Senin, 27 Januari 2014

Esensi Ajaran Yoga Dalam Tattwa Jnana




TUGAS YOGA II
ESENSI AJARAN YOGA DALAM TATTWA JNANA



 


                                                                                                    




IHDN DENPASAR
Dosen Pengampu : I Ketut Sumardana,S.Pd.H, M.Pd.H
                      

                       NAMA KELOMPOK: PAH B SEMESTER 5
1.      Ni Made Suliartini                          (10.1.1.1.1.3864)                    
2.      Putu Rika Perdiani                         (10.1.1.1.1.3869)
3.      Komang Trisna Sukratini                (10.1.1.1.1.3884)
4.      Putu Ngurah Restiada                    (10.1.1.1.1.3892)
5.      Gede Suliartawan                           (10.1.1.1.1.3889)




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
 DENPASAR
2012

ESENSI AJARAN YOGA DALAM TATTWA JNANA


I           Pendahualuan
1.1       Latar Belakang
Secara etimologi yoga berasal dari urat kata yuj, yang artinya berhubungan. Kata berarti hubungan atau berhubungan, yang dimaksud adalah bertemunnya roh individu (Atma/Purusa) dengan roh universal yang tidak berperibadi (Mahapurusa/ Paramatman). Sedangkan menurut Rsi Patanjali dalam Yogasutra I : 2 mendefinisikan yoga sebagai “yogas citta vrrti nirodhah” yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: Mengendalikan gerak gerik pikiran, atau mengendalikan tingkah polah pikiran yang cenderung liar, bias, lekat terpesona terhadap objek (yang dikhyalkannya) memberi nikmat (Yasa dkk, 2006 : 6). Di sisi lain, menurut Pidarta (2000 : 136-137), kata yoga dapat juga diartikan menghubungkan diri dengan Tuhan melalui pikiran. Adapun caranya adalah dengan memusatkan pikiran hanya kepada Tuhan. Yoga bukanlah suatu jalan keahlian tertentu, melainkan suatu pengakuan dan pengabdian. Yoga adalah suatu dorongan batin untuk pengembangan diri. Pada tiap langkah yoga merupakan proses penilaian diri (Saraswati, 2004 : 5). Dalam perspektif lain, yoga adalah cara untuk mulat sarira (merefleksikan/instrospeksi diri yang menyebabkan orang tahu diri, sehingga menjadi suci lahir bhatin. Suci berarti sahrdaya, yakni sehati dalam Tuhan Yang Maha Suci. Yoga merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang didalamnya  terdapat ajaran etika dan moralitas yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan ini.
            Etika dan moralitas yang terdapat pada yoga merupakan bagian dari Astangga Yoga, yaitu bagian dari yama dan nyama yang dijadikan etika. Astangga Yoga merupakan delapan tahapan  disiplin atau pengendalian diri. Jadi seseorang yang ingin melakukan sebuah hubungan dengan Tuhan dalam konteks yoga hendaknya menerapkan ajaran Astangga  Yoga mulai dari tingkatan yang paling awal sampai pada tingkat Samadhi yang merupakan puncak dari Astangga Yoga.
            Seseorang tidak akan mampu mencapai Samadhi apabila tidak mengendalikan indrya-indrya, karena dalam Astangga Yoga yang sangat penting dilakukan adalah pengendalian diri serta menjalankan pantangan-pantangan.
            Dalam Tattwa Jnana dijelaskan bahwa Guna sangat berpengaruh terhadap sifat seseorang, satu sama lain berbeda tergantung pada kadar Guna yang ada pada diri seseorang. Bila Sattwa dominan pada Citta akan menimbulkan sifat-sifat yang baik, bila Rajah  dominan pada Citta akan menimbulkan sifat-sifat yang kurang baik. Namun bila Rajah dan bertemu dengan Sattwa akan menyebabkan mencapai sorga. Bila Sattwa, Rajah dan Tamah  sama-sama dominan menyebabkan terlahir menjadi manusia.
            Jadi seseorang harus mampu mengendalikan sifat Tri Guna yang ada pada diri dengan menerapakan atau dengan mempelajari ajaran Astangga Yoga. Apa bila seseorang sudah mampu melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan baik hingga sampai pada tingkat Samadhi maka orang itu sudah tentu dapat mengendalikan Tri Guna yang ada pada dirinya. Ajaran Astangga Yoga menurut Rsi Patanjali terdapat 8 tahapan yang disebut Astangga Yoga, namun didalam Tattwa Jnana hanya terdapat 6 tahapan yang disebut Prayogasandhi atau Sadangga Yoga.
            Dari perbedaan tahapan atau ajaran tentang yoga yang berkaitan dengan disiplin dan pengendalian indrya-indrya, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam lagi esensi ajaran yoga menurut kitab Tattwa Jnana dan mengkaitkannya dengan ajaran yoga Rsi Patanjali dalam Yoga sutra. Melalui artikel ini penulis berharap dapat menambah wawasan pembaca tentang yoga sehingga tidak muncul kebingungan, dan mampu memilih ajaran yoga yang tepat.

II         Pembahasan
2.1                   Yoga Sutra
            Ajaran yoga merupakan anugerah yang sangat luar biasa besarnya dari Rsi Patanjali kepada siapa saja yang melaksanakan hidup spiritual kerohanian. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin menegetahui kenyataan roh sebagai asas yang bebas, bebasa dari tubuh, indrya, dan pikiran yang terbatas. Rsi Patanjali menulis ajaran-ajaran yoga ini ke dalam “sutra-sutra”.Beliaulah pendiri sistem ajaran yoga ini.
          Sutra secara etimologis berarti “benang” dan dalam konteks ini ia berarti pernyataan-pernyataan pendek yang memmbantu untuk mengingatkan (Maswinara, 1999 : 10). Sutra-sutra itu sangat singkat sehingga maknanya menjadi sangat tidak jelas sehingga dibutuhkan suatu penjelasan yang terperinci serta penafsiran yang jelas melalui ulasan-ulasan. Ulasan masing-masing sutra disebut dengan Bhasya.
          Kitab Sutra Rsi Patanjali terdiri dari 4 (empat) bab dan mengandung 194 Sutra. Bagian pertama mengajarkan tentang teori yoga yang terdiri dari 51 Sutra, isinya adalah tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga. Selain itu juga menerangkan perubahan-perubahan pikiran dan cara pelaksanaan ajaran yoga.
          Bagian kedua berisikan tentang praktik yoga, pada bagian keduanya ini terdiri dari 55 Sutra, isinya tentang tata cara pelaksanaan yoga seperti bagaimana cara mencapai Samadhi, tentang kedukaan, tentang karma phala dan yang lainnya.
          Bagian ketiga terdiri dari 54 Sutra. Pada bagian ketiga ini diajarkan tentang cara mencapai tujuan yoga , juga mengajarkan segi bathiniah ajaran yoga dan juga tentang kekuatan gaib yang didapat karena melaksanakan praktik yoga. Kekuatan ini disebut dengan siddhi.
          Sedangkan bagian terkhir, yakni bagian ke empat menjelasakn tentang kelepasan (moksa), melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi. Bagian keempat ini terdiri dari 34 Sutra.

2.2       Astangga Yoga dalam Yoga Sutra
Yoga  Sutra didirikan oleh maharsi Patanjali, yang merupakan tambahan atau cabang dari filsafat Samkhya, yoga dikatakan bersifat ortodoks dari filsafat Samkhya, karena yoga secara langsung mengakui keberadaan Iswara, sehingga sisitem filsafat Patanjali merupakan Saiswara.
            Yoga Sutra dari Maharsi Patanjali muncul sebagai acuan yang tertua dari aliran filsafat yoga, yang memiliki 4 bab; pada bab 1 Samadhi Pada, yaitu menjelaskan tentang sifat dan tujuan melaksanakan Samadhi. Bab 2 Sadhana Pada memeuat tentang cara pencapaian itu. Bab 3 Vibukti Pada  memberikan uraian tentang daya-daya supra alami atau Siddhi Siddhi  yang dapat dicapai melalui pelaksanaan yoga dan bab 4 yaitu Kaivalya pada  menggambarkan tentang sifat dari pembebasan tersebut. Yoga Maharsi dari Patanjali dalam memiliki tahapan laku spiritual yang sering dikenal dengan istilah Astangga Yoga.  Adapun Astangga Yoga tersebut tersurat dalam Yoga Sutra II.29 sebagai berikut:
            Yama niyamasana pranayama prathyahara
            Dhrana dhyana samadhys stavanggani
                                                                        (Yoga Sutra II.29)
Terjemahan:
Yama, niyama, asana, pranayama, prathyahara, dhrana, dhyana, dan Samadhi. Ini semua disebut delapan bagian yoga. (Yasa dkk, 2006 : 24)

Maswinara (1998 : 49-51)  dalam bukunya Sistem Filsafat Hindu (Sarwa Darsana Samgraha) menerjemahkan secara sederhana sebagai berikut ; Yama (larangan), Nyama (ketaatan), Asana (sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Prathyahara (penarikan indrya dari obyek), Dharana (konsentrasi), Dhyana (meditasi), Samadi (keadaan supra sadar).  

2.2.1    Yama
            Yama adalah pengendalian diri yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam usaha meningkatkan kualitasa hidup yang lebih baik. Dalam pustaka suci Yogasutra di uraikan sebagai berikut:
            Ahima satasteya
            Brahmacaryaparigraha yamah
                                                            (Yogasutra II.30)
Terjemahan:
Ahimsa tidak membunuh, tidak melukai dan berlaku kasar pada sesama, baik melalui pikiran, perkataan, apalagi perbuatan.Satya bersikap dan berprilaku bajik, setia pada ucapan, dan jujur pada perbuatan.Asteya tidak mencrui atau menginginkan milik orang lain. Brahmacarya bersikap dan berperilaku terkendali, mengendaliakan hawa nafsu. Aparigraha hidup sederhana dan tidak serakah dapat menerima kenyataan hidup apa adanya (Yasa dkk, 2006 : 24)

            Lebih lanjut Saraswati (2004 : 45-47) sebagaimana mengutip Yoga Sutra .II.35-39 menyatakan bahwa Yama terdiri dari lima pantangan yaitu: Ahimsa tanpa kekerasan, Satya  kebenaran pikiran, Asteya pantangan untuk menginginkan milik orang lain, Brahmacarya pantangan kenikmatan seksual. Aparigraha pantangan kemewahan. Kelima pantangan ini disebut mahavrata, atau sumpah yang besar..
         
2.2.2    Nyama           
            Nyama adalah pengendalian rohani dengan tujuan agar rohani menjadi suci dan bersih sehingga membantu mempermudah dalam melaukan Samadhi atau pemujaan kepada Ida Shang Hyan Widhi Wasa. Didalam Yogasutra disebutkan:
            Sauca samtosa tapah
            svadyayesvara pranidhani niyamah
(Yogasutra. II: 32)
Terjemahan:
Sauca berusaha menjaga kebersihan dan kesucian diri, baik lahir maupun bhatin. Santosa menjaga kestabilan emosi agar selalu tenang, arif, dan bijak dalam menghadapi permasalahan hidup. Tapa berusaha untuk tahan uji, berpegang teguh pada dharma. Swadiyaya berusaha mandiri dan tekun mempelajari kitab suci. Iswarapranidhana selalu memusatkan pikiran dan bhakti kepada iswara atau Tuhan (Yasa dkk, 2006 : 25)
.
2.2.3    Asana
            Kata Asana berarti sikap duduk (Zoeltmulder dalam Yasa dkk, 2006 : 25), yakni duduk dengan sikap sempurna : duduk menuru sistem yoga. Maksudnya, orang akan  mampu duduk dengan benar dan baik bilamana keadaan fisiknya sehat sempurna. Oleh karena itu para peminat yoga pertama-tama hendaknya membina kebugaran fisiknya melalui olahraga yoga yang sering disebut yoga Asana.  Dan ada berbagai macam gerak yoga. Tetapi berbagai variasi Asana  itu dalam posisi duduk, berdiri termasuk didalamnya posisi duduk, berdiri termasuk didalmnya posisi terdiri terbalik, dan terlentang. Orang dapat memilih beberapa variasi Asana.  Jadi, disesuaikan dengan keadaan fisik peminat yoga.
            Patanjali menganggap bahwa setiap asana sebagai sukha-asana, (asana yang menyenangkan), yang tidak memaksa dan membantu untuk menstabilkan badan pikiran. Tanpa keragu-raguan, tanpa paksaan, tanpa ketegangan. Dan dalam sutra berikutnya “prayatna-saithilya” yang berarti suatu keadaan atau kondisi yang tidak memerlukan pengerahan kekuatan khusus, badan mengambil sikap tanpa bergerak dan dikuasai penuh. (Saraswati, 2004 : 116)
            Ajaran Asana juga dapat menenangkan pikiran dan dapat dijadikan media dalam menjaga kesehatan jasmani maupun rohani. Karena dengan menjalankan latihan Asana secara kontinyu dapat membuntu menyembuh penyakit, karena ada beberapa gerakan Asana yang dapat menyembuhkan penyakit atau mengatasi kesehatan.

2.2.4    Pranayama
            Kata Pranayama, berarti latihan pernapasan (Zoetmulder dalam Yasa dkk, 2006 : 26). Menurut sistem yoga, pranayama terdiri atas puraka, ‘menarik nafas’, kumbaka ‘menahan nafas’, dan recaka ‘mengeluarkan nafas’. Ada beberapa jenis latihan nafas. Akan tetapi yang paling umum adalah bernafas melalui hidung. Ke luar, tertahankan, dan masuknya napas diselaraskan dengan asana yang dilakukan.
            Yoga Sutra Patanjali menyampaikan empat aphorisma (sutra) yang berkenaan dengan Pranayama yaitu :
1)                  Tasmin sati svasa-prasvasayor-gati-vicchedah pranayamah
2)                  Bahya-abhyantara-stambha vrittir-desa-kala-samkhyabhih paridrsto dhirgasuksmah
3)                  Bahya-abhyantara-visayaksepi cathurtah
4)                  Tatah ksiyate prakasavaranam

Terjemahan harfiah dari pada Sutra tersebut adalah:
1)                  Dalam keadaan itu (yaitu sesudah mengambil sikap yang cocok), pengendalian napas yang masuk dan keluar adalah pranayama
2)                  Ini adalah tiga golongan (a) yang diluar (b) di dalam, dan (c) yang tetap dan ketiganya berkenaan dengan jangka waktu dan jumblah, dibuat berlangsung waktu panjang atau singkat.
3)                  Ada juga golongn ke-4, yang terdiri dari pembuangan dan penahanan napas-masuk
4)                  Dengan bantuannya (pranayama) membantu tabir yang menutup cahaya ditanggalkan.  (Saraswati. 2004 : 150).



2.2.5    Prathyahara
            Kata Prathyahara artinya penarikan diri (Zoetmulder dalam Yasa dkk, 1995 : 856). Dalam konteks yoga berarti menarik indra dari objek kesukaannya. Masing-masing indra memiliki kesenangan sendirii-sendiri, misal indra mata suka akan rupa dan warna yang indah, tetapi benci kepada rupa dan warna yang buruk. Indra penciuman suka mencium bau harum, tetapi benci kepada bau busuk, indra pada lidah suka merasakan makan dan minum yang enak, tetapi benci kepada makanan dan minuman yang basi atau tidak enak. Indra pada telinga suka mendengar irama yang indah, tetapi benci kepada irama yang tak beraturan. Indria kulit suka merasakan sentuhan yang halus namun benci kepada sentuhan yang kasar. Indra kemaluan suka merasakan hubungan seks yang dicintai, tetapi tidak mau bersetubuh dengan dengan yang tidak dicintai. Demikianlah indrya-indrya itu harus dari hal yang disenangi atau yang dibenci, lalu diarahkkan ke dalam dirinya. (Yasa dkk, 2006 : 26-27).
            Pratyahara adalah pemusatan pikiran dengan cara penarikan indra-indra dari segala obyek luar. (Maswinara, 1998 : 52). Dalam Prathyahara seseorang harus berusaha mengendalikan indrya-indrya agar mampu menjalakan tahap yang berikutnya.

2.2.6    Dharana
            Kata dharana bereti memegang, membawa, menguasai, memiliki Setelah indrya ditarik dari obyeknya dan dibawah pengawasan manah ‘pikiran’. Selanjutnya menguasai indria-indra dan memusatkan pikiran pada obyek meditasi. (Yasa dkk, 2006 : 27). Dharana dapat pula diartikan penyatuan pikiran kesatu arah atau sasaran yang diinginkan. Menurut Patanjali terdapat 7 metode Dharana dalam pemusatan pikiran, yaitu:
1.      Bermeditasi, dilakukan apabila budi mengalami goncangn.
2.      Bersikap mental yang baik terhadap orang lain.
3.      Pengucapan Yoga Sutra Patanjali. 
4.      Kemantapan Buddi, dilakukan dengan cara melatih konsentrasi, disebutkan beberapa konsentrasi yakni pada ujung hidung membangkitkan unsur bumi, pada ujung  lidah  membangkitkan unsur air. Pada matahari atau bulan menmbulkan unsur-unsur suara. OM melahirkan unsur udara dan menciptakan bentuk-bentuk musik.
5.      Jyotismati,  metode meditasi yang dilakukan pada cahaya batin yang cemerlang yng berada diluar penderitaan.
6.      Konsentrasi pada orng-orang suci, dengan memusatkan pikiran pada orang-orang suuci.
7.      Pengetahuan dalam mimpi, apa yang dialami dalam mimpi di praktekkan dalam meditasi. (Saraswati, 2004 : 221-226).

2.2.7    Dhyana
            Kata dhyana berarti meditasi, refleksi, pemusatan pikiran. Disebut juga kontemplasi atau renungan mendalam. Patanjali menjelaskan “Tatra pratyaikatana dhyanam”, artinya arus pikiran yang terkonsentrasi tak putus-putusnya pada obyek renungan  (Yasa dkk, 2006 : 27).

2.2.8    Samadhi
Kata Samadhi, berasal dari urat kata sam, dan dhi, sam artinya kumpulan persamaan, gundukan, timbunan. Sedangkan Dhi artinya pikiran, ide-ide, budi. Secara etimologi kata samadhi artinya pemusatan atau kumpulan pikiran yang ditujukan pada obyek tertentu. Dan Maharsi Patanjali merumuskan samdhi “Tadevartha mantra nirbhanam svarupa sunyam iva Samadhi” (Yogasutra III.3) , Artinya “renungan mendalam itu sesungguhnya Samadhi. (Yasa dkk, 2006 : 28).
Dalam Samadhi  pikiran telah lebur menyatu dengan obyek renungan, dan tidak ada lagi kesadaran kan akan diri sendiri. Samadhi adalah persatuan sempurna dari yang dicintai, pencinta dan kecintaan, suatu keadaan kelupaan keadaannya dan suatu keadaan peresapan sempurna. (Saraswati.2004:238).

2.3       Tattwa Jnana.
Tatwa berasal dari bahasa sansekerta kemudian setelah diserap menjadi kata Tattwa. Tattwa memiliki berbagai pengertian seperti: kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan segala sesuatu yang bersumber dari kebenaran. (Watra, 2007: 1).  Sedangkan Jnana berarti ilmu atau pengetahuan. Sehingga Tattwa Jnana memiliki arti pengetahuan tentang hakekat hidup atau pengetahuan tentang kebenaran.
Tattwa Jnana adalah lontar Paksa Siwa.  Di dalam ajarannya banyak terdapat kemiripan dengan lontar siwaistik lainya seperti Vrhaspati tattwa, Ganapati Tattwa, Bhuana Kosa, Jnana Sidhanta dan Sanghyang Maha Jnana. Dalam lontar tersebut di atas mengagungkan Siwa/Iswara sebagai realitas tertinggi. Tattwa Jnana  adalah lontar yang menggunakan bahasa Jawa Kuna yang disusun dalam bentuk prosa bebas (gancaran). Eksistensinya sebagai kitab Tattwa disebutkan bahwa Tattwa Jnana adalah dasar semua Tattwa ( Bungkahing Tattwa Kabeh). Pemahaman Tattwa Jnana secara baik akan memberikan pahala yang luar biasa seperti memahami betapa menderitanya menjelma dan untuk kembali pada asal mula, sehingga lepas dari proses kelahiran sebagai manusia. (Tim Penyusun, 2003 : 18).
Ajaran Tattwa Jnana dimulai dengan menjelaskan 2 unsur universal yang ada di alam raya ini. Kedua sumber ini adalah cikal bakal semesta. Dua unsur tersebut yaitu ; Cetana yaitu unsur kesadaran dan Acetana yaitu unsur tidak sadar. Cetana adalah Siwa Tattwa sedangkan Acetana adalah Maya Tattwa. Cetana ada tiga tingkatannya yaitu ; Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa dan Atmikatattwa.
          Paramasiwatattwa adalah Bhatara Siwa dalam keadaan tanpa bentuk, yang suci dan yang tidak tersentuh oleh apapun. Beliau Sadhu Sakti atau memiliki delapan sifat kemahakuasaan beliau yang disebut Astaiswarya. Sifat kemahakuasaan beliau ini dilambangkan dengan bunga teratai yang berdaun delapan yang disebut dengan Padmasana.
 Sadasiwatattwa adalah Bhatara Siwa yang sudah mulai tersentuh oleh unsur sarwajnna, sarwakaryakarta, cadu sakti dan jnanasakti. Pada intinya Sadasiwatattwa adalah cetana yang memiliki tingkat kesadaran menengah (ada pengaruh maya namun masih kecil).
Atmikatattwa adalah Sadasiwatattwa yang Utaprota dalam Acetana. Uta artinya berada secara gaib dan prota artinya berkeadaan bagaikan permata bening cemerlang dalam Acetana. Pada tingkatan Atmikatattwa. maka sakti, guna, dan swambhawanya berkurang karena dipengaruhi maya. Karena pengaruh maya ini menyebabkan kesadaran aslinya berkurang dan bahkan hilang dan sifatnya berubah menjadi awidya, apabila kesadaran siwatman terpecah-pecah dan kemudian menjiwai mahluk hidup termasuk manusia maka ia disebut atma atau jiwatman. Meskipun atma merupakan bagian dari Tuhan  namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh Maya maka ia tidak menyadari asalnya. Inilah yang menyebabkan atma dalam lingkaran sorga dan neraka.

2.4       Ajaran Yoga dalam Tattwa Jnana.
Tujuan hidup menurut Tattwa Jnana adalah untuk bersatu kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa/Bhatara Paramasiwa. Adapun jalan yang yang harus ditempuh untuk manunggaling kawula gusti (bersatu dengan tuhan) adalah melalui jalan Prayogasandhi. Tahapan-tahapan dari Prayogasandhi yang terdiri dari Prathyahara, Dhyana, Pranayama, Dharana, Tarka dan Samadi. Prayogasandhi akan dapat dilaksanakan apabila dituntun oleh Samyagjnana (pengetahuan yang benar). Samyagjnana diperoleh melalui Bhumi Brata, Tapa, Yoga dan Samadhi. Kesemuanya itu akan mempertajam panah Prayogasandhi dan mengarahkannya pada sasaran secara tepat.  Tattwa Jnana sebagai ajaran untuk umat Hindu Bali memuat ajaran Yoga yang berjumlah enam tahapan spiritual sehingga lazim disebut Sadanggayoga.

2.5       Sadangga Yoga dalam Tattwa Jnana
2.5.1    Prathyaharayoga
Muwah hana ta pratyahara-yoga nagaranya, ikang indrya kabeh watek sakeng wisayanya, kinempeling citta buddhi manah, tan wieh maparan-paran kinempeling cittalila, yeka prathyaharayoga ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Ada pratyaharayoga namanya, semua indrya ditarik dari obyek kenikmatannya kumpulkan dalam citta, buddhi dan manah, jangan dibiarkan ia pergi kesana kemari, pusatkan ia pada pikiran yang tak terganggu apapun. Yang demikian itulah prathyaharayoga.

2.5.2    Dhyanayoga
Ikang jnana tanparorwa, tanpa wikara, enak ikang, hnang hnngnnya, umideng tan kawaran yeka dhyanayoga ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Batin yang tidak mendua, tidak berubah-ubah, jernih, dengan enaknya, tanpa ditutupi apa-apa, yang demikian itu dhyanayoga namanya.

2.5.3    Pranayamayoga
Tutup ikang dwara kabeh, irng, tutuk, talinga, wayu, rumuhun isepen, wetwa ikang wunwunan, kunang tanpabhyasa ikang wayu winehadalan ngkana, dadi adalan engirung, halon wetuning wayu, yeka pranayama ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Tutuplah semua pintu yaitu hidung, mulut, telinga, tariklah terlebih dahulu nafas, keluarkan melalui ubun-ubun, boleh dikeluarkan melalui hidung, keluarkan nafas itu pelan-pelan. Yang demikian pranayamayoga namanya.
           
2.5.4    Dharanayoga
Hana ongkara sabda mungguh ring hati, ya teka dharanan, ya pangilang ikang karengo, ri kala ning yoga, ya teka sunya ngaranya, siwatmawak bhatara siwa yan mangkana. Ya tika dharanayoga ngaranya.
                                                                                               (Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Ada Omkara sabda bertempat dalam hati. Hendaknya itu pegang kuat-kuat. Itulah yang menghilangkan apa yang didengar waktu Siwa berwujud Siwatman. Yang demikian itulah dharanayoga namanya.

2.5.5    Tarkayoga
Ndakasa rawa sang hyang Paramartha, ndan palenanira sakeng akasa, tan hana. Sabda ri sira, ya ta kalinganing paramartha, palenanira sakeng awing-awang, pada nirekang alilang, yeka terka-yoga ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Sang Hyang Paramartha/hakekat yang tertinggi adalah konon angkasa, bedanya dengan angkasa ialah tidak ada suara padanya. Demikianlah hakekat paramartha itu perbedaannya dengan awang-awang, persamaannya sama-sama jernih. Yang demikian itulh tarkayoga namanya.

2.5.6    Samadhiyoga
Ikang jnana tan pangupeksa, tan pangalupa, tan hana kaharep nira, tan hana sinadhyanira, malilang tan kahilangan, tan kawaranan, tan pawastu ikang cetana, apan mari humidep ikang sarira, luput sakeng catur kalpana, yeka samdhi-yoga ngaranya.
 (Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Batin yang tidak lalai, tidak lupa, tidak mengharapkan apa-apa, tidak ada sesuatu yang ingin dicapai, jernih tanpa ada yang hilang, tidak ditutupi apa-apa, sehingga kesadaran itu tidak ada kesulitan, karena tidak lagi memikirkan badan jasmaninya, bebas dari catur kalpana, itulah yang dimaksud Samadhiyoga.

Konsep yoga dalam Tattwa Jnana sedikit berbeda dengan konsep yoga Patanjali dalam Yoga Sutra. Untuk mengetahui perbedaan tersebut berikut akan disajikan tabel agar lebih mudah untuk memahami.
Tabel 1.
Perbedaan tahapan yoga antara Yoga Sutra dengan Tattwa Jnana

No
Yogasutra
Tattwa Jnana
1
Yama Brata
-
2
Nyama Brata
-
3
Asana
Prathyahara
4
Pranayama
Dhyana
5
Prathyahara
Pranayama
6
Dhrana
Dhrana
7
Dhyana
Tarka
8
Samadhi
Samadhi

          Berdasarkan tabel tersebut dapat kita lihat perbedaan susunan yoga menurut kitab Tattwa Jnana dan Yoga Sutra, perbedaan-perbedaan itu yaitu:
1.         Dalam Tattwa Jnana tahapan Yama dan Nyama tidak dimasukan secara langsung kedalam tingkatan yoga seperti dalam Yoga Sutra.Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa Yama dan Nyama bukanlah tindakan yang hanya harus dilakukan oleh orang ingin menekuni yoga saja, namun sudah merupakan kewajiban bagi umat Hindu, karena Yama dan Nyama  merupakan etika dasar yang dapat dijadikan patokan dalam perilaku kesehariannya. Selain itu penulis berasumsi bahwa tingkatan yoga dalam Tattwa Jnana diperuntukan bagi seseorang yang memiliki tingkat spiritual yang tinggi, dimana sudah mampu menjalakan Yama dan Nyama dengan sempurna.
2.         Dalam Tattwa Jnana tahapan Prathyahara diletakan pada tingkatan pertama dalam hal penulis berasumsi bahwa karena tingkat spiritual yang tinggi, sehingga  Yama dan Nyama sudah dilaksanakan dengan sempurna dan  tidak diragukan lagi, maka dengan sangat mudah Prathyahara (penarikan indrya dari objek kesengannya) itu dilakukan.
3.         Kemudian susunan pranayama dalam Yoga sutra Patanjali pranayama diletakan sebelum Dhrana dan Dhyana. Sedangkan dalam kitab Tattwa Jnana,  Pranayama diletakan diantara Dhyana dan Dhrana. Menurut Yoga Sutra, Prana atau nafas itu meliputi seluruh tubuh termasuk di dalam indrya, jadi dengan mengendalikan nafas (pranayama) kita dapat mengendalikan indria. Demikianlah perbedaan tahapan antara Yoga Sutra dengan Tattwa Jnana.
2.6       Astaiswarya dalam Tattwa Jnana
Dalam Tattwa Jnana dinyatakan apabila sang Yogiswara telah menemukan Samadhi, ia dikatakan telah memiliki Astaiswaryan. Yang meliputi Anima, Laghima, Mahima, Prapti, Prakamya, Isitwa, Wasitwa, Yatrakama-wasayitwa. Dalam tataran ini, sang Yogiswara telah memiliki kekuatan sama dengan Tuhan/Iswara. Berikut adalah kutipan sloka terkait hal dimaksud.
            Yapwan mangkana lwir nikang samadhi kapangguh de Sang Yogiswara, wyakti sira makadrebya kasteswaryan mangke ring sakala, apa sinangguh kateswaryan ngaranya anunggung sampun manemwaken yogi wisesa hana kasiddhyan ngaranya, lwirnya nihan, anima, laghima, mahima, prapti, prakamya, isitwa, wasitwa, yatrakamawasayitwa.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Bila demikian halnya Samadhi yang ditemui oleh Sang Yogiswara, maka nyata-nyata ia memiliki Kastaiswaryan itu. Dia yang sudah mendapatkan Yogi Wisesa. Ada Kasidhyan namanya, yaitu: Anima, Laghima, Mahima, Prapti Prakamya, Isitwa, Wasitwa, Yatra Kamawasayitwa.

2.6.1    Anima
Anima ngaranya, ikawak Sang Yogiswara, ganal tambayan, wkasan-alit, suksma, ya ta matangnyan Sang Yogiswara wenang sapanira, tan  katahan sira dening gunung watu, wenang ta sirasiluruping lemah, tan han madhana keswaryanira, yeka sinangguh anima ngaranya
(Tattwa Jnana)



Terjemahan:
Anima ialah: badab Sang Yogiswara pada mulanya kasar, akhirnya menjadi kecil halus. Itulah sebabnya Sang Yogiswara dapat bepergian keman saja, ia tidak terhalang oleh gunung batu, dapat masuk ke dalam tanah. Tidak ada yang menyamai kaiswaryan-Nya. Itulah yang disebut Anima.

2.6.2    Lagima
Lagima ngaranya, ikawakk Sang Yogiswara, abyetambyan, wkasana dhangan kadi kapuk, ya ta matangnyan Sang Yogiswara ambaramarga anampak gagana, ajalantara, wenang manampakk wye, yeka lagihima ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
           
Lagima  ialah, badan Sang Yogiswara pada mulanya berat kemudian ringan seperti kapuk. Itulah sebabnya sang Yogiswara adalah merupakan jalannya udara, menampak ruang angkasa, jalantara yaitu dapat menampak air. Itulah Lagima  mananya.

2.6.3    Mahima

Mahima ngaranya, mara sira ring desantara, punya sinembah sira kinabaktyan sira, sparanittsna, tan ginulung-gulung, yeka singangguh mahima ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:

Mahima ialah ia pergi ke daerah lain, dipuja, disembah, dihormati, sejauh perjalanannya tiddak dipermainkan orang, itulah yang disebut mahima.

2.6.4    Prapti

Prapti ngaranya, teka sakahyunirekang wastu, tanulihinganghel yeka prapti ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:

            Prapti ialah apa saja keinginannya dapat dapat dipenuhi, mendapatkannya tiada dengan susah payah, itu Prapti namanya.

2.6.5    Prakamya

Prakamya ngaranya wenang ta siragawe rupa nir dadyanom dadyatuha, dadyalanang, dadyawalon, wenang ta sira masuking jnana irikang rat kabeh, yeka sinangguh prakamya ngaranya.
(Tattwa Jnana) 
Terjemahan:

            Prakamya ialah ia dapat menjadikan wajahnya muda, tua, muda, menjadi laki-laki, menjadi perempuan, dapat memasukkan batinnya pada semua orang. Itulah yang disebut Prakamya.

2.6.6    Isitwa
           
Isitwa ngaranya, mara nira sira maring swarga kahyangan, pinujainarcana sir dening watek dewata kbeh, atawi wenang sira umadeh ikang waek dewat, ri kahyangan ira, tan hana dewata sumikareng sira apan Bhatara mahulun hana ringawak Sang Yogiswara, yeka sinangguh isittwa ngaranya.
(Tattwa Jnana) 
Terjemahan:

Isitwa ialah ia pergi ke sorga, ke kahyangan, ia dipuja, dihormati oleh para dewata semua, atau ia dapat menundukkan para dewata di kahyangan. Tidak ada dewata yang merintangi karena bhatara yang menjadi junjungannnya itu ada diri Sang Yogiswara. Itulah yang disebut Isitwa.

2.6.7    Wasitwa

Wasitwa ngaranya, tan hana wenang langghana sawuwus nira, tan kahalangan sira ring sakeccha nira, yeka sinngguh wasitwa ngaranya.
(Tattwa Jnana) 
Terjemahan:

Wasitwa ialah idak ada orang yang dapat melawan segala kata-katanya, `    tiada yang merintangi segala keinginannya. Itulah yang disebut Wasitwa.

2.6.8    Yatrakamawasayitwa

Yatrakamawasayitwa ngaranya, wenang sira tumimbah ikang watek dewata ngusa tmahnya, tan hana wenang langghana sawuwus nira, tan kahalangan, sawalen,wenang ta sira sumawa dewata, mangdadya manusa yang langghana ri sira, yeka sinangguh yatrakamawasayitwa.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:

Yatrakamawasayitwa ialah: ia dapat memerintah para Dewata, berkuasa, tidak ada yang dapat melawan segala kata-katanya, tiada rintangan, dapat mengutuk para Dewata menjadi manusia bila menentang dia. Itulah yang disebut Yatrakamawasayitwa. (Mirsha, 1997 : 116-119)

Dalam konteks Tattwa Jnana, Sang Yogiswara yang telah yang telah purna dalam yoga akan memperoleh keajaiban-keajaiban dan kesaktian (sidhi). Jika kita kaitkan dalam ajaran Yoga dari Pantanjali (Yoga Sutra), Bab yang membahas tentang kekuatan dan keajaiban yang diperoleh oleh penekun yoga ada pada bab 3 yaitu bagian Vibukti Pada.
           
Daftar Pustaka

Adiputra, I Gede Rudia dkk. Tattwa Darsana. Jakarta : Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama.

Maswinara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarwa Darsana Samgraha). Surabaya : Paramita.

Mirsha, I Gusti Ngurah Rai. 1997. Tattwa Jnana, Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar : Upada Sastra.

Pidarta, Made. 2005. Hindu Untuk Masyarakat Umum Pada Jaman Pasca Modern. Surabaya : Paramita.

Saraswati, Swami Satya Prakas. 2004. Raja Yoga. Surabaya : Paramita

Tim Penyusun. 2003. Siwatattwa. Denpasar : Tanpa Penerbit.

Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu ( Tattwa I). Surabaya: Paramita.

Yasa, I Wayan Suka dkk. 2006. Yoga : Marga Rahayu. Denpasar: Widya Dharma dan Tim PIA Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar