Jumat, 24 Januari 2014

UTS SIVA SIDDHANTA II



UTS  SIVA SIDDHANTA II

Makna  Filososi Dalam Canang Sari, Daksina, Banten Peras, Banten Sesayut,  Banten Ajuman, dan  Banten Pejati, serta Mantra Canang Sari, Daksina dan Banten Peras

                Dosen Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H




OLEH :
                             NAMA   :    NI MADE SULIARTINI
                                    NIN           :     10.1.1.1.1.3864
                                    PRODI     :     PAH /V.B



         

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
20l2



 
 
I.                   PENDAHULUAN
Dalam setiap upacara yadnya yang dilaksanakan khususnya di Bali tidak bisa lepas dari sarana upakara yang disebut dengan banten. Banten-banten yang digunakan daalm setiap upacara berbeda-beda sesuai dengan tujun pnggunaannya karena masing-masing dari banten itu memiliki makna yang tersendiri berbeda yang atu dengan yang lainnya namun memiliki keterkaitan bahan-bahan dasar.
Adapun bahan dasar yang biasanya  sering dipergunakan dalam banten, yaitu:  bunga, pelawa, porosan. Dan yang lainny yang melengkapi banten-banten. Dalam upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusa Yadnya, banten yang digunakan biasnya berbeda-beda namun ada beberap banten yang biasanya bisa digunakan dalam upacara Panca Yadnya yang diselenggarakan. Dalam Bagavad Gita Bab IX Sloka 26, yang berbunyi sebagai berikut:
Patram pusham phalam toyam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyauphritam
Asnami prahyatatmanah

Terjemahannya:
           
            Siapa saja yang sujud kepada Aku dan mempersembahkan sehelai daun
            Sekuntum bunga, sebiji buah-buahan,
            Seteguk air, Aku terima sebagai bakti
            Persembhan dari orang yang berhati suci.

Dari bunyi sloka diatas dapat dicermati, bahwa saran upacara agama yang dipersembhakan sebenarnya bukan dari jumblahnya yang banyak namun dari kesucian hati. Dan yang menjadi dasar atau sarana pokok dari sebuah upacara atau persembahyangan yaitu: bungaa, air, dan api.  Jadi senantiasalah melaksanakan upacara didasari atas hati yang tulus iklas.
  Banten-banten yang dapat digunakan atau sebagai pelengkap dalam upacara Panca Yadnya yang diselengarakan, misalnya canang, Daksina, Peras. Serta bante-bante yang lain yang sifatnya umum. Maka dari itu sangat perlu kiranya kira kita mengetahui tentang makna-makna yang terkadung didalam sebuah banten itu, karena kita akan sering menggunakan banten-banten itu. Dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang makna yang terkadung di dalam banten Canang sari, Daksina, Peras, Sesayut, Ajuman, Ngelingyang Surya.  Dan beberapa mantra tentang Canang Sari, Daksina, Peras. Semua banten ini sering digunakan pada upacara Panca Yadnya, dan banten-banten ini biasanya selalu melengkapi banten-banten yang laennya, dan bisa juga digunakan secara sendiri.   Jadi pada kesempatan ini saya sangat beruntung mendapatkan tugas yang berkaitan tentang mantra dan makna yang terkandung dalam banten yang terggolong umum yang dapat menambaah waawasan serta dapat digunaakan daalm kehidupan sehari-hari karena dari tidak tahu menjadi tentang unsure-unsur ddan makkna yang terdapat dalam sebuah banten.



II PEMBAHASAN
2.1              Makana dan Unsur-unsur dalam Banten
2.1.1        Canang Sari
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPp8JyekNoGCHC6DSVEZwHMa4dqvh1rpABWXY6ih0iYZvzkJVkQaDkugBMFXf6Bv3E-X-uIplOZc3WBkIaw9HsLKqMgvBrUvGjSQDeL6C2L3mhp88CdxouonnYYa1R1RHgjH8MVrFxmN0/s320/canangsari02.jpg
Canang sari fungsinya sebagai simbol sarining yadnya, sehingga setiap upakara disertai dengan canang sari. Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit). Dan Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari. Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima olehNya dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala.

2.1.1.1 Unsur-unsur dan makna dalam Canang Sari
1)        Ceper
Ceper adalah  alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat sebagai lambang badan (angga-sarira). Keempat sisinya sebagai lambang dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya yang membentuk terjadinya badan ini.
2)        Beras
Beras atau wija sebagai lambang Sang Hyang Ātma, yang menjadikan badan ini bisa hidup. Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma.

3)        Porosan
 Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir. sebagai lambang/nyasa Tri-Premana dan Tri Kaya. Tri-Premana adalah tiga cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun astrak meliputi Pratyaksa (melihat dan memegang), Anumana (membuktikan), dan Agama (pengetahuan yang diberikan guru/sarjana). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri pramana sebagai lambang dari Sabdaha (perkataan), pinang lambang dari Brahma dan dalam Tri Pramana sebagai bayu, dan kapur sebagai lambang Siva bentuk dari Tri Pramana sebagai idep.
http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html. Daun sirih melambangkan Hyang Wisnu. Kapur melambangkan Hyang Siwa, dan buah pinang  dilamangkan sebagai dewa Brahma. Porosan secara umum merupakan lambang dari dewa Tri Murti. canang tidak akan memiliki arti apabila tidak ada porosan.

4)    Tebu dan pisang
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.  http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html.
Buah pisang dapat diartikan lambangkan cinta sejati yang suci dan tulus. Ibarat pohon pisanng hanya berbuah sekali. Ini merupakan wujud pembrian dan penyerahan diri sepenuhnya kepada yang dipuja dengan segala cinta dan ketulusan. (Sanjaya.2010:58). Tebu juga memiliki makna manis jadi dalam hidup ini menemukan yang manis sebagai amerta dalam hidup dan berusaha menyerahkan diri dengan tulus dan iklas kepada Hyang Widdhi,  karena semua berawal dariny dan akan kembalagi kepada-Nya. 

     5)    Sampian urasari
Jejaritan dari janur yang berbentuk Padma Asta Dala yaitu lmbang Sthana Sang Hyang Widhi Wasa dengan manifestasi-Nya yang menepati delapan arah penjuru angin. Padma Asta Dala adalah lambang perputaran alam yng dinamis dan seimbang sebagai sumber kehidupan yang menuju kebahagiaan. (Sanjaya. 2010: 58-59).
Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.

6)    Bunga.
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati.
Di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan. Dan dalam (Girinata. 2009:44 ) menyebutkan makna filosofi dari bunga memiliki makna religious atau makna spiritual serta memiliki makna kesucian. 
Bunga banyak dijumapai dalam berbagai banten atu upakara dan upacara yadnya, bunga merupakan saran pokok dan mengandung makna tersendiri sesuai dengan jens upakara atau wujud bantenny.

7)    Kembang Rampai.
Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html. dan kembang rampe atau pandan harum  yang  menggmbarkan tarik atau rangsangan untuk memusatkan pikiran kearah kesucian dalam memuja Ide Hyang Widhi Wasa
(Mas Putra, dalam Girinata. 2009:

8)    Lepa.
Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
 http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html

9)    Minyak wangi.
Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.



Kristalisasi Siva Siddhanta dalam Canang Sari
            Dalam canang sari terdapat kristalisasi Siva Siddhanta, mulai dari unsure terkecil dalam canang yaitu porosan lambang dari Tri Murti. Yang merupakan kristalisasi dari sekte Waisnawa,  Sekte Brahma dan Sekte Siva. Dan dalam Urasari terdapat pula kristalisasi sekte-sekte ke dalam sekte Siva Siddhnta, Urasari merupakan lambang Padma  Asta Dala yaittu 8 penjuru mata angin. Serta bunga melambangkan dewa-dewa sesui dengan warnya. Dalam banten canang sari terdaapt kristalisasi sekte-sekte kedalam Sekte Siva Siddhanta.

2.1.2        Daksina
daksina
Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dar ipada Yadnya. Hal ini dapat dilihat pada berbagai upacara yang besar, di mana banyak menggunakan ada daksina. Kalau dilihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya.
Tempat untuk daksina disebut bedogan atau clekontong. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput. Di atas beras diletakkan sebutir kelapa yang telah dikupas halus tempurungnya, dihilangkan sabutnya.

2.1.2.1    Jenis-jenis Daksina
1)      Daksina Alit
Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
2)      Daksina Pekala-kalaan
Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
3)      Daksina Krepa
Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
4)      Daksina Gede atau Daksina Galakan atau Pemopog
Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan : 5 x coblong beras, 5 butir kelapa yang di atasnya berisi benang putih tukelan kecil, 5 kojong tampelan letakkan berkeliling, 5 kojong pesel-peselan, 5 kojong gegantusan, 5 kojong tebu, 5 kojong pisang, 1 cepér berisi 5 buah pangi, 5 buah kemiri (tingkih), 1 cepér berisi 5 butir telur bébék, Sampiyannya : basé ambungan (kekojong dari janur berisi basé lembaran dan sampiyan sreyok - lihat gambar sebelah
http://www.babadbali.com/canangsari/banten/daksina.htm


2.1.2.2 Makna dari masing-masing bahan pokok Daksina
1)      Wewakukan  atau bebedogan.
Adalah yang terbuat dari janur. Wewakulan ini adalah lamang dari pertiwi. Di dalam wewakulan diberi lapisan berbentuk serobong dari janur pula sebagai Aksa. Dalam wewakulan Daksina inilah seluruh isi Daksina dimasukkan.

2)      Tampak
Adalah jaritan janur berbentuk segi empat sebagai lambang delapan arah mata angin, juga sebagai lambang cakra yang juga sebagai pergerakan alam semesta diikuti oleh hukum alam.

3)      Buah kelapa
Adalah bagian utama dari Daksinase bagai lambang bhuana agung. Kelapa ini hendaknya dikupas dan dibersihkan serabutnya sebagai simbol pembebasan Bhuana Agung dari ikatan segala indria sehingga menjadi suci.

4)      Sebutir telur
Adalah lambang Bhuana Alit. Telur itik dipilih karena itik adalah binatang yang  dipandang sebagai simbol Sattwam,  karena itik bila mencari makanna meski dalam lumpur sekalipun ia dapat memilih makanan. Dan telur ititk juga mengandung makna penanaman benih-benih sifat Sattwam dalam Bhuana Alit yang tidak lain adalh diri manusia.

5)       Peselan
Adalah gabungan 5 jenis daun yang bisa mewakili 5 jenis warna yaitu: warna putih, merah, kuning, hitam, dan hijau atau biru. Kelima warna daun ini digunakan biasanya jenis plwa atau bisa juga daun mangis, croring, salak, mangga, dan durian.  Penggunaan peselan ini bertujuan sebagai pengharapan agar Panca Dewata hadir dan malinggih di Daksina sebagai saksi dan menganugrahkan kerahayuan.
6)       Porosan
Adalah simbol dari Tri Murti, dimana buah pinang simbol Brahma,  daun sirih simbol Visnu, dan kapur simbol Siva.

7)       Pisang, tingkih, pangi, dan bija ratus
Yang dialasi dengan kojong dalah simbol dari manusia. Pisang sebagai tulang, tingkih sebagai paru, pangi sebagai hiti, dan bija ratus sebagai isi jroan. Bija ratus ini terbuat dari, biji-bijian seperti godem, jagung, dan biji jali.

8)       Gegantusan
Adalah kojong atau bungkusan dari daun pisang yang berisi ikan teri, garam, dan bumbu-bumbuan yang merupakan hasil dari darat dan laut. Adapula gegantusan yang berisi beras putih, beras merah, injin, sebagai simbol Brahma, Visnu, Iswara.

9)        Benang tukelan putih diatas kelapa.
            Adalah simbol dari hubungan antara Atma, JIwatma, dan Paramatma
Yang menyatu dalam proses Utpeti, Stiti, Pralina.
10)   Uang sebagai pamirak (penebus kekurangan) (Sanjaya, 2010.59-61)
11)   Uang kepeng symbol windu.

Diatas perlengkapan Daksina itu disis dengan canang payasan dan canag genten. Dan dalam upacar tertentu daksina ini dapat dilengkapi dengan jenis-jenis canang tertentu sesuai dengan kebutuhannya. Serta penggunaan Daksina sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Krisalisasi Siva Siddhanta Dalam Daksina
            Bahwa dalam daksina itu banyak menggunakan bahan-bahan atau perlengkepan, yang masing-masing memilki makna tersendiri. Wewakulan ini adalah lamang dari pertiwi. Tampak berbentuk segi empat sebagai lambang delapan arah mata angin, kelapa lambang bhuana agung, telur lambang Bhuana Alit, Peselan lambang Panca Dewata, Porosan lambang dari Tri Murti, Gegantusan Brahma, Visnu, Iswara, Benang tukelan putih diatas kelapa simbol Tri kona.  Dalam Daksina Tampak melambangkan 8 arah mata angina tau 8 dewata, pepeselan yang melambangkan panca dewata, kemudian porosan melambangkan tri murti. Bahwa sananya sekte yang ada itu memuja dewa yang berbeda-beda kemudian di persatukan dengan konsep tri murti.  Maka semua sekte-sekte yang ada bersatu dengan mengatas namakan Siva Siddhanta. Tanpa menghilangkan tradisi dari masing-masing setke. Ibaratkan wewakulan sekte Siva Siddhanta, perlengkapan dalam daksina yang lainnya itu merupakan sekte-sekte yang lainnya, sehinnga disatukan dalam dalam tempat wewakulan itu akan memebentuk daksina. Begitu pula sekte-sekte yang lainnya yang disatukan kedalam Siva Siddhanta.                                                                                                       
           

2.1.3        Banten Peras
Peras adalah suatu banten yang  menyertai banten yang lainya artinya pada saat pengunaannya idak digunakan secara tersendiri. Banten peras merupakan pertanda pengeesahan atau persmian suatu upakar yang biasanya setelah upacara selesai, lekukan pada kulit peraas itu ditarik. Dan beras yang ada dibwahnya akan ditaburkan. (Sanjaya.2010:61).
Taledan diisi kulit peras, base tampel, benang putih, kemudian diisi uang kepeng. Selanjutnya diatasnya diisi dua buaah tumpeng, lauk-pauk, jajan, buah-buahn, sampian peras, canang genten. Dan tempat lauk-pauknya dibuatkan sebuah kojong. Dalam lontar Yadnya Pakrti Peras adalah lambang Hyang Tri Guna Sakti. Dan dalam pemakian sehari-hari peras ini dipergunakan sebagai lambang kebersihan. (PHDI:1995:101) dan Mankna Filosofis Bahan-banah Peras, yaitu:

2.1.3.1 Taledan.
Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)

2.1.3.2 Kulit Peras.
Bertanda selesainya suatu upacara, yang bisa diarikan pengesahan atau peresmian. Apabila lekukan-lekukan pada kulit peras itu ditarik, maka upacara yang dilaksanakan telah selesai dilaksanakan. Dan apa bila meras anak, pada saat sudah menarik lekukan-lekukan pada kulit peras itu maka anak itu sudah menjadi anak, berarti dapat diartikan sebagai pengesahan.

2.1.3.3  Beras,
Sebagai lambang  kemakmuran dan  dimana  ada upacara yadnya pasti akan makmur, Karena Yadnya  merupakan perputaran kehidupan yang dalam Bhagawad-Gita disebutkan Cakra Yadnya. Apa bila cakra Yadnya ini tidak berpur maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran. Dan karena beras merupakan maakanan pokok dan sebagai sifat Rajas.
Base tampel.
                                      
2.1.3.4  Benang Putih
Adalah simbol dari hubungan antara Atma, JIwatma, dan Paramatma Yang menyatu dalam proses Utpeti, Stiti, Pralina. Dan pula diartikan sebagai kesucian dan merupakan alat pengikat sifat  Sattwam.

2.1.3.5 Uang kepeng
Sebagai simbol windu, dan sebagai lambang untuk mengendalikan sifat Tamas.

2.1.3.6 2 Buah tumpeng
Tumpeng dalam peras bermakna Rwa bhineda (baik-buruk). Yang merupakn kristalisasi dunia menuju rohani. Dan dua tumpeng untuk dapat menghasilkan ciptaan kekuatan (Purusa-Pradana). Dan dapat pula berlambang ke uletan, dalam meniadakan unsure-unsur materialis, ego. Dalam kehidupan sehingga sukse menuju Tuhan.

2.1.3.7  Lauk-pauk
Yang terdiri dari kacang, saur. Yang merupakan hasil dari Bhuana Agung.

2.1.3.8  Jajan, Buah-buahan.
Merupakan dan sebagai wujud rasa terima kasih kepada Ide Hyang Widhi,  apa yang kita miliki itulah yang kita persembahkan. Hasil karya berupa buaah dan biji-bijian, yang sebenaranya merupakan anugrah dari Tuhan, dan perlu disadari bahwa segala yang ada merupakan ciptaan-Nya. Sarana persemahan berupa buah-buahhan dan biji-bijian hendaknnya dipersembahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta dalam keadaan sukla dan suci. (Girinata. 2009: 53).

2.1.3.9 Sampian Peras.
Sampain peras ini terbuat dari empat potongan janur dibentuk menyerupai parabola diatasnya. Merupaakn lambang dari keinsapan dari diri dalam menerima intuisi, insiasi, waranugraha dari Hyang Widhi Wasa. Yang nantinya guna dipakai dalam melaksanakan Dharma.


2.1.3.10 Canang genten.
Yaitu canang yang terbuat dari janur atau daun pisang. Yang dibentuk segi empat, diatasnya diisi pelawa yang memiliki makna ketenangan dan kesucian hati. Selnjutnya secara berturut-turut diisi porosan, yang merupakan lambang Tri murti, diatasnya dirangkaikan janur berbentuk tangkih atau kojong dan paling atas diisi bunga yang merupakan ketulusan dan kesucian hati, pandan harum wangi-wangian. Reringgitan merupakan lambang kesungguhan hati.

2.1.3.11Kojong peras
Kojong ini digunaakn sebagai tempat lauk-pauk. Bermakna sebagai keersihan. Jika ingin mendapatkan kebersihan harus dapat memeadukan potensi dalam diri (mulai dari pikiran, ucapan, perbuat dan hati nurani).

2.1.3.12   Daging Ayam
Dalam peras menggunkan ayam, merupakan bentuk prsembahyangan dalm bentuk suguhan. Dan sbagai simbol mengendalikan sifat rajas.


Kaitan Kedalam Penyatuan Siva Siddhanta
            Dalam Peras banyak menggunakan sarana-saran yang memiliki makna tertentu. Sudah sangat jelas dalam peras itu ada unsur penyauan sekte-sekte kedalam sekte Siva Siddhanta. Terdapat porosan yang merupakan lambang dari Tri Murti yang disatukan oleh Mpu Kuturan sekte-sekte yang ada di Bali kedalam konsep Tri Murti. Dalam Tri Muri terdapat tiga sekte, yaitu Siva Siddhanta, Brahma, dan Vaisnawa. Serta dari bunga juga merupakan penyatuan dari beberapa Sekte-sekte kedalam sekte Siva Siddhanta. Dalam banten peras itu yang terkadung maknanya, bagaimana cara kita dalam kehidupan ini agar mampu mengendalikan sifat-sifat Tamah dan Rajah yang di imbangi dengan Sattwam. Jika ingin mendapatkan kebersihan maka dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dibersihkan. Serta dengan memilih salah satu dari catur marga sebagai sarana menghubungkan diri dengan tuhan. Maka dharma bisa dilaksanakan dengan baik, dan kesuksesan pun akan tercapai.

2.1.4          Banten Sesayut
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiY2rWfgmnTj4v038N97JFCNUztn7hVCjOvHC2AJHgpKefUkEo4TCpX3vjW7mPYCLrjEcLozhdBguGg0jGXCHflqMS0eOF0BL-QpMoTp7i7nlUQV8PklYnDGY1VobotamMAPdgAbrNkEcs/s200/jejahitan+sesayut+pasupati.jpg

Banten sesayut hampir sama dengan banten tetebasan, bedanya hanya berisi nasi isehan, 1 ekaor ayam panggang, jajan dan buah-buahan. Banten ini bermakana suatu permohonan atau arti kata Sesayut, yang berakar dari kata “Sayut” atau nyayut memiliki arti mengharapkan, mendoakan, mensthanakan dan mengembalikan. Dan harapan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, agar apa yang kita harapkan dalam yanjna itu bisa terkabulkan. Dan dapat Sayut’ dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno) berasal dari kata ‘asayut’ artinya menahan, atau menguatkan Banten. Sesayut adalah banten-banten yang bertujuan untuk menguatkan rasa bhakti sekaligus menyampaikan permohonan kepada Sanghyang Widhi untuk tujuan tertentu.  Banten sesayut atau tetebasan ini banyak jenisnya, seperti sesayut prayascita luwih, sesayut saraswati, sesayut merta dewa, sesayut sida karya, sesayut sida purna, sesayut langgeng sakti, dan yang lainnya.

2.1.4.1 Jenis-jenis sayut antaralain:
1)                  Sesayut prayascita sakti
Terdiri dari sebuh kulit sesayut (bentuk bulat terbuat dari daun kelapa). Diisi tulng agung (dibawahnya berbentuk tamas dan diatasnya berbentuk cili). Di dalamnya diisi nasi serta lauk-pauk. Disusun dengan sebuah tumpeng yang diisi sebuah bunga teratai putih. Disekelilingnya diisi 11 buah penek kecil, 11 buah kewangen, 11 buah tipat kukur/tipat gelantik, 11 buah tulung kecil, peras kecil, pasucian, penyeng, kelungah kelapa gading, lis, bebuu, sampian nagasari, canang burat wangi, serta dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan lauk-pauk.

2)      Sesayut Saraswati
Terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi penek warna merah, penenk warna putih, dan penek warna hitam. Masing-masing sebuah dan dilengkapi dengan lauk-pauk, pisang, buah-buahan, jajan, tebu, samiapian nagasari, penyeneng, dan canang burat wangi atau canang yang lainnya.

3)       Sesayut Mertha Dewa
Terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning, dialasi dengan takir (terbuat dari kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk, jajan, buah-buahan, sampian nagasari, penyeneng dan canang genten tau canang jenis lainnya.

4)       Sesayut Sida Karya
Terdiri dari sebuah kulit sesayut diatasnya diisi nasi berbentuk segi empat bagian tengah-tengah nasi tersebut diisi sebuah tumpeng yang agak besar. Tumpeng tersebut diapi dengan tumpeng yang lebih kecil. Pada tumpeng yang paling besar puncaknya diisi terasi dan pada tiap sudutnya diisi sebuah kewangen. Dilengkapi pula dengan dua buah tulung dan perlengkan lain yang pada dasarnya sama dengan sesayut Mertha Dewa.

5)      Sesayut Sida Purna
Terdiri dari sebuah kulit sesayut , diisi nasi berbentu bulat. Disekitarnya diisi 5 buah penek masing-masing disispi pucu dadap. Dilengkapi dengan ketipat sida purna lima buah dan perlengkapan lain seperti diatas.
6)      Sesayut Langgen Amukti Sakti
Terdiri dari sebuah kulit sesayut diisi sebuah penek. Penek tersebut disispi sebuah kalpika dan muncuk dapadap (punck dapdap). Perlengkapan lainnya sam dengan sessayut tersebut diatas.
(PHDI. 2001: 98-99)
7)      Sesayut Pasupti
Bertepatan dengan Saniscara Kliwon Wuku Landep, lalu umat Hindu merayakan Tumpek Landep. Ida Pedanda Made Gunung pernah menyampaikan, menurut filosofinya, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman citta, budhi dan manah (pikiran). Diharapkan, tingkah laku perbuatan umat selalu dilandasi atas kesucian pikiran sehingga bisa memilah mana yang baik maupun yang buruk. Sebab dari pikiran kebahagiaan itu datang dan dari pikiran juga kesedihan menggelayut di hati. Seperti tersurat dalam Sloka 81, Sarasamuscaya, “Pikiran itu sangatlah labil dan berubah-ubah, apabila seseorang dapat mengendalikan pikirannya, niscaya ia akan memperoleh surga di dunia dan surga di akherat”. Pikiran yang tajam akan mampu memerangi kebodohan dan menekan sifat bhutakala dalam diri. Banten sesayut pasupati di haturkan kepada Sanghyang Siwa Pasupati merupakan dewanya taksu pasupati.
                             
Kaitan Kedalam Penyatuan Siva Siddhanta
Dalam banten sesayut mengunakan Tamas yang merupakan  lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga), berisi bunga Teratai yang merupakan perwujudan Dewa Brahma yang duduk di atas bunga teratai, yang mrupakan persatuan dari sekte Brahma. Mengunakan canang yang terdapat unsure penyatuan siva siddhantan, serta menggunakan porosan yang terdapat penyatuan siva siddhanta pula. Jadi dalam banten sesayut terdapat pula penyatuan siva siddhanta.      
2.1.5    Banten Ajuman
banten ajuman Stock Photo - 2764691
Banten Ajuman yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi). Soda/ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan/kokoh. Dan disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain. Kembali ke atas. Dan adapun unsur-unsur dalam banten Ajuman, antara lain:

2.1.5.1  Tamas atau Taledan
Tamas atau taledan, tamas lambang cakra (symbol kekosongan yang murni/ananda). Taledan merupakan  lambang catur marga yaitu empat jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. (bhakti marga, karma marga, jnana marga, dan raja marga).

2.1.5.2   Buah pisang, Jajan, Dan Buah-buahan
Merupakan persembahan hasil kerja keras dan rasa syukur kepada Ide Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah memberikan anugrahnnya kepada kita semua.

2.1.5.3  Dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah
Nasi penek atau "telompokan" adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis. Dan bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, yang disebut Ajuman putih kuning.

2.1.5.4   Rerasmen/lauk-pauk yang dialasi Tri Kona
Yang berisi beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Yang merupakan simbol/makan, dari Bhuana Agung yang diperembahkan.

2.1.5.5  Sampyan plaus/petangas/Sampian Soda
Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.

2.1.5.6 Canang sari/Canang Genten
Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit). Dan Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari.
Kristlisasi Sekte-sekte ke dalam Sekte Siva Siddhanta dalam Banten Ajuman
Dari makna filosofi masing-masing unsur yang ada pada banten Ajuman atau Soda, bahwa semua unsur-unsurnya bermakna pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widdhi Wasa. Yang mulai dari unsur Bhuana Alit sampai Unsur Bhuana Agung, di persembahkan secara tulus iklas. Dan dari makna-makna yang terdapat itu, bahwasanya semua sekte-sekte yang ada telah luluh menyatu dengan sekte siva siddhanta. 


2.1.6        Banten Pejati
http://pandejuliana.files.wordpress.com/2012/04/banten-pejati.jpg?w=300&h=225
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata jati” mendapat awalan pa-”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat  jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
 Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña. Dan  sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.

2.1.6.1  Unsur-unsur dan makna yang terdapat dalam banten Pejati
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu Daksina kepada Sanghyang Brahma, Peras kepada Sanghyang Isvara, Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu, Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva.

1)   Daksina terdiri atas:
a)         Bakul/serembeng, simbol arda candra
b)        Kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
c)         Bedogan, simbol swastika
d)        Kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
e)         Kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
f)         Telur bebek simbol windu dan satyam
g)        Tampelan, simbol trimurti
h)        Irisan pisang, simbol dharma
i)          Irisan tebu, simbol smara-ratih
j)          Benang putih, simbol siwa
Dari unsur-unsur diatas  terdir wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.

2)   Peras
Memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.

3)   Soda/Ajuman Rayunan 
Memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.

4)  Ketupat Kelanan
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia. Tetandingannya memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen.
 Untuk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.

21.6.2 Dasar  Lontar
1) Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen:
Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian“.

Artinya :
 Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.

Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”.

Artinya:
 Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.

2) Mengenai buah-buahan:
Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan“.

Artinya:
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.

3) Mengenai Kue/Jajan:
Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan“.

Artinya:
 Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.

4)      Mengenai bahan porosan:
Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih“.
Artinya:
Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.


2.2            Mantram dalam Canang Sari, Daksina, dan Peras
2.2.1    Mantram Canang Sari
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha

2.2.2        Mantram Daksina

Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam

2.2.3    Mantram Banten Peras
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Pañca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Śiva jnana
Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.


III        PENUTUP
3.1.1        Simpulan
Dari pembahasan tentang banten dapat disimpulkan, bahwa banten merupakan unsur pokok dalam melaksanakan upacara yadnya khususnya di Bali, yang tidak biisa lepas dari saran upacara.  Dalam canang sari, daksina, banten peras, banten sesayut, banten ajuman, dan banten pejati terdapat unsur penyatuan sekte-sekte kedaalm sekte Siva Siddhanta. Banten-banten diatas memiliki banyak makna apabila pada saat pembuatan dimaknai dengan baik maka banten itu akan lebih bermakna. Jadi sangat perlu dalam mengetahui makna-makna yang ada dibalik banten.

















DAFTAR PUSTAKA

Sanjaya, Putu. 2010. “ Acara Agama Hindu “. Surabaya : Paramitha

PHDI. 2001. Panca Yadnya. . Denpaasar: Proyek peningkatan sarana dan prasarana kehidupan beragama.

                             







 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar