Jumat, 24 Januari 2014

Siva Siddhanta II Merajan



TUGAS  SIVA SIDDHANTA II

Mengkaji pelinggih dan sejarah dalam merajan serta keterakitan dengan kritalisasi Siva Siddhanta

Dosen Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H



OLEH :
NAMA   :    NI MADE SULIARTINI
NIN           :     10.1.1.1.1.3864
PRODI      :     PAH /V.B







JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
20l2

 
KATA PENGANTAR


“Om Swastyastu

Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadapan Ide Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kerta waranugraha-Nya saya dapat membut tugas tentang “Sejarah, nama-nama, dan banten dalam sanggah dadia atau merajan agung”.  dengan baik dan tepat waktu. Saya membut tugas ini yaitu untuk memenuhi tugas matakuliah Siva SIddhanta II.  Dan saya  juga ingin mengetehaui tentang sejarah, ataupun yang menyangkut tentang sanggah. karena sangat berguna bagi dalam membantu pengetahuan saya yang nantinya dapat saya pergunakan di masyarakat.
Dalam pembuatan tugas ini banyak pihak yang telah membantu. Daintaranya: Dosen pengampu matakuliah Siva Siddhanta II, yaitu  Bapak, I Ketu Pasek Gunawan, S.Pd.H. saya ucapakan trimakasih kepada bilau karena berkat bimbingan beliau saya dapat membuat tugas  ini. Dan ucapan trimakasih kepada teman-teman dan keluarga atas bantuannya dan partisipasinya.
 Saya  menyadari bahwa tugas  yang saya buat  ini, banyak kekurangannya dan  belum sempurna, maka dari itu kami mengharapakan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah kami ini. Semoga tugas yang buat   ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

    “Om Santih, Santih,Santih, Om”




                                                                                         Singaraja, Oktober, 2012

                                                                                                       Penulis
                                                                                                    P.A.H. V B


ii
 
DAFTAR ISI

                                                                                                                           Hal
COVER                                                                                                             ........ i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I   PENDAHULUAN............................................................................
              1.1     Latar Belakang.......................................................................... 1
              1.2     Rumusan Masalah..................................................................... 3
              1.3     Tujuan Masalah......................................................................... 3

BAB II  PEMBAHASAN............................................................................... 4
              2.1     Sejarah Kawian Pasek Tamblingan........................................... 4
2.1.1   Berkembangnya Keturunan Dalem di palemahan alas
              amerta jati dan pawidangan sanantala labu................... 5
2.1.2   Ngurah Pajenengan Mancawarna.................................. 8
2.1.3   Terjadi Pertempuran di Puri Sanantala Labuh............... 10
2.1.4   Pakeling-pakeling Pemeluk Siva Muka Bulakan
           Dalem  Tamblingan Gobleg........................................... 13

              2.2     Sejarah Sanggah Dadia............................................................. 15
                        2.2.1 Sanggah Embang............................................................. 15
                        2.2.2 Sanggah Jajaran............................................................... 16
                        2.2.3 Sanggah Dadia................................................................ 17

              2.3     Nama dan Banten dalam Pelinggih Dadia................................ 17
                        2.3.1 Sanggah Surya................................................................. 17
                        2.3.2 Rong Tiga....................................................................... 18
                        2.3.3 Meru tumpang Tiga........................................................ 20
                        2.3.4 Dalem Tamblingan.......................................................... 21
                        2.3.5                                                                                           Ulun Danu    22
iii
                        2.3.6 Sanggah Embang............................................................ 23
                        2.3.7 Taksu............................................................................... 23
                        2.3.8 Gedong Penyimpenan..................................................... 24
                        2.3.9 Pelinggih Piyasan............................................................. 25
                        2.3.10 Bale Banten................................................................... 26
                        2.3.11 Taksu Apit Lawang....................................................... 26
                        2.3.12 Pelinggih Paibon............................................................ 27
                        2.3.13 Jero Gede....................................................................... 28

              2.4   Ukuran Asta Kosala-Kosali Secara Umum................................ 28
                        2.4.1 Sukat................................................................................ 28
                        2.4.2 Ukuran/Sukat Prahyangan Sanggah / Merajan................ 29
                        2.4.3 Ukuran /Sukat Kahyangan.............................................. 29
                        2.4.4 Ukuran /Sukat Pelemahan Paibon/Panti.......................... 29
                        2.4.5 Ukuran/Sukat Tempat Kori Pelinggih.............................. 30
                        2.4.6 Ukuran/Sukat Tempat Pelinggih...................................... 31
                               
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 33
              3.1 Simpulan....................................................................................... 33
              3.2 Saran-saran................................................................................... 33

Daftar Pustaka











iv
 
BAB I
PENDAHULAUN

1.1              Latar Belakang
Tempat suci adalah tempat yang digunakan untuk berbakti atau brsembahyang kepadaa Tuhan. Tempat suci dari Agama Hindu adalah Pura. Kata pura berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti kota atau benteng artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura. Dan ada beberapa pengelaompokan pura, diantaranya: Pura Umum , Pura Teritorial, Pura Fungsional dan Pura Kawitan. 
Pura Kawitan, Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis). Suatu keluarga inti (ayah, ibu, dan anak-anak). Dan apabila keluarga itu telah bertambah banyak jumblahnya dan sudah ada yang keluara dari rumah asal, maka tempat pemujaan keluarga luas tersebut disebut sanggah Gede atau Pamrajan Agung. Selanjutnya pada tingkat yang lebih luas yaitu pada tingkat klen mempunyai tempat pemujaan yang disebut pura dadia, sehingga mereka disebut tunggal dadia. Apabila klen itu membesar  sehingga mencangkup jagat Bali, maka mereka mempunyai tempat pemujaan yang disebut Padharman. (Ardana.2000.5) 
Kawitan merupakan asal leluhur dari mana, dan keterunannya harus selalu ingat dengan wit atau asal leluhurnya. Karena masing-masing kawitan memliki prastasti yang didalamnya terdapat bisama (kutukaan). Apabila tidak ingat dengan dengan kawitannya maka besar kemungkinan akan mendapatkan bisama dari leluhurnya. Agar tidak kena bisama sangat perlu mengetahui wit atau asala dari leluhur guna menghindarikan bisama.
1
Kawitan dadia saya yang di cari baru-baru ini sekitar tahun 2000, yaitu Pasek Gelgel Pegatepa. Dari jaman dulu para leluhur saya hanya menyungsung Dalem Tamblingan, dan petirtannya di Siva Muka  Bulakan di Desa Gobleg. Dan yang  sampai sekarang dadia saya tetap menyungsung Dalem Tamblingan dan mengunakan patirtan di  Siva Muka  Bulakan di Desa Gobleg. Namun Dalem Tamblingan tidak di gunaan sebagai Bhatara Kawitan. Dari sebelum mendapatkan ugas ini aya sudah mempunyai kebingungan dan sering menanyakan kepada ayah saya,  mengenai kaitan atau perjalanan dari gelgel pegatepan samapai kedalem tamblingan, ke Gobleg, hingga sampai ke pedawa. Saya juga tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari ayah saya. Pada saat pembacaan prastasti, ayah saya mengatakan bahwa perjalanannya dari gelgel pegatepan baru kegobleg namun tidak ada sangkutannya dengan Dalem Tamblingan.
Setelah mendapatkan tugas Siva Siddhanta ini, saya mencari-cari  data, serta menanyakan kepada penglingsir saya tentang kawitannya, dia katakan pasek gelgel pegatepan, kemudian saya menanyakan tentang kaitannya dengan Dalem Tamblingan, pengelingsir dan tunggalan dadia saya tidak bisa memberikan jawaban, jawabannya dalem tamblingan sudah di sung-sung sejak dari dahulu oleh para leluhur.
 Banyak hal yang membuat saya tidak percaya dengan kawitan yang sekarang, karena banyak pelinggih yang di sung-sung hanya pelinggih yang ada di Dalem Tamblingan. Serta dalem tamblingan itu sudah di sung-sung sejak dahulu. Contohnya Pura Embang pura ini merupakan pelinggih penyawangan yang ada di danau tamblingan, pura ini berada di halaman utama madala Pura Desa Pedawa, Pura Embang terletak kaja kangin. Hanya dadia saya saja yang memiliki sanggah pribadi di pura Desa. Dadia yang lainnya tidak ada yang memiliki pelinggih pribadi di pura Desa. Status pura Embang miliki dadai saya, kalau pura in rusak maka keluarga saya yang mengadakan perbaikan dan melaspas. Pura embang itu, pelinggihnya dari carang dadap. Namun sekarang dari kayu agar sama dengan pelinggih yang lainnya yang ada di pura Desa, namun yang sanggah dadia dan di kemulan masing-masing hanya menggunakn carang dadap. Dan menurut cerita-cerita (tutur-tutur), leluhur saya dari Gobleg  membawa seeprangkat gamelan ke Pedawa, di mana gamelan yang dibawa itu Supak, Gangsa. Yang dibagi dengan Gobleg, setengah di Gobleg dan setengah di bawa ke Pedawa.
2
Dadia saya memang paling laen dan unik dari semua dadia yang ada di Desa Pedawa.  Memiliki pura di pura desa, jika anak gadisnya menikah, orang yang mengambilnya bukan tunggalan (satu dadia)  maka dia mebase bokor, dan tidak boleh tidak. Hingga orang yang sudah meninggal kembali  mebasebokor. Upacara mebase bokor ini sama dengan warga Gobleg dan diluar Gobleg yang menyungsung Dalem Tamblingan dan patirtan Siva Muka Bulakan.  Tidak hanya itu saja kaitan dadia saya dengan Dalem Tamblingan. Di dadia saya dari jaman dahulu tidak di ijinkan memakan buahnya menebang pohon Teep (mirib dengan Timbul) dan membunuh rayap (tetani). Saya cari dalam praastasti gelgel tidak ada bisama seperti itu, namun didalam data yang saya proleh  mengenai dalem tamblingan, ada bisama seperti  itu. Dan dalem tamblingan itu merupakan Kawitan.
Dadia saya selama ini keliru kawitannya, karena saya kaitkan dari beberapa keadaan pelinggih dan tradisi, bisama lebih cendrung kaitannya dengan Dalem Tamblingan. Saya sangat bersyukur dapat tugas ini karena saya dapat mengetahui kekeliruan selama ini.
Dalam makalah ini, saya akan membahasa tentang sejarah kawitan Pasek Tamblingan, keberadaan  pelinggi nama dan banten yang di gunakan sangat penting pula di ketahui serta ukuran asta bumi dalam pelinggih.


1.2              Rumusan Masala
1.2.1         Bagaimana Sejarah Perajalanan Kawitan Pasek Tamblingan?
1.2.2         Bagaimana Sejarah Terbentuknya Sanggah Dadia?
1.2.3         Apa Nama-nama Pelinggih dan Banaten Dalam Sanggah Dadia?
1.2.4         Bagaimana Ukuran Asta Kosala-Kosali Pelinggih secara Umum?

1.3              Tujuan Penulisan
1.3.1         Ingin mengetahui Sejarah Perajalan Kawitan Pasek Tamblinga.
1.3.2         Ingin mengetahui Sejarah Terbentuknya Sanggah Dadia
1.3.3        Ingin mengetahui Nama-nama Pelinggih dan Banaten Dalam Sanggah Dadia.
1.3.4        Ingin mengetahui Ukuran Asta Kosala-Kosali Pelinggih secara Umum.


3
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Sejarak Kawitan Pasek Tamblingan
            Pada Purnama ke Dasa, tepatnya hari rabu tahun çaka 11, diutuslah ketiga putra Ida Dalem Aji Saka Suryaningrat oleh Sri Maha Pandita Bagawanta Dwijaksara ke Nusantara. Perjalanan beliau bertiga beserta keempat parekan yang dijadikan satu “cepak besi kuning”. Pertama menuju pulau Kanci (pulau Sumatra sekarang). Di pulau inilah beliau membuat pasraman, selanjutnya berputra lima orang dan parekan pengiringnya berputra 12 orang laki-perempuan yang selanjutnya menjadi penghuni tetap pulau Kanci (Sumatra).
            Pada tahun çaka 51 diceritakan bahwa beliau bertiga berpindah menuju tempat yang memiliki tumbuh-tumbuhan sejenis padi yang bernama pulau Pari Jawawut (pulau Jawa sekarang). Di pulau inilah selanjutnya beliau bertiga membangun pasraman yang diberi nama Dewa Karta Membah yang disebut Surakarta (Solo). Dalam pasraman ini, Ida Dalem yang pertama Sri Wira Jaya Satruning Bumi perputra enam orang, laki perempuan. Dalem yang ke dua Dalem Sri Kesari Warma Dewa dan  Dalem yang ke-tiga Sri Wira Tamblingan berputra seorang laki-laki. Parekan yang dicepak besi kuning berputra delapan orang, laki perempuan.
            Lama kelamaan entah bagaimana pertimbangan beliau bertiga, akhirnya hanya Dalem Wira Jaya Satruning Bumi yang tinggal di Solo, yang selanjutnya menurunkan keturunan yang menguasai pulau Jawa. Sedangkan adik beliau Ida Dalem Kesari Warmadewa dan Ida Dalem Wira Tamblingan pindah ke arah timur menuju Tanjung (Hnjung) Sanur Tahun çaka 125.Dari pantai Sanur beliau melanjutkan perjalanan menuju Gunung Selonding-Besakih dan memilih tempat pesraman di Dalem Puri. Di tempat inilah beliau berdua berstana sampai dengan tahun çaka 131, yang selanjutnya Ida Dalem Wira Kesari Warmadewa memasuki Dinasti Sri Kesari Warmadewa di Bali dengan alur sebagai berikut :
1. Sri Kesari Warma Dewa dengan keraton Singadwala                        ( .... – 915 )
2. Sri Ugrasena Warma Dewa                                                                 (915 – 942)
4
3. Candra Bhaya Singa Warma Dewa dengan keraton Tirta Empul      (942 – 989)
4. Darmodayana Warma Dewa dengan permaisuri Gunaprya               (989– 1022)
5. Anak wungsu Warma Dewa                                                           (1022 – 1077)
6. Putri Sekala Indu Karana                                                                (1077 -  …....)
7. Sri Jaya Pangus                                                                                ( abad ke-12 )
8. Sri Eka Jaya                                                                                      ( abad ke-13 )
9.  Asta Asura Bumi                                                                              ( .... – 1343 )
10. Keluarga Pasek Gelgel                                                                     (1343–1350)
Kemudian berkembang Dinasti Kresna Kepakisan Bali Dengan runtutan sebagai berikut :
1. Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Samprayangan – Gianyar)         (1350 - 1380)
2. Dalem Ketut Ngulesir (Gelgel – Klungkung)                                  (1380 – 1460)
3. Dalem Watur Enggong (Gelgel – Klungkung)                                (1460 – 1550)
4. Dalem Bekung (Gelgel – Klungkung)                                             (1550 – 1580)
5. Dalem Sagening (Gelgel – Klungkung)                                           (1580 – 1665)
6. Dalem Dimade (Mengwi)                                                                (1665 – 1686)
7. Gusti Agung Maruti                                                                         (1686  - ...... )
8. Dalem Jambe (Semarapura – Klungkung)                                     (1700 - ….... )
Sedangkan Ida Dalem Wira Tamblingan kesah dari Daem Puri menuju hutan yang ada danaunya, yang oleh beliau diberi nama Alas Amerta Jati.

2.1.1    Berkembangnya Keturunan Dalem di palemahan alas amerta jati dan pawidangan sanantala labu.
Sementara Ida Dalem Kesari Warma Dewa menurunkan dinasti Warma Dewa, yang dilanjutkan dengan Keluarga Pasek Gelgel, kemudian Dinasti Kresna Kepakisan seperti disebutkan di atas, Ida Dalem Wira Tamblingan membangun pasraman di Alas Amerta Jati, tepatnya di tepi danau Tamblingan setelah kesah dari Dalem Puri.
5
            Sekitar 20 tahun lebiih beliau beserta pengiring-pengiringnya yang di ajak turun ke Nusantara membangun pesraman yang menjadi kebanggaan kedua Dalem waktu itu.Ida Dalem Kesari Warma Dewa menjadi Ulun Amerta di daerah Bali selatan, sedangkan Ida Dalem Wira Tamblingan menjadi Ulun Amerta di belahan Bali utara.
            Demikian kuatnya beliau pada waktu itu, sampai-sampai memasuki tahun çaka 235 musuh yang datang dari jagat Hindu yang ingin mengganggu ketentraman beliau berdua dapat dikalahkan. Sejak kalahnya musuh beliau berdua inilah tempat Ida Dalem berstana dinamakan jagat Bali.
             Ida Dalem Wira Tamblingan di Alas Amerta Jati beserta isrti beliau Dewi Amerta Sari setelah berpisah dengan kakaknya Ida Dalem Kesari Warma Dewa. Sebetulnya perkawinan beliau dengan Dewi Amerta Sari telah dikaruniai seorang putra yang bernama Dalem Maojog Mambek, namun tinggal dengan Ida Dalem Sri Wira Satruning Bumi di Solo. Tetapi setelah berstana lebih dari 20 tahun di Alas Amerta Jati ternyata belum dikaruniai putra lagi, sehingga beliau berkeinginan untuk memanggil putra beliau Dalem Maojog Mambek ke Bali.
            Keinginan tersebut beliau sampaikan kepada kakak beliau di Solo dan kakak beliau sangat setuju, lebih-lebih maksud mengundang putranya adalah untuk menata pasraman di Tamblingan yang telah banyak mengalami perubahan-perubahan pada waktu itu. Berkat kekuatan kedua ayahnya’dan nya baik yang di Solo maupun di Tamblingan akhirnya tibalah Ida Dalem Maojog Mambek di Tamblingan dengan selamat disambut oleh pengiring-pengiring Ida Dalem Wira Tamblingan.
            Pengiring-pengiring beliau adalah keturunan dari I Bagejo dan I Daulat seperti yang telah dijelaskan di depan dan telah berkembang menjadi 16 pasek yang merupakan satu kesatuan Paguyuban Alas Amerta Jati. Ke-16 pasek tersebut yaitu ;
1. Pasek Dana Jaya
2. Pasek Ulung
3. Pasek Ulumerta
4. Pasek Ulika
5. Pasek Pemancingan
6. Pasek Kenca
7. Pasek Ulu Jaya
6
8. Pasek Tamblingan
9. Pasek Jaya Kesuma
10. Pasek Gawa
11. Pasek Batur Sari
12. Pasek Batu Lepang
13. Pasek Batu Laga
14. Pasek Watu Selem
15. Pasek Keladian
16. Pasek Selulung
Karena terjadi letusan gunung berapi dan bencana alam tanah longsor yang sangat hebat pada waktu itu, Ida Dalem Tamblingan menyadari sepenuhnya bahwa putra beliau tidak akan mungkin melanjutkan kehidupan di Tamblingan. Lagi pula beliau pada saat itu telah tiba saatnya dalam waktu dekat akan ke Alam Sunia. Agar dinasti Tamblingan beserta pengiring-pengiringnya tetap terjaga, maka dipanggillah putranya dan beliau bersabda
“Ananda Dalem, sekarang anakda sudah dewasa dan sudah saatnya beristri, disamping sudah saatnya Ibu beserta Aji untuk kembali ke Swarga Loka. Ini Ibu beserta Aji telah mempersiapkan tetegenan dan buah labu dengan sanan tebu. Pergilah dan pikul seperangkat tetegenan ini, jalanlah terus, nanti dimana sanan tebu itu patah dan labu itu jatuh berstanalah Anakn’da di sana. Bersamaan dengan itu akan datang seorang gadis yang sangat cantik , itulah yang akan menjadi istri Anakn’da. Tempat jatuhnya tetegenan itu sebutlah SANANTALA LABUH”.

Setelah beliau berkata demikian, pada tahun çaka 260 moksalah Ida Dalem Wira Tamblingan beserta istri beliau di tepi danau Alas Amerta Jati, dan mulai saat itu danau tersebut diberi nama Danau Tamblingan. Sepeninggal Ida Dalem Wira Tamblingan beserta istri beliau, untuk menghormati bisama dari Ayahnnya   berangkatlah Ida Dalem Maojog Mambek memikul tetegenan yang telah dipersiapkan keluar dari kawasan Tamblingan. Beliau berjalan terus, berjalan, dan berjalan bersama pengiringnya yang sudah dipersiapkan sesuai dengan pesan Ayah’danya.
7
Setelah melintas pada suatu tempat di lereng bebukitan, sanan yang dibuat dari tebu itu patah di tengah-tengah dan kedua buah labu jatuh.Selanjutnya timbullah dua buah Bulakan dengan air yang sangat jernih. Bersamaan dengan itu muncullah seorang putri yang sangat cantik dan atas pesan Ayah’danya dinamakan putri Sarin Tahun.
Tidak begitu jauh dari tempat labu itu jatuh di tempat yang agak datar dan subur, akhirnya beliau dengan pengiring-pengiringnya mendirikan pesraman dan diberi nama Puri Sanantala Labuh. Karena sudah merupakan jodoh yang dikehendaki oleh’Nya sesuai pesan Ida Dalem Wira Tamblingan, akhirnya kawinlah Ida Dalem Maojog Mambek dengan Putri Sarin Tahun pada tahun çaka 262.
Bulakan yang muncul sesuai dengan bisaa Ayah’danya akhirnya diemban menjadi Pura Bulakan, dan tempat beliau berstana dengan pengiring-pengiringnya diberi nama Puri Sanantala Labuh, di palemahan Gobleg sekarang dengan penuh kedamaian.
Buah perkawinan beliau dikaruniai seorang putra yang diberi nama Sri Dalem Wira Bumi. Sri Dalem Wira Bumi sebagai generasi ke tiga dari Dinasti Dalem Tamblingan tumbuh dan berkembang menjadi remaja di bawah bimbingan Ida Dalem Maojog Mambek beserta istri beliau, sambil ngemban Pura Bulakan dimana telah tercipta Tirta Predana Urip dan Tirta Predana Pati. Seluruh paguyuban Puri Sanantala Labuh dalam melaksanakan panca yadnya menggunakan kedua Tirta Bulakan tersebut untuk muput yadnya, sehingga terjadilah kedamaian yang luar biasa pada waktu itu.Puri Sanantala Labuh berkembang dengan pesat, bahkan sudah terjadi hubungan balik dengan dinasti Ida Dalem Sri Wira Jaya Satruning Bumi di Solo yang menguasai jagat Jawa pada saat itu.

2.1.2    Ngurah Pajenengan Manca Warna
8
Sejalan dengan perkembangan Sri Dalem Wira Bumi menjadi dewasa, entah bagaimana perjalanan beliau akhirnya kawin dengan keponakan beliau di Solo yang bernama Putri Solo Purwakaning Dadi. Sebagai keturunan ketiga dari dinasti Dalem Wira Tamblingan, karena menikah dengan keponakan pada waktu itu oleh lembaga puri baik di Solo maupun Sanantala Labuh Gobleg dianggap “nyasar laksana”. Oleh karena itu sejak pernikahan Ida Sri Dalem Wirabumi dengan Putri Solo tersebut, terjadilah perkembanga baru di Puri Sanantala Labuh Gobleg.
Oleh Ayah’danya di Solo serta kesepakatan dengan Ida Dalem Maojog Mambek akhirnya Ida Dalem Wira Bumi sejak saat itu dikukuhkan menjadi “Ngurah Pajengan Manca Warna ” dengan sebutan “ Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Bumi.”. Berdasarkan sebutan ini munculah sejarah Pasek Gobleg Ka Dalem Tamblingan, sedangkan untuk pengiring-pengiring setia beliau menyatu menjadi Pasek Gobleg Ma Dalem Tamblingan, yang selanjutnya menjadi cikal bakal sebutan Pemeluk Siwa Muka Dalem Tamblingan Gobleg. Ida Dalem Maojog Mambek moksa pada tahun çaka 401.
Tempat terciptanya Tirta Predana Urip dan Tirta Predana Pati, sekarang menjadi Pura Bulakan yang menjadi sungsungan seluruh keturunan Pasek Gobleg Wira Bumi, sedangkan Ngurah Pasek Gobleg Wirabumi dijuluki Ngurah Pajenengan Manca Warna. Ngurah Pajenengan Manca Warna selanjutnya mendapat tugas ngemban petirtan dengan Tirta Predana Urip dan Tirta Predana Pati yang telah tercipta.
Sejak saat itulah Ngurah Pajenengan Manca Warna dengan kesepakatan pengiring-pengiringnya yang terdiri atas 16 Pasek seperti disebutkan di atas, melakukan lima fungsi dalam mengemban petirtan di Bulakan, yaitu ;
1.   Beliau berfungsi sebagai Siwa, tatkala “nuhur” (ngarga) Tirta di Bulakan
2.   Beliau disebut ngurah penyarikan, tatkala muput Yadnya
3.   Beliau disebut Bhagawan Gama, tatkala nyapa banten pengelukat bumi
4.   Beliau disebut Balian Guru Sakti, tatkala muput upacara
5.   Beliau disebut Bendesa Dalem Tamblingan, tatkala nabdab kerama.
Demikian fungsi Ngurah Manca Warna di Pura Bulakan yang terletak di Pewidangan Sanantala Labuh Gobleg dengan pengiring-pengiring beliau pada saat itu, sudah barang tentu berdasarkan “bisama-bisama” dari Ida Dalem Maojog Mambek. Pengiring-pengiring beliau yang dengan tekun membantu 5 fungsi beliau dikukuhkan sebagai pengabih beliau dengan sebutan PARAYOGYA. Parayogya-parayogya itu meliputi:
1. Ngurah Pangenter
9
2. Para Kelihan Tinggi
3. Ngurah Mangku Agung
4. Ngurah Kubayan
5. Ngurah Pangengeng
6. Balian Tiga Sakti
7. Balian Sanding
8. Balian Sasa
9. Balian Susul
10. Pernas
Sudah tentu sebutan-seutan di atas adalah pengabih beliau yang telah mendapat penugrahan Ngurah Manca Warna, dan telah mediksa sesuai dengan ketentuan pada saat itu. Seluruh pengiring-pengiring beliau dengan tekun mengikuti petunjuk-petunjuk upacara dan upakara yadnya sehingga terciptalah kesejahteraan sekala maupun niskala di Pewidangan Sanantala Labuh.
Dengan kepercayaan, kesejahteraan lahir dan batin serta kedamaian yang didapat oleh pengiring-pengiring beliau, maka seluruh pengiring itu mateges Pasek Gobleg Ma Dalem Tamblingan, yang untuk selanjutnya seluruh perti sentananya menjadi Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg.

2.1.3    Terjadi Pertempuran di Puri Sanantala Labuh

Pernikahan Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Bumi dengan Putri Solo Purwakaning Dadi,  dikaruniai seorang putri dan dua orang putra. Putra yang pertama adalah Ngurah Gede Pasek Wira Baga, yang kedua bernama Ngurah Made Pasek Gobleg Wira Guna, dan yang perempuan bernama Ngurah Nyoman Ayu Pasek Putri Dewi yang selanjutnya menikah ke Batur Sari. Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Baga selanjutnya menikah dengan Putri Dasar Buana keturunan Gunung Agung, Bali Age menurunkan ;

1. Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Sena

2. Ngurah Made Pasek Gobleg Wira Sada
3. Ngurah Nyoman Pasek Gobleg Wira Bama
4. Ngurah Ketut Pasek Gobleg Wira Sura
10
5. Ngurah Ketut Pasek Gobleg Putri Ayu Ratna
6. Ngurah Ketut Pasek Gobleg Putri Ayu Sekar
7. Ngurah Ketut Pasek Gobleg Putri Parwati
Sedangkan Pernikahan Ngurah Made Pasek Wira Guna dengan Putri Dasar Buana menurunkan ;
1. Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Sakti
2. Ngurah Made Pasek Gobleg Wira Jaya
3. Ngurah Nyoman Pasek Gobleg Wira Dana
4. Ngurah Ketut Ayu Pasek Putri Laksmi
5. Ngurah Ketut Pasek Gobleg Putri Ayu Padmi
Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Sakti menikah dengan Dewi Sri Adnyawati keturunan Dewi Danuh di Gunung Batur menurunkan seorang putra bernama Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Anom. yang selanjutnya bergelar MANGKU GEDE pada tahun çaka 944.
Ngurah Gede Pasek Gobeg Wira Anom ( Mangku Gede ) menikah dengan putri dari Pedawa menurunkan ;
1. Ngurah Gede Pasek gobleg Wira Bogol
2. Ngurah Made Pasek Gobleg Wira Damba
3. Ngurah Ketut Ayu Pasek Gobleg Sri Selikanti yang menikah dengan Ngurah Gede Pasek Batu Lepang di Gelgel.
Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Bogol menikah dengan Luh Pasek Tirta Sari keturunan Pasek Ulung di Les, menurunkan ;
1. Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Prodong
2. Ngurah Made Pasek Gobleg Wira Ulata
3. Ngurah Nyoman Pasek Gobleg Wira Wimba
4. Ngurah Luh Pasek Amerta Sanjiwani
Ida Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Prodong beserta saudara-saudara beliau yang mengemban Petirtan Bulakan dengan Prasasti Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan. Pada saat inilah terjadi kesepakatan di kerajaan Majapahit untuk pengutus pemuka-pemuka kerajaan ke semua Dalem yang ada dalam rangka menata ketentraman kerajaan-kerajaan di Nusantara.
11
Hasil kesepakatan di kerajaan Majapahit adalah menurunkan Satrya Dalem Ke kerajaan-kerajaan di Nusantara. Tepat pada hari kamis dungulan sasih kapitu tahun çaka 1133 utusan pertama diturunkan ke Dalem Solo ( Jawa ), ke dua ke Dalem Kelungkung ( Bali ), ke tiga ke Dalem Tamblingan ( Bali ), ke empat ke Dalem Pasuruan ( Jawa ), ke lima ke Dalem Blambangan ( Jawa ), ke enam ke Dalem Sumbawa, ke tujuh ke Dalem Banten ( Jawa Barat ), ke delapan ke Dalem Kanci ( Sumatra ), dan kesembilan ke Dalem Lombok. Pembagian tugas ini dipimpin oleh Ki Patih Gajah Mada yang terkenal pada saat itu.
Berdasarkan ketentuan di atas, lalu Dane Ngurah Pasek Gobleg Wira Prodong beserta saudara-saudaranya serta Prayogya dan pemuka-pemuka di Puri Sanantala Labuh mengadakan pesamuan Agung. Hasil pesamuan Agung tersebut menyatakan tidak setuju apabila Ngurah Pasek Gobleg keturunan Dalem Tamblingan yang ngemong Petirtan Bulakan Gobleg diganti oleh Satrya Dalem dari Majapahit.
Beliau bertiga dengan pengiring-pengiringnya sepakat tidak setuju dengan permintaan Satrya Dalem dari Majapahit dalam pergantian itu, lalu mengadakan melakukan perlawanan sengit sehingga terjadi pertumpahan darah di Pemulungan Agung Gobleg. Sejak terjadinya pertumpahan darah inilah Puri Sanantala Labuh diduduki oleh Satrya Dalem Majapahit dibantu oleh Pasek Pegatepan dari Klungkung pada tahun çaka 1425.
Demikian kuatnya pengaruh Satrya Dalem Majapahit yang dibantu oleh Pasek Pegatepan dari Klungkung saat itu terjadilah tekanan-tekanan yang menyebabkan kesahnya Perti Sentanan Dalem Tamblingan ke berbagai daerah di Bali. Walaupun demikian, berkat bisama-bisama yang telah ditanamkan oleh Ngurah Pajenengan Manca Warna tentang Pesiwaan dan pelaksanaan Panca Yadnya tetap dapat dipertahankan. Puri Sanantala Labuh agar tetap eksis menata Pesiwaan dengan bisama-bisama di atas dipindahkan dari Jembong ke tempat kedudukan yang sekarang, dengan tanggung jawab pesiwaan diemban oleh Ngurah Nyoman Pasek Gobleg Wira Wimba.



12
 
2.1.4    Pakeling Pelinggih Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg  
Selama Ida Dalem Tamblingan berstana di Alas Amerta Jati untuk Srada dan Bhakti beliau ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, telah tercipta cukup banyak Pura berdasarkan fungsi dan tujuannya.Pura berdasarkan fungsinya adalah sebagai tempat suci untuk memuja Sanghyang Widhi dengan segala manifestasinya. Pura berdasarkan tujuannya adalah sebagai sarana yang dapat meningkatkan pengertian dan kesadaran akan ketaqwaannya kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Pura-pura yang mempunyai kaitan kehidupan Ida Dalem Tamblingan dengan perti sentana Ida serta 16 pasek pengiring beliau yang terletak di kawasan Tamblingan disebut Pura-Pura Luhuring Capah. Pura-pura itu meliputi :
1. Pura Pucak Bukit Lesung (Gamuring Anglayang)
2. Pura Goa Naga Loka
3. Pura Enek (Kentel Gumi)
4. Pura Dalem Tamblingan
5. Pura Pesamuan Agung
6. Pura Tirta Mang-Ning
7. Pura Ulun Danu Tamblingan
8. Pura Guna Anyar
9. Pura Tajun               
10. Pura Duwur Sari
11. Pura Embang
12. Pura Sang Hyang Kawuh
13. Pura Tukang Timbang
14. Pura Telaga Aya
15. Pura Pakemitan Kangin
16. Pura Pakemitan Kawuh
13
Setelah putra beliau berstana di Puri Sanantala Labuh, Ida Dalem Maojog Mambek sesuai dengan konsep tujuan dan fungsi Pura seperti disebutkan di atas, dengan pengiringnya sampai dengan generasi Pajenengan Ngurah Manca Warna
 terciptalah Pura-pura yang dikenal dengan Pura Madyaning Capah. Pura-pura itu adalah:
1. Pura Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg
2. Pura Batu Madeg
3. Pura Batur (Karang Kedas)
4. Pura Pemulungan Agung
5. Pura Tanggu Langit
6. Pura Batu Mancer
7. Pura Subak Kopi
8. Pura Pajenengan
9. Pura Ularan
10. Pura Blambangan
11. Pura Taman
Untuk fungsi dan tujuan pemujaan di laut diciptakan Pura yang disebut Pura Soring Capah yang berlokasi di Labuhan Aji. Setelah mengalami penataan-penataan, baik oleh beliau Dalem beserta pengiring-pengiring dan penataan-penataan eksternal dari raja-raja yang memerintah Bali pada waktu itu seperti yang disebutkan pada prasasti yang didapat di Pura Enek, pakeling Pelinggih Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan telah disepakati sesuai dengan nama Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan, kesepakatan serta arti katanya adalah sebagai berikut ;
1.   Pemeluk Siwa artinya “Mesiwa Widhi”
Muka Bulakan artinya “memucukang Tirta Bulakan untuk muput saluiring saraja karya” yaitu Tirta Pradana Urip dan Tirta Pradana Pati untuk muput Panca Yadnya atas panugrahan Ngurah Manca Warna.
2.  Dalem Tamblingan Gobleg artinya pakeling pelinggih yang wajib disungsung oleh preti sentana Dalem Tamblingan Gobleg.
Pelinggih-pelinggih itu meliputi ;
14
1)  Pelinggih Dalem Tamblingan meteges KAWITAN meprelingga Meru     Metumpang Solas ( 11 ), terletak di tepi Danau Tamblingan, beserta Lingga Yoni tempat moksanya Ida Dalem Wira Tamblingan.2)  Pelinggih Dalem Maojog Mambek ( Pura Bulakan ) meteges SIWA KAWITAN meprelingga Meru metumpang sembilan ( 9 ) , terletak di desa Gobleg dengan ciri khas dua buah bulakan untuk nunas Tirta Pradana Urip dan tirta Pradana Pati.
3.  Pelinggih Wira Bumi ( Ngurah Pajenengan Manca Warna / Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Bumi ) meteges PANCER GOBLEG, meprelingga meru metumpang pitu ( 7 ).
4. Pelinggih Kemulan Sakti, meteges penyungsungan para leluhur miwah seketurunannya, meprelingga pelinggih tiang dapdap 4 buah beratap ijuk ( duk jaka ).

Pelinggih-pelinggih inilah yang wajib menjadi sungsungan seluruh keturunan Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg dalam fungsi serta tujuan pura seperti disebutkan di atas, lebih-lebih dalam pelaksanaan panca yadnya, dengan tidak menutup kemungkinan untuk metirta yatra ke Pura-pura lain di Luhuring Capah, Madyaning Capah, dan Soring Capah.


2.2       Sejarah Terbentuknya Sanggah Dadia
2.2.1    Sanggah Embang
foto pada saat ngenteg linggih
15
Menurut pengelingsir yang ada di keluarga saya, sebelum membuat sanggah merajan keluarga saya hanya menyungsung sanggah embang yaitu sanggah penyawangan, pura Embang yang ada di Danau Tamblingan. Sanggah Embang keluarga kami sangat unit lain dari pada kluarga/dadia masyarakat di padawa.  Sanggah Embang keluarga saya terbuat dari pohon dadap dan tidak ada atapnya. Yang lebih untik lagi, letak dari sanggah Embang keluarga saya tepatnya di Jroan Pura Desa Pedawa yaitu dikaja kangin. Mengapa saya katakana unitk karena hannya keluarga saya saja yang memiliki sanggah pribadi di pure Desa. Apabila sanggah Embang itu rusak maka keluarga kami yang memeperbaikinnya dan mengupacarainnya, bukan Desa yang membuatkan upacara pemlaspasan. Keluarga saya melakukan persembahyangan pada saat ada upacara di Pura Desa. Karena tidak ada sumber sejarah secara tertulis, pengelingsir saya tidak bisa memastikan sejak kapan sanggah Embang keluarga saya yang ada di Pura Desa itu dibuat.  


2.2.2    Sanggah Jajaran                
                Foto pada saat odalan.
Keluarga saya, juga memiliki sanggah Jajaran, yang terdiri dari beberapa sanggah dimana sanggah itu merupakan sanggah penyawangan. Pengelingsir saya juga tidak bisa memastikan kapan pembuatan pertamannya. Namun menurut informasi (tutur-turtur) sanggah Embang itu lebih dulu di buat di bandingkan dengan sanggah jajarannya.


16
 
2.2.3    Sanggah Dadia
               
Setelah ada pura Embang, Sanggah Jajaran Baru dibuat sanggah Dadia, pembuatannya pada tahun 1968. Setelah pembangunan sanggah dadia ini baru mencari kawitan. Dalam sanggah dadia kelurga saya terdapat beberpa bangunan mulai dari timur surya, rong telu, meru, dalem tamblingan, ulun danu, embang, taksu,  gedong, piasan. Di jaba tengah paibaon. Di depan pintu dari jroan terdapat taksu apit lawang dikiri dan kanan. Sera terdapat pula jro gede.

2.3       Nama-nama dan banten yang terdapat dalam sanggah Dadia saya
2.3.1    Sanggah Surya
             
17
Pelinggih Surya, merupakan pelinggih untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya  sebagai saksi segal kegiatan manusia khusunya ritual Yanya. (Gunawan. 2012: 21-22). Pelinggih Surya merupakan pemujaan kepada Dewa Surya, dan sudah adanya kristalisasi sekte Sora kedalam sekte Siva Siddhanta, pemujaan kepada dewa surya merupakan bagian dari sekte sora. Setiap upacara Yadnya pasti menggunakan Sanggah Surya dan dalam merajan atau Sanggah Dadia berisi Pelinggih Surya, itu menjadi bukti bahwa adanya kristalisasi kedalam sekte Siva Siddhanta. Adapun banten yang dihaturkan pada saat odalan yaitu Canang Daksina Baas Pipis Cang Meraka. Dan banten Surya yang berisi taledan dari andong sampian dari andong, tumpeng merah, ayam dari ayam biing barak. Diisi jaja, buah-buahan, canang bunga. Tidak menggunakan mantram, di pedawa melaksanakan upacara di sanggah merajan hanya mengunakan sesontengan. Dan yang melakukan sesontngn pun para pengelingsir yang bisa.


2.3.2    Rong Tiga
           
18
Pelinggih rong tiga adalah untuk memuja Tri Murti,  Dewa Brahma bersetana dikanan, Dewa Wisnu bersetana di ruang kiri, dan di tengah bersetana Dewa Siwa. (Nurkencana 1997: 139 dan Wikarma 1998: 2, dalam Gunawan 2012: 19).  Serta Sanggah Rong Tiga identik dengan Tri Atma. Atma  yang identik dengan ayah (Purusa)  diruang sebelah kanan, Siwatma yang identik dengan ibu (Pradana), dan Tuhan yang maha yang tunggal di tengah. Serta maksud dari pendirian pelinggih Rong Tiga agar dalam  keluarga selalu ingat  dengan Tri Rnam. (Gunawan. 2012 : 20).
Pelinggih Rong Tiga  biasanya disebut pelinggih kamulan. Sanggah adalah tempat pemujaan, sedangkan Kemulan adalah berasal dari kata sansekerta yang mula berarti akar, dasar, perfmulaan. Dengan demikian Rong Telu merupakan tempt pemujaan asal yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai Tri Murti. Dan juga pemujaan kepada roh suci leluhur. Dalam sanggah rong telu,  sudah adanya  kristalisasi semua sekte-sekte kedalam Tri Murti yaitu sekte brahma, waisnawa dan siva.  Dan ada beberapa fungsindari rong telu dianntaranya:
1.      Merupakan sthana Ida Sang Hyang Widdhi Wassa dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Atm yaitu: Atma, Ciwa atma, dan Paramatma yang merupakan asal adanya kehidupan di dunia ini.
2.      Sebagai sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
3.      Sebagai tempat menstanakan roh suci leluhur yang dianggap telah mnunggal dengan sumbernya, yang selalu dipuja oleh keturunannya guna memohon perlindungan, bimbingan dan waranugraha.
4.      Sebagai tempat peemujaan leluhur dalam rumah taanggan khususnya keluarga diBali.
5.      Sebagai pengulun karang yaitu menempati posisi hulu (utama mandala) dalam konsep Tri Hita Karana.(Sanjaya, 2010: 106-107)
Dalam sanggah rong telu,  sudah terdapat  kristalisasi semua sekte-sekte kedalam Tri Murti. Yang diterapkan oleh Mpu Kuturan, maka rong telu Merupakan Pemujaan kepada roh leluhur dan kepada Tri Murti, merupakan penyatuan kedalam sekte Siva Siddhnata.
Banten yang digunkan pada saat odalan yaitu: di masing-masing rong nya di haturkan banten Canang Daksina Baas Pipis Canang Meraka, Canang Sari Burat Wangi. Tidak menggunakan mantra hanya mesesontengan saja.
Mantra yang umum digunakan pada pelinggih Rong Telu dalam  (Anom, 2009: 17) menyebutkan:
a.       Dikiri         : ong ung wisnu antaratma wagniyan sadnyanem
b.        Ditengah   : ong mang iswaratma siwa monaya nama swaha
c.         Dikanan    : on gang brahmanatma paibon
19
 
2.3.3    Meru Tumpang Tiga
           
Urutan penglinggih pada sanggah dadia keluarga saya yang ketiga yaitu meru. Meru adalah bangunan yang menyerupai gunung yang bentuk bertumpang atau bertingkat. Meru merupakan simbol dari gunung yang merupakan tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa, roh-roh suci leluhur. semakin tinggi tempatnya semakin mulia yang dipujanya. Meru yang memiliki atap bertingkat merupakan simbol Asta Dikpala yaitu delapan dewa penguasa penjuru mata angin ditmbah tiga dewa mnguasai alam bawah, alam tengah, dan alam atas. Terdapat 11 Dewa utama yang disimbolkan kedalam aksra suci yaitu: Sa, Ba, Ta, , I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Dan kesepuluh aksara suci ini menghasilkan aksara suci OM. Di merajan atau sanggah dadia keluarga saya meru tumpang tig, yang merupakan simbol Tri Purusa yaitu: Ciwa, Sad Ciwa, Parama Ciwa. (Sanjaya, 2010:105-106). Banten yang dihaturkan sama dengan banten yang di haturkan dirong tiga. Dan hanya menggunakan sesontengan. Dalam pelinggih meru terdapat kritalisasi sekte-sekte kedalam sekte siva siddhanta, tumpang satu elambangkan Tuhan yang tunggal  tumpang dua melambangkan Purusa dan Pradhana, dan tumpang tiga melambangkan Tri Purusha dan Tri Murti.  Dalam pelinggih dadia saya meru tumpang tiga, yaitu krstalisasi sekte Brahma, Waisnawa, dan Siva.  Yang menyatu kedaalm sekte Siva Siddhanta.




20
 
2.3.4    Dalem Tamblingan
           
21
Sanggah ini merupakan sanggah penyawangan dari Pura Dalem Tamblingan yang ada di Danau Tamblingan. Agar memudahkan kami untuk melakukan pemujaan kepada sanggah pusat yang ada di Danau Tamblingan. Seperti yang sudah saya jelaskan diatas bahwa keluarga saya merupakan kesahnya dari Dalem Tamblingan ke Gobleg baru kemudian ke Pedawa. Dulu memang keluarga saya kawitanny Pasek Gelgel Pegatepan. Keluarga saya mencari kawitan baru-baru tidak lebih dari pada 20 tahun. Dulunya keluarga saya hanya menyungsung Dalem Tamblingan dan Siwa Muka  Bulak di Gobleg. Setelah saya mencari sejarah  tentang Dalem Tamblingan dan Gelgel Pegatepan. Saya tidak menemukan kaitan anatara keduanya. Memang Pasek Pegatepan itu memiliki 11 orang anak yang salah satunya ke Gobleg dan disebut sebagai Pasek gobleg, dalam Babad Pasek, saya tidak menemukan data tentang Pasek Pegatepan menyungsung Dalem Tablingan dan petirtan Siwa Muka Bulakan Gobleg. Dan menurut sejarah jauh lebih awal Dalem Tamblingan dari pada Pasek Pegatepan ke Gobleg. Jadi tidak mungkin 16 pasek yang menjadi pengikut dalem tamblingan ke gobleg itu salah satunya pasek pegatepn dari gobleg, karena pegetepan pecahan dari gelgel yang jauh di belakang Sri Kesari Warmadewa, karena Dalem Tamblingan bersaudara dengan Sri Kesari Warmadewa. Dan yang membuat saya mengatakan kawitan saya yang selama ini keliru karena, sanggah Emang yang ada di Pura Desa. Kalau memang keluarga saya bukan pretisentana dari Dalem Tamblingan, tidak akan mungkin membawa sanggah yang bukan saggah penyungsungannya. Karena dari beberapa fenomena yang membuat saya yakin bahwa kawitan saya Pasek Dalem  Tamblinga. Pada saat saya bertanya kepada pengelingsir saya, mereka juga tidak bisa meemberika kaaitan anatara Kawitan yang sekarang di sung-sung yaitu Glgel Pegatepan dengan Dalem Tamblingan. Pada hal keluarga saya menyungsung Dalem Tamblingan dan mengunakan Patirtan Siwa Muka Bukan pada saat menyelenggarakan Upacaara
Yadnya, dari dahulu turun temurun, namun Dalem Tamblingan tidak digunakan sebagai Kawitan.

2.3.5    Ulun Danu
           
22
Pelinggih Ulun Danu, merupakan penyawangan terhadapa pelinggih yang ada di Danau Tamblingan. Karena Masyarakat di Pedawa secara umum di dalam sanggah kemulan  atau sanggah dadai mengambil Ulun Danu, Karena di ibaratkan Ulun Danu itu sebagai kepala, dan Pura Segara Labuwan Aji sebagai kaki.  Artinya bukan dadia saya saja yang mendirikan pelinggih Ulun Danu. Dadia saya mendirikan pelinggih Ulun Danu karena memang dadia saya dari dulu menyungsung pelingh-pelinggih yang ada di Danau Tambling, namun yang di dirikan hanya 3 tiga yaitu: Dalem Tamblingan, Embang dan Ulun Danu. Serta di Gobleg pelinggih yang ada di Danau Tamblingan di sebut pura luhuring capah, dan pura-pura yang ada di gobleg diseut madyaning capah, serta pura labuwan aji disebut soring capah.  Dapun banten yang di haturkan pada saat odalan yaitu Canang Daksina Baas Pipis, Canang meraka, Canang Sari. Yang merupakan dasar atau Ulen dari banten msyarakat Desa Pedawa.  Serta hanya menggunaan sesontengan.
2.3.6    Sanggah Embang
           
Sanggah merupakan Sangah penyawangan dari sanggah Embang yang di Danau Tamblingan. Sanggah ini hanya mengunakan carang dadap, karena Pura Embang di Danau Tambling tidak menggunakan sanggah hanya batu saja. Adapun banten yang dihaturkan sama seperti banten Canang Daksina Baas Pipis, Canang meraka, Canang Sari. Yang merupakan dasar atau Ulen dari banten msyarakat Desa Pedawa.  Serta hanya menggunaan sesontengan.  dan tidak menggunakan mantra hanya sesontengan.

2.3.7    Taksu
           
23
Pelinggih di bangun dengan atap rong satu, dengan empat tiang setiap sudutnya yang digunakan dengan kayu. Di pelinggih taksu yang di stanakan Sang Kala Raja yang member sebuah kewibawaan dalam pelinggih. (Anom 2009:14)    Taksu bersal dari kata Caksu  yang artinya mengawasi, (cakcuindrya = indrya penglihatan). Ini berarti Taksu didirikan sebagai pelinggih yang memiliki kekuatan gaib yang bertujuan untuk mengawsi, menghilangkan, mengusir, atau melebur segala sifat yang tidak baik atau tidak suci. Dari pengertian dan yang di stanakan di pelinggih taksu, bahwa sannya itu merupakan kritalisasi dari sekte Ganapatya, karena yang di stanakan disana adalah Sang Kala Raja, dimana fungsi dari sekte Ganapatya yaitu penghalang gangguan, dengan Sang Kala Raja yang di stana di sana maka dapat mengatasi ganggun dan menimbulkan kewibawaan dalam pelinggih. Banten yang dihaturkan, Canang Daksina Baas Pipis, Canang meraka, Canang Sari. Yang merupakan dasar atau Ulen dari banten msyarakat Desa Pedawa.  Serta hanya menggunaan sesontengan.
Adapun mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam taksu (Anom, 2009: 17) menyebutkan:  Ong ang adikala byo namah swaha


2.3.8    Gedong penyompenan
24
Gedong penyimpenan ini fungsinya sebagai tempat penyimpenan pralingga Ida Bhatara yang dipuja disana. Gedong di Pura Desa, Pura Puseh yang menyerupai meru. Hal itu sebagai symbol yang menggambarkan pemujaan dewa-dewa alam alam atas yang bersthana di gunung. Dan gedong simpenan di Pura Dalem berupa gedong batu sebagai simbol dari Dewa penguasa alam bawah (prtiwi). (Sanjaya, 2010:108). Gedong simpenan pada keluarga dadia di fungsikan sebagai menyimpan bendan-benda yang disakralkan.  Banten yang dihaturkan  pada saat odalan Canang Daksina Baas Pipis, Canang meraka, Canang Sari. Yang merupakan dasar atau Ulen dari banten msyarakat Desa Pedawa.  Serta hanya menggunaan sesontengan.
Adapun mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam Catu Mujung, Catu meres dan Gedong Sari (Anom, 2009: 17) menyebutkan:
Ong ong pradana purusa sanyo gaya windu dewaya byoktra jagatnataya, dewa dewaya dini, sanyo gaya prasiwa ya namah.



2.3.9        Piyasan
Piasan merupakan bangunan yang berbentuk bale-bale beratap. Paisan berasal dari kata pahysan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan persembahyangan berupa sesaji kepada para dewa ataupun leluhur. Dan piasan juga sebagai tempat menghiasi Pralingga Ida Bhatara yang akan disucikan (masucian). (Sanjaya, 2010:108). Dan dapat pula di artikansebagai  tempat pertemuan Ida Bhatara-Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di Sanggah Pamerajan, dibuat lagi bangunan balai-balai yang disebut Balai Piyasan (balai untuk Bhatara-Bhatari berhias).
Piasan pada sanggah keluarga saya hamir sama fungsinya dengan fungsi piasan secara umum, di keluarga saya piyasan difungsikan sebagai tempat menghaturkan sesajen kepada Ida Bhatara. Banten pada saat odalan yang di haturkan yaitu:  Canang Daksina Baas Pipis, Canang meraka, Canang Sari. Yang merupakan dasar atau Ulen dari banten msyarakat Desa Pedawa.  Serta hanya menggunaan sesontengan.

25
 
2.3.10  Bale Banten
           
Bale ini terletak di jeroan, bale yang memanjang yang biasanya pada saat odalan dipergunakan sebagai tempat banten. Adapun banten-banten yang digunakan pada saat odalan yaitu: Canang Daksina Baas Pipis Canang Meraka, Pengulapan Pengambyan, Pengelukuan, Pangkonan Banten Taksu, Daupan Taksu, Anis-anisan, Suci Agung, Penyangra, Pengeresik, Pemanisan, Penerus, Ajengan, Ajuman, Pengulapan matah, Banyuawang, Byakaonan dan Caru atuunan (jumblahnya 9 tanding yaitu: tog-tog, pelupuan putih kuning, powonga, tulak,  manca warna, bulan, surya, macan, naga).

2.3.11  Taksu Pangait Lawang
           
26
Terdapat dua buah pelinggih tasuk didepan pintu dari jroan, diri dan dikanan terdapat pelinggih taksu. Taksu bersal dari kata Caksu  yang artinya mengawasi, (cakcuindrya = indrya penglihatan). Ini berarti Taksu didirikan sebagai pelinggih yang memiliki kekuatan gaib yang bertujuan untuk mengawsi, menghilangkan, mengusir, atau melebur segala sifat yang tidak baik atau tidak suci yang terdapat pada diri setiap orang yang akan masuk kejroan Pura, dan bermakna setiap orang yang akan masuk ke jeroan Pura agar benar-benar menghilangkan semua pikiran, perkataan, prbuatan, keinginan yang tidak baik serta nafsu duniawi lainnya.  (Sanjaya, 2010:107-108). Banten yang biasanya dihaturkan yaitu: Tipat kelanan yang satu dan tipat gong yang satu dan hanya menggunan sesontengan.  
Adapun mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam taksu (Anom, 2009: 17) menyebutkan:  Ong ang adikala byo namah swaha.

2.3.12  Sanggah Paibon
           
27
Sanggah ini berada di jaba tengah, sanggah ini difungikan untuk memuja leluhur. misalanya selesai melakukan upacara pengabenan, disanggah ini lah dibawa. Dan pada saat sugian bali, galungan, dan ulian. Biasanya keluarga saya membawa sesajen ke sanggah ini sebagai persembahan kepada roh leluhur. Adapun banten yang dihaturkan setiap galungan mulai dari sugian, galungan dan ulian. Yaitu Canang Daksina Baas pipis Canang Meraka canang sari. sebagai dasar banten (ulen banten) masyarakat di Desa Pedawa. Dan  sagi, saji, suda, dapetan, pengiring, ajengan, ajuman, pemanisan, banten sorohan, rayunan, banten dulang pada saat galungan, banten ulian dan tegen-tegenan yang berisi pala don dan pala bungkah. pada saat ulian yang diistilahan sebagai bekal para leluhur kembali ke tempatnya maing-masin. Dan pada saat odalan di paibon biasanya di haturkan banten Pada saat odaaln di paibon diisi banten yaitu: Sagi, Saji, Dapetan, Pengiring, Suda dan Ranyunan.

2.3.13  Jro Gede
Jro Gede pada sanggah saya terletak disamping taksu pengapit lawang. Jro Gede merupakan kristalisasi sekte Ganapatya, yang disebut sebagai dewa Ganesha yang merupakan tempat bersthananya dewa Gana, dinama sekte dari Ganapatya berfungsi sebagai penjaga dan pelindung (Gunawan. 2012 : 19). Dan dapat pula dikatakan sebagai stanan dari catur sanak, yang merupakan keamanan secara niskala.  Banten yang biasanya dihaturkan yaitu Tipat Gong.  Tidak menggunakan mantram.
Adapun mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam Ang Rurah atau Jro Gede (Anom, 2009: 17) menyebutkan: 
ah eh uh ih yyah, anta preta bhuta kala dengen byo namah swaha


2.4      Ukuran Asta kosala-kosali
 dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.

2.4.1    Sukat
            Sukat atau sikut biasanya menggunakan tangan dan kaki, ada yang ukurannya adepa agung, ada adepa alit, ada agemel, ada yang sejengkal dan yang lainnya. dan ada yang disebut sesa.


28
 
2.4.2    Ukuran/Sikut prahyangan sanggah atau merajan
            14 depa alit x 13 depa alit                               = Madia - sesa
22 depa agung x 21 depa agung                     =  Madia  -  sesa
11 depa agung x 10 depa agung                     = Madia  - sesa
19 depa alit x 18 depa alit                               = Madia - sesa
27 depa alit x 26 depa alit                               = Madia - sesa
26 depa agung x 25 depa agung                     = Madia - sesa
6 depa agung x 25 depa agung                       = Madia - sesa
8 depa alit x 7 depa alit                                   = Madia - sesa
10 depa agung / alit x 9 depa agung/ alit        = Madia - sesa
14 depa agung / alit x 13 depa agung/ alit      = Madia - sesa
11 depa agung / alit x 10 depa agung / alit     = Madia - sesa
15 depa agung / alit x 16 depa agung / alit     = Madia - sesa
Dalam mengukur penyengker mulai dari seletan timur utara dan barat agar uripnya sahasta musti. Dan itambah sesa.

2.4.3    Ukuran/Sikut/ sukat pekarangan Kahyangan
            22 x 21 depa agung                             = utama
            11 x 10 depa agung                             = madya
            27 x  26 depa alit                                = utama
            19 x 18 depa alit                                 = madya
            15 x 18 depa alit                                 = madya
            14 x 13 depa alit                                 = madya
            10 x 9 depa alit                                   = utama
            8 x 7 depa alit                                                 = madya
            6 x 5  depa alit                                    = madya
            6 x 4 depa alit                                                 = sikut dari pemangku sanggah
            4 x 2 depa alit                                     = sikut dari pemangku sanggah

2.4.4    Ukuran/Sikut pelemahan Paibon, panti 
            10 depa  x 9 depa alit- nista                = utama
29
            27 depa agung x 26 depa agung         = madya
            33 depa alit x 22 depa alit                   = madya
            22 depa agung x 21 depa agung         = madya
            25 depa agung x 23 depa agung         = madya
            26 depa alit x 25 depa alit                   = madya
            18 depa agung x 17 depa agung         = madya
            42 depa agung x 41 depa agung         = utama
           
            Sesudah selesai menyikut ukuran hlaaman setiap pojok di isi patok / turus kemudia setelah itu di haturkan banten pemali, yaitu : banten nasi kojong barak,  diisi lidi, pucuk dadap, bunga pucuk merah, bawang jae. Dan banten nyikut : peras daksina, prayascita, canang pakeling ke surya, banten pemali, segean manca warna.

2.4.5    Ukuran/Sikut tempat kori dan pelinggih
            Menyikut kori agung dari selatan timur (kaja kangin)  ke utara, kalau kori menghadap ke timur, selanjutnya dari timur ke barat menyikut kalau kori menghadap ke utara, selanjutnya dari utara ke seletan mengukur jika kori menghadap ke barat. Dan  dari barat ke timur jika kori menghadap ke selatan. Mengukur dari luar batas tembok. Dan panjang batas pengaruh arah  Sembilan dan bilangan (panjang batese pinarah sanga, lan wilangan):
a.       Kori menghadap ke timur, dari utara mengukur
1.      Akasih perih         =     Madya
2.      Kina bakten          =     Ayu
3.      Werd guna            =     Ayu
4.      Dana teka             =     Ayu
5.      Brahma stana        =     Ala
6.      Dana werdi           =     Ayu
7.      Nohan                   =     Ayu
8.      Stri jahat               =     Ala
9.      Nista                     =     Ala
b.      Kori menghadap ke seletan, dari timur mengukur
1.     
30
Baya agung          =     Ala
2.      Tan panak             =     Ala
3.      Suka mageng        =     Ayu
4.      Udan mas             =     Ayu
5.      Brahma stana        =     Ala
6.      Dana wredi           =     Ayu
7.      Sugi baya              =     Ala
8.      Tekaa werdi          =     Ayu
9.      Kesakitan             =     Ala
c.       Kori mengdap ke barat, dari timur mengukur
1. Baya agung            =    Ala
2.    Kweh musuh          =     Ala
3.    Werdi mas              =     Ayu
4.    Werdi guna            =     Ayu
5.    Dana wan               =     Ala
6.    Brahma stana         =     Ayu
7.    Kinabakten            =     Ala
8.    Kapiutangan          =     Ayu
9.    Karongan / kepaten = ala
d.      Kori menghadap ke utara, dari barat mngukur
1.      Karongan / kepaten                 =     Ala
2.      Tanpa anak                              =    Ala
3.      Ywa waharan (wyayakler)      =    Ala
4.      Nohan                                      =    Ala
5.      Doyan pangan                         =    Ala
6.      Brahma stana                           =    Ala
7.      Suka mageng                           =    Ayu
8.      Bagiasih / kasih                       =     Ala

2.4.6    Ukuran/Sikut Tempat Pelinggih
31
            Sikut tempat pelinggih menggunakan perhitungan Asta Bumi/ Astawar, menggunakan telapak kaki pengelingsir / pandita, atau telapak tangan dari tembok utara atau timur. Misalnya:
Perhitungan Astawara diantaranya:
1.      Sri            =    Untuk tempat jineng, elinggih, sri sedana   pelinggih   manik                    galih   
2.      Indra        =    Untuk tempat pelik sari, atau puseh, dalem, padmasana.
3.      Guru        =     Untuk tempat pelingghi yang utama, sperti sanggah                                      kemulan, pelinggih gunung agung, pelinggih desa, puseh,                                    dalem, padmasana.
4.      Yama       =    Untuk pelinggih / Ratu Ngurah sakti, dan yang   sejajar                             berupa    patih di  pelinggih. 
5.      Ludra       =     Untuk pelinggih api lawang, ameng-ameng di jaba
6.      Brahma    =     Untuk pelinggih/ bangunan dapur
7.      Kala         =     Untuk pelinggih taksu
8.      Uma         =     Untuk gedong simpen, piyasan, bale gong, bale pasandekan.
                        (Anom. 2009: 7-12)

















32
 
BAB III
PENUTUP

3.1       Simpulan
            Dari materi pembahasan diatas  tentang merajan, dapat saya simpulakan, bahwa sejarah perjalanan kawitan saya berawal dari Dalem Solo, ke Dalem Puri,  Dalem Tamblingan, ke Gobleg kemudian ke Pedawa.  Saya memakai kawitan dadia saya Pasek Tamblingan karena banyak hal yang saya temukan, yang saya jadikan bahan pertimbangan. Pelinggih-pelinggi yang di sung-sung merupakan pelinggih yang terdapat di Danau Tamblingan, dan sudaah dari jaman dulu kuluarga saya menyungsung Dalem Tamblingan, serta kesamaan tradisi dengan penduduk gobleg yang menyungsung Tamblingan yaitu anak gadisnya yang menikah harus dibasebokor.  Serta perjalan kesahnya keturunan Tamblingan tidak ada keterkaitan dengan Pasek Gel-gel Pegatepan yang di akui keluarga saya baru-baru ini. Jadi dalam tugas ini saya menemukan kekeliruan selama ini menyungsung kawitan dan kawitan yang sebenarnya tidak diakui sebagai kawitan. Berdasarkan data-data yang saya dapat dan sesuai dengan tradisi serta pelinggih-pelinggih yang ada, bahwa sebenarnya dadia saya kawitannya Pasek Tamblingan bukan Pasek Gelgel Pegatepan.
            Berdirinnya pelinggih dari sanggah Embang yang ada di Pura Desa, Sanggah Jajaran, baru Sanggah Dadia. Nama pelinggihnya Surya, Rong Telu, Meru, Dalem Tamblingan, Ulun Danu, Embang, Taksu, Gedong Penyimpenan, Piasan, Paibon, Taksu Apit Lawang dan Jro Gede. Di dalam pelinggih dan banten yang di gunakan sudah ada kristalisasi sekte-sekte kedalam sekte Siva Siddhanta.


3.2       Saraan
            Makalah  tentang sanggah pelinggih dalam sanggah merajan atau dadia yang saya lakukan, perlu dilakukan penelitian ulang dan belum sempurna. Maka dari itu saya mengharapkan kritik saran dari pembaca demi penyempurnaan tugas ini. Semoga maalah  ini ada manfaatnya agi para pembaca.
33
 
DAFTAR PUSTAKA


Anom, Ida Bagus. 2009. Ngewangun Parahyangan Lan Paumahan. Denpasar: Widya Dharma.

Anom, Ida Bagus. 2009. Tentang Membangun Merajan. Denpasar : Cv Kayu Mas
        Agung

Ardana, I Gusti Gede. 2000. Pura Kahyangan Tiga. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana Dan Prasarana Beragama

Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Denpasar : IHDN

Sanjaya, Putu. 2010. Acara Agama Hindu. Surabaya: Paramitha.



 

1 komentar:

  1. Tolong jelaskan siapa dan darimana i bagejo dan i daulat,yang diatas disebutkan menurunkan 16 parekan pengiring ide dalem tamblingan???

    BalasHapus