Jumat, 24 Januari 2014

Profil Pandita Masa Depan



TUGAS ACARA AGAMA HINDU III

PROFIL PANDITA MASA DEPAN DALAM SLOKA

Dosen Pengampu: Dra. Ni Wayan Sariani Binawati, M.Ag

 









IHDN DENPASAR



    Oleh : Kelomok V PAH VII.B

1.        Ni  Made Suliartini                          10.1.1.1.1.3864
2.        Komang  Edy Indrawan                 10.1.1.1.1.3872
3.        Gede Arya Dharma                          10.1.1.1.1.3889
4.        Gede Suliartawan                                      10.1.1.1.1.3898
5.        Kadek Rusmini                                10.1.1.1.1.3899                                
           




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2013

KATA PENGANTAR


“Om Swastyastu

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Ide Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kerta waranugraha-Nya kami dapat menyusun  makalah yang berjudul tentang  “Profil Pandita Masa Kini dan Masa Depan” , dengan baik dan tepat waktu . Kami  membuat makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Acara Agama Hindu III.  Dan kami juga ingin mengetahui tentang Tujuan, Profil Pandita Masa Kini dan Masa Depan Karena sangat berguna bagi dalam membantu pengetahuan kami dalam mata kuliah Acara Agama Hindu III. 
Dalam penyusunan makalah kami ini banyak pihak yang telah membantu. diantaranya: Dosen pengampu matakuliah Acara Agama Hindu III, yaitu Ibu Dra. Ni Wayan Sariani Binawati, M.Ag. Kami ucapakan terimakasih kepada beilau karena berkat bimbingan beliau kami dapat membuat makalah ini. Dan ucapan terimakasih kepada teman-teman dan keluarga atas bantuan dan partisipasinya.
 Kami  menyadari bahwa makalah yang kami buat ini belum sempurna, maka dari itu kami mengharapakan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah kami ini. Semoga makalah ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

    “Om Santih, Santih,Santih, Om”




                                                                                       Singaraja, Nopember, 2013

                                                                                                       Penulis
                                                                                         Kelompok,  PAH VII / B
ii

D
AFTAR ISI


Kata Pengantar........................................................................................          i       
Daftar Isi.................................................................................................          ii

Bab I Pedahuluan..................................................................................          1
          1.1  Latar Belakang.......................................................................          1
          1.1   Rumusan Masalah.................................................................          2
          1.3   Tujuan Penulisan...................................................................          2

Bab II Pembahasan...............................................................................          3
           2.1  Pengertian dan sloka Pandita................................................         3
                   2.1.1  Pengertian Pandita.....................................................          3
                   2.1.2  Sloka tentang Pandita................................................         5
           2.2   Syarat-syarat menjadi Pandita..............................................          6
           2.3   Kewajiban dan Fungsi Pandita............................................          8
                   2.3.1  Kewajiban merubah nama..........................................         10
                   23.2   Kewajiban merubah prilaku........................................         10
                   2.3.3  Kewajiban merubah prilaku........................................          11
           2.4   Profil Pandita Masa Depan..................................................         
       2.4.1  Sulinggih di Jaman Kali.........................................................          13
       2.4.2  Kompetensi Yang Harus Dimiliki Sulinggih..........................          14
       2.4.3  Kepekaan Terhadap Perkembangan Jaman............................         16


Bab III Penutup.....................................................................................          17
           3.1   Simpulan...............................................................................          17
           3.2    Saran....................................................................................          17

Daftar Pustaka










BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
            Pada dasarnya kehidupan manusia sekarang ini sangat dipengaruhi oleh watak (bakat) dari kehidupan pribadi pada masa yang lalu (karma vasana), namun seiring perkembangan usia dan pola pergaulan di tengah masyarakat serta tingkat pendidikan yang diperolehnya telah menyebabkan lahirnya manusia yang memiliki kualitas yang berbeda. Maka jika kita renungkan dan meneliti sejenak kehidupan manusia di sekitar kita, kita akan dapat menemukan orang per orang yang aktivitas kerjanya berbeda-beda.
Sekian banyak aktivitas ada pula yang menekuni bidang agama, kerohanian (spiritual). Varnāsrama  bersumber dari Veda, sehingga semua bentuk sadhana (disiplin hidup) semestinya disesuaikan dengan guna, dharma dan karma masing-masing. Dan sesungguhnya semua profesi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, semua terikat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya, ibarat anggota badan kita ini; organ yang satu bergantung kepada organ yang lain. Betapapun cemerlangnya pikiran yang ada dalam otak bila tidak ada tangan, perut, dan kaki maka hidup ini tiadalah berarti apa apa.
Apapun dharma kita pada kehidupan ini sesunggunya adalah untuk melayani agar dapat menuju kepada Sang Asal (Brahman). Demikian pula dharma sebagai rohaniawan Hindu seperti: Pinandita, Pemangku, Wasi, Dukun (eka jati), adalah merupakan profesi pelayanan dan pengabdian (Senvanam dan Dasyanam) yang utama  kepada Braman. Pandita yang merupakan rohaniawan Hindu memiliki tugas dan kewajiban yang sangat berat.
Profil atau sosok pandita Hindu di masa kini dan masa yang akan, bahwa sannya perlu diketahui, karena pandita ini adalah orang suci yang  memiliki tugas dan kewajiban yang berat menjadi rohaniawan Hindu. Tidaklah mudah menjadi seorang pandita Hindu, karena ada beberapa persyaratan dan ketentuan yang berlaku unutk menjadi pandita. Maka dari itu kelompok kami akan membahas tentang Profil Hindu masa kini dan masa yang akan datang, serta membahas tentang syarat menjadi seorang pandita.
1.2       Rumusan Masalah
1.2.1    Bagaimana pengertian dan sloka yang mengatur tentang  pandita?
1.2.2    Apa syarat untuk menjadi seorang Pandita?
1.2.3    Apa saja yang menjadi kewajiban seorang pandita?
1.2.4    Bagaimana profil Pandita masa kini dan masa depan?

1.3       Tujuan Penulisan
1.3.1    Ingin mengetahui pengertian  dan sloka yang mengatur tentang pandita.
            1.3.2    Ingin mengetahui syarat untuk menjadi seorang Pandita
  1.3.3    Ingin mengetahui kewajiban  seorang pandita.
1.3.3    Ingin mengetahui profil Pandita masa kini dan masa depan.




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian dan Sloka tentang Pandita
2.1.1    Pengertian Pandita
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan. Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Srutyuktah paramo dharmastatha smrtigato parah,
sista carah parah proktas
 trayo dharmah sanatanah
                                                Sarasamuscaya sloka ke-40

Terjemahanny:
Maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti , demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan. Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua kali; kelahiran pertama dari rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda (Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra. Pandita juga disebut Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana sehari-hari. Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
1.      Jnanabhyudreka (mengerti ajaran tattwa),
2.      Indriyayogamarga (tidak terikat oleh indra),
3.      Tresnadosaksaya (dapat menghilangkan pahala perbuatan).
Dalam agama Hindu, ada penyebutan istilah tentang pandita dan pinandita. Kata pandita berasal dari akar kata ”pand”, yang artinya mengetahui. Penyebutan istilah pandita ini, diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Veda serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana. Dan untuk mendapatkan tingkat atau status pandita ini, seseorang harus pula melakukan upacara penobatan yang disebut ”Diksa”. Dari kata pandita inilah kemudian timbul sebutan untuk pendeta.
Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati . Dvi berarti dua dan Jati berasal dari akar kata Ja yang berarti lahir. Dengan demikian Dwijati berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama adalah kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan yang ke dua merupakan kelahiran dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah memperoleh Ilmu Pengetahuan Suci dan kerokhaniawan.
Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron (berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan bijaksana atau orang yang arif lagi bijaksana.
Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan kerokhanian) meliputi :
2.1.2    Sloka yang mengatur tentang Pandita
Sangsiptanika sang widhwan, saprayatna ring Sang Hyang Siddhanta jnana sira, sira ta matuha temen, apan matuha dening jnana nira, mangkananaku Sang kumara, tang ikang madawa kumisnya, tan ikang atisaya tuhanya, tan ikang madawa rambutny, tan ikang maparas alengis kesanya, tan ikang mwang aruhur jatinya, ikang matuha ngaran. (Bhuana Kosa, VI. 2)

Terjemahan:
Jelasnya seorang sadhaka, adalah orang yang memahami ajaran janana siddhanta,  ialaha yang sesungguhnya dikatakan tua, karena berkat jnana yang dimilikinya. Demikianlah anakku Sang Kumara. Bukan orang yang kumisnya panjang, bukan orang tua renta, bukan orang yang berambut panjang, bukan orang yang bermut gundul bersih, bukan karena keturunan bangsawan dikataakn tua. (Pinatih.2001:23)

Hana sira sadhaka magaji sarwa sastra,. Hyang Siddhanta utama inariaken nira. Ika ta sang sadhaka mangkana. tar wruh ring jnanangkuika, apan kawenang dening bancanangku. Hana karih sastra lewih sangke rikang sastra kabeh. Sang Hyang Jnana Siddhanta sira wissaya. (Bhuana Kosa, VI. 3)
Terjemahana:
Ada seorang sadahaka yang mempelajari segala macam ajaran, tetapi ajaran Siddhanta yang sangat utama ditinggalkannya. Sadhaka yang demikian, (sesungguhnya) tidak memahami ajaranku, sebab terpedanya ole maya-ku. Konon ada ajaran yang melebihi segala macam ajaran; ( namun senungguhnya) ajaran ika Sang Hyabancanangku adalah yang paling utama. (Suata. 2001: 19)


            Vratena diksam apnoti
            diksaya apnoti daksinam
            daksina sraddham apnoti
            srddhaaya satyam apyate
                                    (Yajurveda XIX.36)
Terjemahan:
Dengan menjalankan Brata seseorang mencapai diksa (penyucian diri). Dengan diksa seseorang memproleh daksina (pengormatan). Dengan daksina orang mencapai sraddha (keyakina teguh). melalui sraddha seseorang menyadari satya (Tuhan Yang Maha Esa). (Titib. 2001:43)

“Waneh upama sang wiku kadi amalante sira,
sakwehning talutuhing swakira rinadinan, ikang hati,
anemu pwatang kamoksan”(Surya sewana, 9a)

Terjemahan:
            Lagi perumpamaan bagi seorang sadhaka, bahwa ia diibaratkan sebagai tukang cuci, maka ia semestinya menghilangkan segala kotoran dari dalam dirinya, karena hati bagaikan secarik kain yang mesti dibersihkannya, karena sesungguhnya menghilangkan kekotoran hati, memungkinkan pencapaian tujuan berupa kelepasan. (Suata.2001:25)


            Ahimsa ngaranya tan pamati-mati, brahmacaryatan ahyun arabya, satya ngaranya tatan mithyawacana, awyawaharika ngaranya tan a wiwada, tan adol awelya, tan paguna dosa, astainya ngaranya tan amaling-amaling tan angalap drewyaning len  yan tan nohanya.

Terjemahan:
            Ahimsa artinya tidak membunuh, Brahmacari artinya tidak mau beristri, satya artinya tidak berdusta, Awyaharik artinya tidak suka bertengkar, tidak berjual beli, tidak menunjukkan kecakapan dan berdosa, Astainya artiny tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain bila tidak dapat persetujuan kedua pihak. (Pinatih.2001:13)


2.2       Syarat-Syarat Menjadi Sulinggih/Pandita
            Untuk menjadi seorang Pandita/Sulinggih harus melalui suatu proses pendwijatian dengan perantara upacara Diksa. Akan tetapi tidaklah sembarangan dapat melaksanakan upacara padiksan tersebut, melainkan mesti memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Untuk dapat melaksanakan upacara padiksaan, calon yang akan didiksa beserta dengan Sang Nabe harus memenuhi persyaratan yang ada. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk orang yang akan disucikan (didiksa) adalah sebagai berikut:
1.        Laki-laki yang sudah kawin
2.        Laki-laki yang Nyukla Brahmacari
3.        Wanita yang sudah kawin
4.        Wanita yangtidak kawin (kanya)
5.        Pasangan suami istri
6.        Umur minimal 40 tahun
7.        Paham dalam bahasa kawi, sanskerta, dan Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman inti sari ajaran agama.
8.        Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut pidana
9.        Sehat lahir bhatin, berbudi luhur, tidak cacat tubuh serta iangatan tidak terganggu.
10.    Mendapat tanda kesediaan dari Pendeta calon Nabenya yan akan menyucikan
11.    Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
Sedangkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Nabe adalah:
1.        Selalu dalam keadaan bersih dan sehat, baik lahir maupun bhatin.
2.        Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian
3.        Tenang dan bijaksana
4.        Selalu berpedoman kepada kitab suci weda.
5.        Paham dan mengerti tentang catur weda.
6.        Mampu mebaca Sruti dan Smerti
7.        Teguh melaksanakan dharma Sadhana (sering berbuat amal jasa dan kebajikan)
8.        Teguh melaksanakan tapa brata.
Disamping memenuhi seluruh persyaratan tersebut, seorang yang akan disucikan atau didiksa, juga mesti memenuhi persyaratan secara administrasi. Adapun prosedur administrasi yang telah ditentukan dan harus dilalui yaitu:
1.        Calon diksa mengajukan permohonan untuk di diksa kepada Parisada Hindu Dharma setempat yang mewilayahi, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksaan
2.        Permohonan disertai/dilampiri dengan surat:
a.    Keterangan berbadan sehat
b.    Surat keterangan kecakapan
c.    Keterangan tidak tersangkut perkara
d.   Keterangan berkelakuan baik
e.    Riwayat hidup
3.        Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk permakluman.
4.        Parisada setempat setelah menerima surat permohonan itu secepatnya melakukan tanggapan dan testing bersama calon Nabe, guna mendapat kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya seluruh persyaratan.
5.        Apabila permohonan belum memenuhi syarat dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian. Hasil pemeriksaan dan testing disampaikan kepada Parisada pusat dengan tembusan kepada Parisada setempat.
6.        Pemberian keputusan dapat atau tidaknya seseorang untuk didiksa, selambat-lambatnya 2 minngu sebelum hari pediksaan dengan tembusan ke Parisada Pusat dan Parisada setempat.
7.        Permohonan yang permohonannya ditolak dapat mengajukan permohonan lagi setelah 3 bulan kemudian sampai sebanyak 3 kali.
8.        Seorang Pendeta yang baru di diksa, boleh mulai melakukan Lokapalasraya setelah mendapat ijin untuk itu dari Nabenya yang disasikan oleh Parisada yang memberikan ijin diksa.
9.        Parisada wajib menyiarkan tentang hak Lokapalasraya itu.
Dengan demikian segala ketentuan yang patut diikuti sebelum melaksanakan upacara madiksa. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah hubungan anatara sisya dengan Nabe (aguron-guron) yang mesti terjaga dalam arti kesucian berprilaku, karena bila seorang sisya diksita berprilaku yang tidak baik setelah ia disahkan menjadi Sulinggih, yang ternoda bukan hanya dirinya melinkan juga dapat mencemari kesucian Nabenya, oleh karena itu seorang Disita hendaknya benar-benar mentaati tugas dan kewajiban seorang Sulinggih.

2.3       Kewajiban dan Fungsi Pandita
Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca Yadnya. Kewenangan ini tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi juga untuk upacara yang bersifat pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain-lain.
Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda. Untuk dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga, Seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang disebut sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu atas Kitab Suci Weda.
            Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok Sulinggih adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain.
Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap hari. Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak melaksanakan tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya berorientasi kepada “ngetut yasa” dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Seorang Pandita memiliki kewajiban kepada sisyanya antara lain:
1. Guru Nabe berwenang memberikan upacara Diksa atau penyucian terhadap calon Diksa.
2. Memeberi peringatan kepada sisya tentang tingkah laku yang benar dan salah.
3. Menuntun para sisya menuju kejalan yang benar sesuai dengan sastra-satra agama.
4. Mengajarkan tentang dosa
5. Memberikan teguran kepada sisya.

2.3.1    Kewajiban Sulinggih
Apabila seseorang yang sudah didiksa atau di Dwijati maka ia harus mengikuti beberapa kewajiban antaralain:
1. Kewajiban merubah nama (Amari Aran)
2. Kewajiban tentang merubah  pakian (Amari Wesa)
3. Kewajiban tentang perubahan prilaku (Amari Wisaya) 


2.3.1.1 Kewajiban merubah nama (Amari Aran)
Setelah seseorang Diksita di diksa atau di Dwijati oleh nabenya maka sang guru nabe akan menganti namanya yang telah disandang ketika mereka masih dalam status Walaka. Dan mengantinya dengan nama baru yang diberi oleh Sang Guru Nabe dengan suatu upacara yang di sebut dengan upacara Amari Arana tau merubah  nama. Misalnya: Ida Pedanda, Ida Rsi Bujangga, Ida Sri Bhagawan, Ida Pandita Mpu, Ida Dukuh, dan sebagainya. Perubahan nama baru disebut Mabhiseka, artinya memiliki nama baru karena ia baru lahr dalam kedua kalinya (Dwijati).

2.3.1.2 Kewajiban tentang merubah  pakian (Amari Wesa)
Seorang yang sudah di Dwi Jatiharus merubah cara-cara berpakiannya. Mereka tidak boleh lagi  berlaku seperti ketika masih dalam status Walaka. Misalanya: memakai celana panjang, celana atau aju jeans, mengguanakan perhiasan, berpakian seksi, dan yanglainnya. Seorang yang sudah di Dwi Jati tidak berstatus walaka tetapi ia sudah status menjadi Sulinggih atau Pandita. Sulinggih wajib menggunakan pakian kesulinggihan seperti:

A  Pakian Sehari-hari
1) Untuk Sulinggih laki-laki
a.    Kian puti
b.    Selimut kuning bertepi putih
c.    Ikat pinggang putih
d.   Keluar rumah harus memakai tongkat
e.    Boleh memakai jubah (kwaca rajeg)
2) Untuk Sulinggih Perempuan
a.       Kain dasar kuning
b.      Baju putih
c.       Selendang kuning
d.      Ikat pinggang kuning


B  Pakian untuk memuja
Seorang sulinggih memiliki aturan-aturan khusus di dalam melakukan pekerjaan, khusus dalam tatanan pakian. Untuk itu seorang Sulinggih ketika sedang meuja maka wajib menggunakan pakian seperti:
a.    Sampet: secarik kain yang dilipat pada dada
b.    Rudrakacatan Genitri: pada kudua buah bahunya
c.    Gondala: anting-anting
d.   Guduita: gelang genitri pada pergelangan lengan
e.    Kanta Bharana: perhiasan pada telinga
f.     Amukuta : bermahkota atau bermeketu (Bhawa)

2.3.1.3 Kewajiban Sulinggih dalam berprilaku (Amari Wisaya)
            Seorang Dwi Jati atau Sulinggih adalah orang telah melepaskan keduniawiannya, karena ia telah meninggalkan dunia Walaka dan lahir kembali keduniia Sadhaka.  Kelahiraan ini ditndai dengan upacara Dwi Jati yang artinya lahir untuk kedua kalinya dengan kesucian menuju Brahman. Untuk itu seorang sulinggih, Wiku, Pandita, atau Dhang Acarya diharuskan tidak memiliki prilaku seperti pada waktu masih Walaka. Sehingga seorang yang sudah medwijati atau menjadi Sulinggih harus merubah prilaku Walaka menjadi prilaku Pandita atau Sulinggih seperti misalnya memntaati beberapa mancam pantanga.

2.3.1.4 Kewajiban seorang sulinggih setiap hari dalam melaksanakan   dharmaning kawikon.
1.      Arcana: memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi dan Bhetara-Bhetari yang dilakukan setiap hari, terutama dalam Suryasewana.
2.      Adhyaya: Tekun belajar, mendalami weda, tatwa, tutur-tutur dan sebagainya.
3.      Adhyapaka: Suka mengajar tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, dan bimbingan rohani lainnya.
4.      Swadhyaya: Rajin belaajr sendirimengulangi pelajaran-pelajaran terutama yang diberikan oleh Nabenya.
5.      Dhyana: Merenungkan Brahman (Tuhan) atau Hyang Widhi atau hakekat yang di puja.
2.3.2    Fungsi Pandita
1.    Memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka”.
2.    “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan warga.

2.4       Profil Pandita Masa Depan
            Sudah lumbrah orang mengetahui pada masa depan akan terjadi perubahan yang maha dahsyat tentang prdaban manusia tak terkecuali pada masyarakat Hindu. pada perubahan itu akan muncul tuntutsn intenal dan eksternal yang harus dipenuhi oleh masyarakat penduduknya. itu berlaku juga untuk sang Sadhaka atau Sulinggih aik dari arti luas yaitu rohaniawan bahkan seluruh umat Hindu yang menekuni masalah-masalah keroehanian khususnya Sadhaka yang diartikan pendeta.
            Umat Hindu akan mengalami perubah yang demikian berbeda dengan keadaan  yang sebelumnya baik itu mengenai masalah-masalah keduniawian maupun keroahania. Untuk mengantisispasi di perlukan Pandita secara kualitas dan kuantitas serta memiliki tanggu jawab agar umat Hindu mampu dan terbkti dapat memcahkannya.
            Berdsarkan pemikiran diatas maka diperlukan tindakan manakala yang patut disiapakan untuk memunculkan Pandita yang dapat mengubah, membentuk serta mengarahkan zaman. Hanya Pandita yang memiliki visi dan misi mengenai masa depan yang nanti memiliki tekad untuk terpanggil memcahkan masalah.
   Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”. Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia. Kesimpulan: seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat formal dan syarat-syarat sipiritual diuraikan. Seorang  guru spiritual atau Sulinggih selain sebagai narasumber dalam dunia kerohanian, maka seorang pandita tidak hanya hafal terhadap Puja atau stawa saja, namun secara idealnya juga harus mengetahui berbagai ilmu pengetahuan baik sruti atau smrti dan ilmu pengetahuan yang lain.

2.4.1    Sulinggih di Jaman Kali
Kedudukan Pandita (Pendeta) dalam masyarakat Hindu sangat mulia sehingga dinamakan Sulinggih, artinya kedudukan yang utama. Selain disebut sebagai Sulinggih juga disebut sebagai Sang Dwijati, artinya yang lahir kedua kali. Kelahiran pertama dari rahim Ibu sebagai manusia biasa yang membawa karma wasana dari atman yang ber-reinkarnasi. Karma wasana terdiri dari dua kelompok yaitu Swabhawa dan Guna. Swabhawa adalah bibit-bibit sifat sedangkan Guna adalah bibit-bibit minat dan bakat.
Kelahiran kedua adalah kelahiran yang diberikan oleh seorang Guru (Nabe) yang mengajarkan Weda sesuai dengan peraturan dan mendapatkannya melalui Sawitri Mantram. Kelahiran kedua ini melalui proses yang panjang karena terlebih dahulu Swabhawa dan Guna diarahkan pada hal-hal yang suci dan positif sejak usia dini kemudian berbagai disiplin dan ilmu diajarkan dalam proses aguron-guron yang dipimpin oleh Nabe.
Tahapan dan proses itu diuraikan antara lain dalam Manawa Dharmasastra II sloka 169 dan 170. Jika itu dapat dilaksanakan dengan baik maka menjadilah ia Sulinggih yang memenuhi empat kriteria yaitu:
1.    Sang Satya Wadi, artinya orang yang selalu berbicara mengenai kebenaran dan hal-hal yang benar.
2.    Sang Apta, artinya orang yang dapat dipercaya.
3.    Sang Patirthan, artinya orang yang dapat dimintai mensucikan diri oleh umatnya.
4.    Sang Panadaham Upadesa, artinya orang yang memiliki swadharma memberikan pendidikan moral kesusilan kepada masyarakat agar hidup dengan harmonis dan berbudi luhur.
Dewasa ini banyak Sulinggih yang tidak sempat melalui proses panjang itu namun berhasil menjadi Sulinggih ideal karena beliau berusaha memenuhi kekurangan-kekurangan di masa walaka yakni mengembangkan Swabhawa dan Guna pada hal-hal yang positif dan suci. Di samping itu senantiasa memperhatikan gejolak masyarakat serta membekali diri dengan berbagai pengetahuan lebih dari apa yang telah diperoleh dari Nabenya. Nabe yang baik tentu menginginkan putranya menjadi lebih baik daripada dirinya sebagaimana swadharma seorang guru biasa.
Kriteria Sulinggih di tiap-tiap zaman pada umumnya sama seperti yang disebutkan di atas, namun dalam implementasi tugas dan fungsi, fokusnya berbeda-beda.
1. Zaman Kertayuga, Sulinggih menerima wahyu Hyang Widhi dan meneruskannya berupa ajaran-ajaran agama kepada para pengikutnya.
2.  Zaman Tritya dan Dwapara di mana adharma sudah muncul sampai ke setengah jumlah penduduk, tugas Sulinggih semakin berat memperjuangkan tegaknya dharma.
3.  Zaman Kali seperti sekarang ini tugas Sulinggih sudah sangat-sangat berat karena getaran-getaran serta rangsangan untuk berbuat adharma tidak hanya terjadi pada umatnya saja tetapi juga bisa terjadi pada diri Sulinggih, sehingga perilaku kebanyakan manusia di zaman Kali mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.       Atyanta Kopah, yaitu sifat yang mudah marah apabila keinginannya tidak tercapai.
b.      Katukaa cawani, yaitu suka berkata-kata kasar, membentak, berbohong, menipu, dan memfitnah karena merasa kepentingannya terancam.
c.       Daridrata, yaitu sifat lobha atau tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, kikir, malas ber-dana punia atau membantu orang lain yang ditimpa kesusahan.
d.      Swajanesu wairan, yaitu tega memusuhi keluarganya sendiri karena didorong oleh kepentingan pribadi.
e.       Niica prasangga, yaitu melakukan swadharma bukan dari hati nurani yang suci, tetapi demi harta kekayaan tanpa memperhatikan segi-segi sosial.
f.       Kulahiina sewa, yaitu bersahabat dengan orang-orang bejat.
Upaya yang kuat perlu dilaksanakan agar keempat kriteria Sulinggih seperti yang disebutkan di atas dapat terus dipertahankan. Sulinggih mestinya sudah mampu mengendalikan diri agar tidak terkena godaan-godaan Sad Ripu serta teguh pada norma-norma kesulinggihan antara lain teguh melaksanakan yama brata, niyama brata, trikaya parisudha, dll.

2.4.2  Keterampilan Atau Kompetensi Yang Harus Dimiliki Sulinggih
Kedudukan pandita dalam masyarakat Hindu sangatlah terhormat dan strategis. Orang yang dapat diberi gelar pandita adalah mereka yang telah mencapai dwijati. Pertama lahir dari rahim ibu kandung atau deha mata dan kedua lahir dan rahimnya Weda atau Weda Mata. Dalam pustaka Nitisastra 1.6 ada dinyatakan ciri-ciri orang yang bergelar pandita adalah Ksama (pemaaf), Mudita (berbudhi tenang), Santosa (sabar). Upeksa (teliti), Mordawa (lemah lembut). Sastrajnya (berpengetahuan suci), wuwus nira amrta (ucapannya bagaikan air penghidupan). Bhagavad Gita IV. 19 menyatakan bahwa orang yang telah mencapai Niskama Karma karena dicerahkan oleh Jnana Agni yang dapat disebut pandita. Artinya selalu berbuat baik dan benar dengan tidak mengharapkan hasilnya. karena sangat yakin akan kebenaran hukum karma phala setiap perbuatan baik dan benar pasti hasilnya juga baik dan benar. Hal itu dicapai karena hidupnya telah dicerahkan sinar ilmu pengetahuan suci yang disebut Jnana Agni yang mampu untuk memberikan sinar keabadian berupa hidup yang abadi.
Berdasarkan sloka diatas bahwa seorang Sulinggih harus mempunyai kompetensi yang harus dimiliki dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bekal dalam membimbing umatnya,


2.4.3    Kepekaan Terhadap Perkembangan Jaman
Kemampuan seorang pandita tidak hanya cakap dalam hal keagamaan, akan tetapi harus memiliki skill (keterampilan) dalam hal yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Tekhnologi dan Komunikasi (IPTEK). Jadi kecakapan dari seorang pandita ini harus mempunyai kemampuan yang luas, baik dari segi keagamaan, yaitu menguasai pengetahuan tentang Veda dan sesana kepanditaan juga harus mengikuti perkembangan jaman yang dihadapi pada jaman sekarang ini, yaitu harus tetap terbuka pada perkembangan tekhnologi dan informasi yang sangat pesat dewasa ini. Sehingga seorang Sulinggih masa depan harus mampu menguasai IT tersebut dan mampu untuk menyelami keadaan situasi dan kondisi umat Hindu yang sedang berkembang di jaman yang penuh dengan modernitas.
Disamping itu adalah kemampuan tentang adanya pemahaman tentang bahasa, baik itu yang digunakan dalam penyampaian materi kepada umat berupa bahasa pengantar bahasa Indonesia, juga harus mampu menggunakan bahasa jawa kuno dan bahasa sansekerta karena teks kitab suci Hindu sebagian besar adalah menggunakan bahasa sansekerta dan bahasa jawa kuno. Dan tidak kalah pentingnya adalah penggunaan  bahasa inggris yang tidak menutup kemungkinan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu harus mengunakan bahasa tersebut sebagai bahasa Internasional. Kemudian hal yang harus dimiliki oleh seorang sulinggih adalah penggunaan IT yang sebagai media yang mutlak dikuasai dalam menjalin informasi dengan umat Hindu pada umumnya. Dengan demikian, keterampilan  yang harus dimiliki oleh seorang sulinggih dimasa depan adalah harus mampu untuk menyesuaikan dan mampu melakukan filterisasi dalam perkembangan jaman  yang penuh dengan dinamika ini.








BAB III
PENUTUP

3.1       Simpulan
 Kedudukannya Pandita sangat dihormati oleh umat pada umumnya, karena dalam hal ini ada perubahan status dari sang walaka menuju sadhaka. Sehingga dalam status sosila keagamaan sudah mempunyai status sebagai seorang Pandita, yang berubah nama yang disebut amari-aran, merubah atribut (amari wesa) dan merubah aktivitas kehidupan (amari wisaya). Dan memiliki tugas serta kewajiban.  dan Fungsi pandita: Memimpin warga  upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka”.  Dan “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan warga.

3.2       Saran
            Semoga makalah yang kami buat ini ada manfaatnya bagi para membaca, guna memambah pengetahuan tentang profil Pandita masa depan.



DAFTAR PUSTAKA

Agastia.G. IB, dkk. 2001. Eksestensi Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.
Bangli, I B. 2005. Mutiara Dalam Budaya Hindu. Surabaya: Paramitha
Sastra, Sara Gede. 2005. Pedoman Calon Pandita Dan Dharmaning Sulinggih (wiku sessana). Surabaya: Paramitha.
http://hardisanatana.blogspot.com/2013/03/pandita-masa-depan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar