapanya dan teringat pada Dewi Uma kelak lahir Ganesa
sebagai buah cinta Siwa dengan Uma yang akan mengalahkan Raksasa Nilarudraka .
Dewa Siwa sangat marah ketika mengetahui sang kama yang telah membuatnya
terbangun dari tapanya. Dewa Siwa membunuh Kama. Kemudian datang Dewa Indra
menjelaskan maksud kama mengodanya. Mereka lalu meminta Dewa Siwa untuk
menghidupkan Dewa Kama. Kama dihidukan hanya sukmanya saja. Mengetahui kabar
yang menimpa suaminya Ratih sangat sedih tanpa Kama. Kemudian Ratih menceburkan
diri di atas kobaran api. Wrhaspati menjelaskan bahwa mereka akan dapat saling
bertemuwalau hanya dalam bentuk sukma. Bentuk fisik Kama dan Ratih menyatu
menjadi abu. Dan hingga kapan-pun sukma mereka akan terus bersatu. Kama akan
menjelama pada hati laki-laki dan Ratih akan menjelma pada hati setiap
perempuan.
Berdasarkan
mitologi Semara-Ratih, dalam upacara Mepandes (potong gig) Sang Hyang Semara
Ratih dilinggihkan atau ditempatkn di Bale Gading berupa rerajahan Sang Hyang
Semara Ratih. Simbol Sang Hyang Semara
Ratih akan bersemayam pada hati pemudi, sehingg muncul rasa cinta antara
laki-laki dan perempuan. Dengan adanya rasa cinta dan ketrikatan terhadap lawan
jenis menunjukan sikap kedewasaaan yang dimuli dari upacara potong gigi, maka
upacara potong gigi hanya boleh dilaksanakan dari usia remaja. Karena pada saat
tersebutlah Sang Hyang Semara Ratih berada dalam hati laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian Sang Hyang Semara Ratih yang disimbolkan dalam upacara mepandes
(potong gigi) mampu memberikan anugrahnya keada para remaja yang tumbuh dewasa
agar diberikan jaaln yang baik dalam mencari jati diri, khususnya dalam hal
percintaan dan perilaku seksualitas remaja.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dapat prnulis simpulkan
bahwa sastra suci yang melandasi pelaksanaan upacara mepandes antara lain
disebutkan dalam: Lontar Kalapati, Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradhana. Pelaksanaan
upacara mepandes tujuannya tiada lain untu mengurangi sifat-siafat Sad Ripu yang ada pada diri
manusia. Rangkaian upacara mepandes (potong gigi). Secara upacara di awali dari
pembersihan diri anak dari pengaruh
negatif bhutakala selanjutnya dilakukan
pengekeban dan dilanjutkan dengan merajah, naik kebalai penatahan turun
mengijak peras , muspa bersama dan berakhir dengan mejaya-jaya. Dan adapun
mitologi yang terkait dengan upacara mepades (potong gigi) yaitu: kelahiran bhatara Kala, patahnya taring
Ganesa, Sang Hyang Smara-Ratih.
3.2 Saran-saran
Penulis
menyadari bahwa makalah yang disusun ini
masih jauh dari sempurna, maka demi penyempuranaan makala ini kritik dan saran
dari para pembaca sangat penulis perlukan dan kekurangan-kekurang materi yang
penulis sampaikan perlu ditinjau lebih
jauh lagi. Semoga makalah penulis ini
ada manfaatnya bagi pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
PHDI.
1996. “Panca Yadnya”. Denpasar:
Proyek peningkatan sarana dan prasarana kehidupan beragama.
Swastika
Pasek, I Ketut. 2010. Mepandes (Potong Gigi). Denpasar: CV Kayu Mas Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar