UTS
SIVA SIDDHANTA II
Makna Filososi Dalam Canang Sari, Daksina, Banten
Peras, Banten Sesayut, Banten Ajuman,
dan Banten Pejati, serta Mantra Canang
Sari, Daksina dan Banten Peras
Dosen
Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H
OLEH :
NAMA : NI MADE SULIARTINI
NIN :
10.1.1.1.1.3864
PRODI : PAH /V.B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
20l2
|
I.
PENDAHULUAN
Dalam
setiap upacara yadnya yang dilaksanakan khususnya di Bali tidak bisa lepas dari
sarana upakara yang disebut dengan banten. Banten-banten yang digunakan daalm
setiap upacara berbeda-beda sesuai dengan tujun pnggunaannya karena
masing-masing dari banten itu memiliki makna yang tersendiri berbeda yang atu
dengan yang lainnya namun memiliki keterkaitan bahan-bahan dasar.
Adapun
bahan dasar yang biasanya sering
dipergunakan dalam banten, yaitu: bunga,
pelawa, porosan. Dan yang lainny yang melengkapi banten-banten. Dalam upacara
Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusa Yadnya, banten
yang digunakan biasnya berbeda-beda namun ada beberap banten yang biasanya bisa
digunakan dalam upacara Panca Yadnya yang diselenggarakan. Dalam Bagavad Gita
Bab IX Sloka 26, yang berbunyi sebagai berikut:
Patram pusham phalam toyam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyauphritam
Asnami prahyatatmanah
Terjemahannya:
Siapa saja yang sujud kepada Aku dan
mempersembahkan sehelai daun
Sekuntum bunga, sebiji buah-buahan,
Seteguk air, Aku terima sebagai
bakti
Persembhan dari orang yang berhati
suci.
Dari
bunyi sloka diatas dapat dicermati, bahwa saran upacara agama yang
dipersembhakan sebenarnya bukan dari jumblahnya yang banyak namun dari kesucian
hati. Dan yang menjadi dasar atau sarana pokok dari sebuah upacara atau persembahyangan
yaitu: bungaa, air, dan api. Jadi
senantiasalah melaksanakan upacara didasari atas hati yang tulus iklas.
Banten-banten
yang dapat digunakan atau sebagai pelengkap dalam upacara Panca Yadnya yang
diselengarakan, misalnya canang, Daksina, Peras. Serta bante-bante yang lain
yang sifatnya umum. Maka dari itu sangat perlu kiranya kira kita mengetahui
tentang makna-makna yang terkadung didalam sebuah banten itu, karena kita akan
sering menggunakan banten-banten itu. Dalam kesempatan ini saya akan membahas
tentang makna yang terkadung di dalam banten Canang sari, Daksina, Peras,
Sesayut, Ajuman, Ngelingyang Surya. Dan
beberapa mantra tentang Canang Sari, Daksina, Peras. Semua banten ini sering
digunakan pada upacara Panca Yadnya, dan banten-banten ini biasanya selalu
melengkapi banten-banten yang laennya, dan bisa juga digunakan secara
sendiri. Jadi pada kesempatan ini saya
sangat beruntung mendapatkan tugas yang berkaitan tentang mantra dan makna yang
terkandung dalam banten yang terggolong umum yang dapat menambaah waawasan
serta dapat digunaakan daalm kehidupan sehari-hari karena dari tidak tahu
menjadi tentang unsure-unsur ddan makkna yang terdapat dalam sebuah banten.
II
PEMBAHASAN
2.1
Makana
dan Unsur-unsur dalam Banten
2.1.1
Canang
Sari
Canang sari fungsinya sebagai simbol
sarining yadnya, sehingga setiap upakara disertai dengan canang sari. Canang
sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat
kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian
(lontar Mpu Lutuk Alit). Dan Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang
selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra
yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari.
Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap
kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang
sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima olehNya dan kita dapat mengarungi
kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala.
2.1.1.1 Unsur-unsur dan
makna dalam Canang Sari
1)
Ceper
Ceper adalah alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat sebagai lambang badan (angga-sarira). Keempat sisinya sebagai lambang dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya yang membentuk terjadinya badan ini.
Ceper adalah alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat sebagai lambang badan (angga-sarira). Keempat sisinya sebagai lambang dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya yang membentuk terjadinya badan ini.
2)
Beras
Beras atau wija sebagai lambang Sang Hyang Ātma, yang menjadikan badan ini bisa hidup. Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma.
Beras atau wija sebagai lambang Sang Hyang Ātma, yang menjadikan badan ini bisa hidup. Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma.
3)
Porosan
Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir. sebagai lambang/nyasa Tri-Premana dan Tri Kaya. Tri-Premana adalah tiga cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun astrak meliputi Pratyaksa (melihat dan memegang), Anumana (membuktikan), dan Agama (pengetahuan yang diberikan guru/sarjana). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri pramana sebagai lambang dari Sabdaha (perkataan), pinang lambang dari Brahma dan dalam Tri Pramana sebagai bayu, dan kapur sebagai lambang Siva bentuk dari Tri Pramana sebagai idep. http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html. Daun sirih melambangkan Hyang Wisnu. Kapur melambangkan Hyang Siwa, dan buah pinang dilamangkan sebagai dewa Brahma. Porosan secara umum merupakan lambang dari dewa Tri Murti. canang tidak akan memiliki arti apabila tidak ada porosan.
Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir. sebagai lambang/nyasa Tri-Premana dan Tri Kaya. Tri-Premana adalah tiga cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun astrak meliputi Pratyaksa (melihat dan memegang), Anumana (membuktikan), dan Agama (pengetahuan yang diberikan guru/sarjana). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri pramana sebagai lambang dari Sabdaha (perkataan), pinang lambang dari Brahma dan dalam Tri Pramana sebagai bayu, dan kapur sebagai lambang Siva bentuk dari Tri Pramana sebagai idep. http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html. Daun sirih melambangkan Hyang Wisnu. Kapur melambangkan Hyang Siwa, dan buah pinang dilamangkan sebagai dewa Brahma. Porosan secara umum merupakan lambang dari dewa Tri Murti. canang tidak akan memiliki arti apabila tidak ada porosan.
4) Tebu
dan pisang
Di atas sebuah ceper telah diisi
dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang.
Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang amrtha. Setelah kita
memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang
membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita
dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang
adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana
dan dalam wujud Tri Kaya. http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html.
Buah pisang dapat diartikan lambangkan cinta
sejati yang suci dan tulus. Ibarat pohon pisanng hanya berbuah sekali. Ini
merupakan wujud pembrian dan penyerahan diri sepenuhnya kepada yang dipuja
dengan segala cinta dan ketulusan. (Sanjaya.2010:58). Tebu juga memiliki makna
manis jadi dalam hidup ini menemukan yang manis sebagai amerta dalam hidup dan
berusaha menyerahkan diri dengan tulus dan iklas kepada Hyang Widdhi, karena semua berawal dariny dan akan
kembalagi kepada-Nya.
5) Sampian urasari
Jejaritan dari janur yang berbentuk
Padma Asta Dala yaitu lmbang Sthana Sang Hyang Widhi Wasa dengan
manifestasi-Nya yang menepati delapan arah penjuru angin. Padma Asta Dala
adalah lambang perputaran alam yng dinamis dan seimbang sebagai sumber
kehidupan yang menuju kebahagiaan. (Sanjaya. 2010: 58-59).
Sampian uras dibuat dari rangkaian
janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau
helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan
karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia sebagai pendorong
melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.
6) Bunga.
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa,
kedamaian, ketulusan hati.
Di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan. Dan dalam (Girinata. 2009:44 ) menyebutkan makna filosofi dari bunga memiliki makna religious atau makna spiritual serta memiliki makna kesucian.
Di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan. Dan dalam (Girinata. 2009:44 ) menyebutkan makna filosofi dari bunga memiliki makna religious atau makna spiritual serta memiliki makna kesucian.
Bunga banyak dijumapai dalam
berbagai banten atu upakara dan upacara yadnya, bunga merupakan saran pokok dan
mengandung makna tersendiri sesuai dengan jens upakara atau wujud bantenny.
7) Kembang
Rampai.
Kembang rampai akan ditaruh di atas
susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna
sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua
arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai
dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol
warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam
bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki
bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan
dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan,
kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk
itulah dalam kita menata kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan
ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html.
dan
kembang rampe atau pandan harum
yang menggmbarkan tarik atau
rangsangan untuk memusatkan pikiran kearah kesucian dalam memuja Ide Hyang
Widhi Wasa
(Mas
Putra, dalam Girinata. 2009:
8) Lepa.
Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik. http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html
Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik. http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html
9) Minyak
wangi.
Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai
lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya
diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan
kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan
pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam
air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang
ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita
menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang
mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.
Kristalisasi Siva Siddhanta dalam
Canang Sari
Dalam canang sari terdapat
kristalisasi Siva Siddhanta, mulai dari unsure terkecil dalam canang yaitu
porosan lambang dari Tri Murti. Yang merupakan kristalisasi dari sekte
Waisnawa, Sekte Brahma dan Sekte Siva.
Dan dalam Urasari terdapat pula kristalisasi sekte-sekte ke dalam sekte Siva
Siddhnta, Urasari merupakan lambang Padma
Asta Dala yaittu 8 penjuru mata angin. Serta bunga melambangkan
dewa-dewa sesui dengan warnya. Dalam banten canang sari terdaapt kristalisasi
sekte-sekte kedalam Sekte Siva Siddhanta.
2.1.2
Daksina
Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan
juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dar ipada Yadnya.
Hal ini dapat dilihat pada berbagai upacara yang besar, di mana banyak menggunakan
ada daksina. Kalau dilihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput
karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda
"terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu
kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud
kita atas semua karunia-Nya.
Tempat untuk daksina disebut bedogan atau clekontong. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga
sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping
menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput. Di atas
beras diletakkan sebutir kelapa yang telah dikupas halus tempurungnya,
dihilangkan sabutnya.
2.1.2.1 Jenis-jenis Daksina
1)
Daksina Alit
Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali
dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri
sebagai banten tunggal.
2)
Daksina Pekala-kalaan
Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi.
Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
3)
Daksina Krepa
Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali
ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar
khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
4)
Daksina Gede atau Daksina Galakan atau Pemopog
Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan
tetandingan-tetandingan yang lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang
berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan : 5 x
coblong beras, 5 butir kelapa yang di atasnya berisi benang putih tukelan kecil,
5 kojong tampelan letakkan berkeliling, 5 kojong pesel-peselan, 5 kojong
gegantusan, 5 kojong tebu, 5 kojong pisang, 1 cepér berisi 5 buah pangi, 5 buah
kemiri (tingkih), 1 cepér berisi 5 butir telur bébék, Sampiyannya : basé
ambungan (kekojong dari janur berisi basé lembaran dan sampiyan sreyok - lihat
gambar sebelah
http://www.babadbali.com/canangsari/banten/daksina.htm
2.1.2.2 Makna dari masing-masing bahan pokok Daksina
1)
Wewakukan atau bebedogan.
Adalah
yang terbuat dari janur. Wewakulan ini adalah lamang dari pertiwi. Di dalam
wewakulan diberi lapisan berbentuk serobong dari janur pula sebagai Aksa. Dalam
wewakulan Daksina inilah seluruh isi Daksina dimasukkan.
2)
Tampak
Adalah
jaritan janur berbentuk segi empat sebagai lambang delapan arah mata angin,
juga sebagai lambang cakra yang juga sebagai pergerakan alam semesta diikuti
oleh hukum alam.
3)
Buah kelapa
Adalah
bagian utama dari Daksinase bagai lambang bhuana agung. Kelapa ini hendaknya
dikupas dan dibersihkan serabutnya sebagai simbol pembebasan Bhuana Agung dari
ikatan segala indria sehingga menjadi suci.
4)
Sebutir telur
Adalah
lambang Bhuana Alit. Telur itik dipilih karena itik adalah binatang yang dipandang sebagai simbol Sattwam, karena itik bila
mencari makanna meski dalam lumpur sekalipun ia dapat memilih makanan. Dan
telur ititk juga mengandung makna penanaman benih-benih sifat Sattwam dalam Bhuana Alit yang tidak
lain adalh diri manusia.
5)
Peselan
Adalah gabungan 5 jenis daun yang bisa mewakili 5 jenis warna yaitu: warna
putih, merah, kuning, hitam, dan hijau atau biru. Kelima warna daun ini
digunakan biasanya jenis plwa atau bisa juga daun mangis, croring, salak,
mangga, dan durian. Penggunaan peselan
ini bertujuan sebagai pengharapan agar Panca Dewata hadir dan malinggih di
Daksina sebagai saksi dan menganugrahkan kerahayuan.
6)
Porosan
Adalah simbol dari Tri Murti, dimana
buah pinang simbol Brahma, daun sirih simbol Visnu, dan kapur simbol Siva.
7)
Pisang,
tingkih, pangi, dan bija ratus
Yang dialasi dengan kojong dalah simbol dari manusia. Pisang sebagai
tulang, tingkih sebagai paru, pangi sebagai hiti, dan bija ratus sebagai isi
jroan. Bija ratus ini terbuat dari, biji-bijian seperti godem, jagung, dan biji
jali.
8)
Gegantusan
Adalah kojong atau bungkusan dari daun pisang yang berisi ikan teri, garam,
dan bumbu-bumbuan yang merupakan hasil dari darat dan laut. Adapula gegantusan
yang berisi beras putih, beras merah, injin, sebagai simbol Brahma, Visnu, Iswara.
9)
Benang
tukelan putih diatas kelapa.
Adalah simbol dari hubungan antara Atma, JIwatma, dan Paramatma
Yang
menyatu dalam proses Utpeti, Stiti,
Pralina.
10) Uang sebagai pamirak (penebus kekurangan)
(Sanjaya, 2010.59-61)
11)
Uang kepeng symbol windu.
Diatas
perlengkapan Daksina itu disis dengan canang payasan dan canag genten. Dan
dalam upacar tertentu daksina ini dapat dilengkapi dengan jenis-jenis canang
tertentu sesuai dengan kebutuhannya. Serta penggunaan Daksina sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.
Krisalisasi
Siva Siddhanta Dalam Daksina
Bahwa dalam
daksina itu banyak menggunakan bahan-bahan atau perlengkepan, yang
masing-masing memilki makna tersendiri. Wewakulan ini adalah lamang dari
pertiwi. Tampak berbentuk segi empat sebagai lambang delapan arah mata angin,
kelapa lambang bhuana agung, telur lambang Bhuana Alit, Peselan lambang Panca Dewata, Porosan lambang dari Tri Murti, Gegantusan Brahma,
Visnu, Iswara, Benang tukelan putih diatas kelapa simbol Tri kona. Dalam Daksina Tampak melambangkan 8 arah mata angina tau 8 dewata, pepeselan yang melambangkan
panca dewata, kemudian porosan melambangkan tri
murti. Bahwa sananya sekte yang ada itu memuja dewa yang berbeda-beda
kemudian di persatukan dengan konsep tri
murti. Maka semua
sekte-sekte yang ada bersatu dengan mengatas namakan Siva Siddhanta. Tanpa menghilangkan tradisi dari masing-masing
setke. Ibaratkan wewakulan sekte Siva
Siddhanta, perlengkapan dalam daksina yang lainnya itu merupakan
sekte-sekte yang lainnya, sehinnga disatukan dalam dalam tempat wewakulan itu
akan memebentuk daksina. Begitu pula sekte-sekte yang lainnya yang disatukan
kedalam Siva Siddhanta.
2.1.3
Banten
Peras

Peras
adalah suatu banten yang menyertai
banten yang lainya artinya pada saat pengunaannya idak digunakan secara
tersendiri. Banten peras merupakan pertanda pengeesahan atau persmian suatu
upakar yang biasanya setelah upacara selesai, lekukan pada kulit peraas itu
ditarik. Dan beras yang ada dibwahnya akan ditaburkan. (Sanjaya.2010:61).
Taledan
diisi kulit peras, base tampel, benang putih, kemudian diisi uang kepeng.
Selanjutnya diatasnya diisi dua buaah tumpeng, lauk-pauk, jajan, buah-buahn,
sampian peras, canang genten. Dan tempat lauk-pauknya dibuatkan sebuah kojong.
Dalam lontar Yadnya Pakrti Peras adalah lambang Hyang Tri Guna Sakti. Dan dalam
pemakian sehari-hari peras ini dipergunakan sebagai lambang kebersihan.
(PHDI:1995:101) dan Mankna Filosofis Bahan-banah Peras, yaitu:
2.1.3.1 Taledan.
Tamas
lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda).
Ceper/
Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)
2.1.3.2 Kulit Peras.
Bertanda
selesainya suatu upacara, yang bisa diarikan pengesahan atau peresmian. Apabila
lekukan-lekukan pada kulit peras itu ditarik, maka upacara yang dilaksanakan
telah selesai dilaksanakan. Dan apa bila meras anak, pada saat sudah menarik
lekukan-lekukan pada kulit peras itu maka anak itu sudah menjadi anak, berarti
dapat diartikan sebagai pengesahan.
2.1.3.3
Beras,
Sebagai
lambang kemakmuran dan dimana ada upacara yadnya pasti akan makmur, Karena
Yadnya merupakan perputaran kehidupan
yang dalam Bhagawad-Gita disebutkan Cakra Yadnya. Apa bila cakra Yadnya ini
tidak berpur maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran. Dan karena beras
merupakan maakanan pokok dan sebagai sifat Rajas.
Base
tampel.
2.1.3.4
Benang Putih
Adalah simbol dari hubungan antara Atma,
JIwatma, dan Paramatma Yang
menyatu dalam proses Utpeti, Stiti,
Pralina. Dan pula diartikan sebagai kesucian dan merupakan alat pengikat
sifat Sattwam.
2.1.3.5 Uang kepeng
Sebagai
simbol windu, dan sebagai lambang untuk mengendalikan sifat Tamas.
2.1.3.6 2 Buah tumpeng
Tumpeng
dalam peras bermakna Rwa bhineda (baik-buruk).
Yang merupakn kristalisasi dunia menuju rohani. Dan dua tumpeng untuk dapat menghasilkan
ciptaan kekuatan (Purusa-Pradana).
Dan dapat pula berlambang ke uletan, dalam meniadakan unsure-unsur materialis,
ego. Dalam kehidupan sehingga sukse menuju Tuhan.
2.1.3.7
Lauk-pauk
Yang
terdiri dari kacang, saur. Yang merupakan hasil dari Bhuana Agung.
2.1.3.8
Jajan, Buah-buahan.
Merupakan
dan sebagai wujud rasa terima kasih kepada Ide Hyang Widhi, apa yang kita miliki itulah yang kita
persembahkan. Hasil karya berupa buaah dan biji-bijian, yang sebenaranya
merupakan anugrah dari Tuhan, dan perlu disadari bahwa segala yang ada
merupakan ciptaan-Nya. Sarana persemahan berupa buah-buahhan dan biji-bijian
hendaknnya dipersembahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta dalam
keadaan sukla dan suci. (Girinata. 2009: 53).
2.1.3.9 Sampian Peras.
Sampain
peras ini terbuat dari empat potongan janur dibentuk menyerupai parabola
diatasnya. Merupaakn lambang dari keinsapan dari diri dalam menerima intuisi,
insiasi, waranugraha dari Hyang Widhi Wasa. Yang nantinya guna dipakai dalam
melaksanakan Dharma.
2.1.3.10 Canang genten.
Yaitu
canang yang terbuat dari janur atau daun pisang. Yang dibentuk segi empat,
diatasnya diisi pelawa yang memiliki makna ketenangan dan kesucian hati.
Selnjutnya secara berturut-turut diisi porosan, yang merupakan lambang Tri
murti, diatasnya dirangkaikan janur berbentuk tangkih atau kojong dan paling
atas diisi bunga yang merupakan ketulusan dan kesucian hati, pandan harum
wangi-wangian. Reringgitan merupakan lambang kesungguhan hati.
2.1.3.11Kojong
peras
Kojong
ini digunaakn sebagai tempat lauk-pauk. Bermakna sebagai keersihan. Jika ingin
mendapatkan kebersihan harus dapat memeadukan potensi dalam diri (mulai dari
pikiran, ucapan, perbuat dan hati nurani).
2.1.3.12 Daging
Ayam
Dalam
peras menggunkan ayam, merupakan bentuk prsembahyangan dalm bentuk suguhan. Dan
sbagai simbol mengendalikan sifat rajas.
Kaitan
Kedalam Penyatuan Siva Siddhanta
Dalam Peras banyak menggunakan sarana-saran yang memiliki
makna tertentu. Sudah sangat jelas dalam peras itu ada unsur penyauan
sekte-sekte kedalam sekte Siva Siddhanta.
Terdapat porosan yang merupakan lambang dari Tri Murti yang disatukan oleh
Mpu Kuturan sekte-sekte yang ada di Bali kedalam konsep Tri Murti. Dalam Tri
Muri terdapat tiga sekte, yaitu Siva
Siddhanta, Brahma, dan Vaisnawa. Serta
dari bunga juga merupakan penyatuan dari beberapa Sekte-sekte kedalam sekte Siva Siddhanta. Dalam banten peras itu
yang terkadung maknanya, bagaimana cara kita dalam kehidupan ini agar mampu
mengendalikan sifat-sifat Tamah dan Rajah yang di imbangi dengan Sattwam. Jika ingin mendapatkan
kebersihan maka dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dibersihkan. Serta
dengan memilih salah satu dari catur marga sebagai sarana menghubungkan diri
dengan tuhan. Maka dharma bisa dilaksanakan dengan baik, dan kesuksesan pun
akan tercapai.
2.1.4
Banten
Sesayut
Banten
sesayut hampir sama dengan banten tetebasan, bedanya hanya berisi nasi isehan,
1 ekaor ayam panggang, jajan dan buah-buahan. Banten ini bermakana suatu
permohonan atau
arti kata Sesayut, yang berakar dari kata “Sayut” atau nyayut memiliki arti
mengharapkan, mendoakan, mensthanakan dan mengembalikan.
Dan harapan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, agar apa yang kita harapkan dalam
yanjna itu bisa terkabulkan. Dan dapat Sayut’ dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno) berasal dari kata
‘asayut’ artinya menahan, atau menguatkan Banten. Sesayut adalah banten-banten
yang bertujuan untuk menguatkan rasa bhakti sekaligus menyampaikan permohonan
kepada Sanghyang Widhi untuk tujuan tertentu. Banten sesayut atau tetebasan ini banyak
jenisnya, seperti sesayut prayascita luwih, sesayut saraswati, sesayut merta
dewa, sesayut sida karya, sesayut sida purna, sesayut langgeng sakti, dan yang
lainnya.
2.1.4.1 Jenis-jenis sayut antaralain:
1) Sesayut prayascita sakti
Terdiri
dari sebuh kulit sesayut (bentuk bulat terbuat dari daun kelapa). Diisi tulng
agung (dibawahnya berbentuk tamas dan diatasnya berbentuk cili). Di dalamnya
diisi nasi serta lauk-pauk. Disusun dengan sebuah tumpeng yang diisi sebuah
bunga teratai putih. Disekelilingnya diisi 11 buah penek kecil, 11 buah
kewangen, 11 buah tipat kukur/tipat gelantik, 11 buah tulung kecil, peras
kecil, pasucian, penyeng, kelungah kelapa gading, lis, bebuu, sampian nagasari,
canang burat wangi, serta dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan lauk-pauk.
2)
Sesayut Saraswati
Terdiri
dari sebuah kulit sesayut, diisi penek warna merah, penenk warna putih, dan
penek warna hitam. Masing-masing sebuah dan dilengkapi dengan lauk-pauk,
pisang, buah-buahan, jajan, tebu, samiapian nagasari, penyeneng, dan canang
burat wangi atau canang yang lainnya.
3)
Sesayut
Mertha Dewa
Terdiri
dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning, dialasi
dengan takir (terbuat dari kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk, jajan,
buah-buahan, sampian nagasari, penyeneng dan canang genten tau canang jenis
lainnya.
4)
Sesayut
Sida Karya
Terdiri
dari sebuah kulit sesayut diatasnya diisi nasi berbentuk segi empat bagian
tengah-tengah nasi tersebut diisi sebuah tumpeng yang agak besar. Tumpeng tersebut
diapi dengan tumpeng yang lebih kecil. Pada tumpeng yang paling besar puncaknya
diisi terasi dan pada tiap sudutnya diisi sebuah kewangen. Dilengkapi pula
dengan dua buah tulung dan perlengkan lain yang pada dasarnya sama dengan
sesayut Mertha Dewa.
5)
Sesayut Sida Purna
Terdiri
dari sebuah kulit sesayut , diisi nasi berbentu bulat. Disekitarnya diisi 5
buah penek masing-masing disispi pucu dadap. Dilengkapi dengan ketipat sida
purna lima buah dan perlengkapan lain seperti diatas.
6)
Sesayut Langgen Amukti Sakti
Terdiri
dari sebuah kulit sesayut diisi sebuah penek. Penek tersebut disispi sebuah
kalpika dan muncuk dapadap (punck dapdap). Perlengkapan lainnya sam dengan
sessayut tersebut diatas.
(PHDI.
2001: 98-99)
7)
Sesayut Pasupti
Bertepatan
dengan Saniscara Kliwon Wuku Landep, lalu umat Hindu merayakan Tumpek Landep.
Ida Pedanda Made Gunung pernah menyampaikan, menurut filosofinya, Tumpek Landep
merupakan tonggak penajaman citta, budhi dan manah (pikiran).
Diharapkan, tingkah laku perbuatan umat selalu dilandasi atas kesucian pikiran
sehingga bisa memilah mana yang baik maupun yang buruk. Sebab dari pikiran
kebahagiaan itu datang dan dari pikiran juga kesedihan menggelayut di hati.
Seperti tersurat dalam Sloka 81, Sarasamuscaya, “Pikiran itu sangatlah labil dan berubah-ubah, apabila seseorang dapat
mengendalikan pikirannya, niscaya ia akan memperoleh surga di dunia dan surga
di akherat”. Pikiran
yang tajam akan mampu memerangi kebodohan dan menekan sifat bhutakala dalam
diri. Banten sesayut pasupati di haturkan kepada Sanghyang Siwa Pasupati
merupakan dewanya taksu pasupati.
Kaitan
Kedalam Penyatuan Siva Siddhanta
Dalam banten sesayut mengunakan Tamas
yang merupakan lambang Cakra atau
perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/
Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga), berisi bunga
Teratai yang merupakan perwujudan Dewa Brahma yang duduk di atas bunga teratai,
yang mrupakan persatuan dari sekte Brahma. Mengunakan canang yang terdapat
unsure penyatuan siva siddhantan, serta menggunakan porosan yang terdapat
penyatuan siva siddhanta pula. Jadi dalam banten sesayut terdapat pula
penyatuan siva siddhanta.
2.1.5 Banten Ajuman

Banten Ajuman
yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi). Soda/ajuman dipakai sarana untuk
memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan/kokoh. Dan disebut juga soda
(sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina
suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya
diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau
perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian
pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi
sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang
burat wangi atau yang lain. Kembali ke atas.
Dan
adapun unsur-unsur dalam banten Ajuman, antara lain:
2.1.5.1
Tamas
atau Taledan
Tamas
atau taledan, tamas lambang cakra (symbol kekosongan yang murni/ananda).
Taledan merupakan lambang catur marga
yaitu empat jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. (bhakti marga, karma
marga, jnana marga, dan raja marga).
2.1.5.2
Buah pisang, Jajan, Dan Buah-buahan
Merupakan persembahan hasil kerja
keras dan rasa syukur kepada Ide Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah memberikan
anugrahnnya kepada kita semua.
2.1.5.3 Dan nasi
berbentuk penek (bundar) 2 buah
Nasi
penek atau "telompokan" adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa
sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau
kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol
Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis. Dan bila ditujukan
kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning,
yang disebut Ajuman putih kuning.
2.1.5.4
Rerasmen/lauk-pauk yang dialasi Tri Kona
Yang
berisi beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau
sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun
kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Yang merupakan simbol/makan, dari Bhuana Agung yang
diperembahkan.
2.1.5.5
Sampyan
plaus/petangas/Sampian Soda
Sampyan
Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga
berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi
manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan
jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah
siap.
2.1.5.6 Canang sari/Canang Genten
Canang sari yaitu inti dari pikiran
dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada
kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit). Dan
Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi
setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut
lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari.
Kristlisasi
Sekte-sekte ke dalam Sekte Siva Siddhanta dalam Banten Ajuman
Dari
makna filosofi masing-masing unsur yang ada pada banten Ajuman atau Soda, bahwa
semua unsur-unsurnya bermakna pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widdhi Wasa. Yang
mulai dari unsur Bhuana Alit sampai Unsur Bhuana Agung, di persembahkan secara
tulus iklas. Dan dari makna-makna yang terdapat itu, bahwasanya semua
sekte-sekte yang ada telah luluh menyatu dengan sekte siva siddhanta.
2.1.6
Banten
Pejati
Pejati berasal bahasa Bali, dari
kata “jati” mendapat awalan “pa-”. Jati
berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati,
yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Banten Pejati adalah sekelompok banten yang
dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan
tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang
senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña. Dan sering juga disebut
“Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah
tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda,
“meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara,
banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten
yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati
dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
2.1.6.1
Unsur-unsur
dan makna yang terdapat dalam banten Pejati
Banten Pejati dihaturkan kepada
Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu Daksina kepada Sanghyang Brahma, Peras kepada
Sanghyang Isvara, Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu, Ajuman kepada
Sanghyang Mahadeva.
1) Daksina
terdiri atas:
a)
Bakul/serembeng,
simbol arda candra
b)
Kelapa
dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
c)
Bedogan,
simbol swastika
d)
Kojong
pesel-peselan, simbol ardanareswari
e)
Kojong
gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
f)
Telur
bebek simbol windu dan satyam
g)
Tampelan,
simbol trimurti
h)
Irisan
pisang, simbol dharma
i)
Irisan
tebu, simbol smara-ratih
j)
Benang
putih, simbol siwa
Dari
unsur-unsur diatas terdir
wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan
tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa
diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi telor
itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan,
pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang
burat wangi di atasnya.
2)
Peras
Memakai alas taledan lalu di atasnya
diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit
peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan)
selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang
berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di
atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
3)
Soda/Ajuman Rayunan
Memakai tamas dari janur/slepan yang
di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua
buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain.
Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
4)
Ketupat Kelanan
Ketupat Kelanan adalah lambang dari
Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga
kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu
maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia. Tetandingannya memakai tamas
sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu
dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen.
Untuk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan
Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah
clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur
minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah
jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base
tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua
tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.
21.6.2 Dasar Lontar
1) Penjelasan
Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen:
Mengenai rerasmen:
“Kacang, nga; ngamedalang
pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian“.
Artinya :
Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu
menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
“Ulam, nga; iwak
nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”.
Artinya:
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen
itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
2) Mengenai buah-buahan:
“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa
hayu, ngalangin ring kahuripan“.
Artinya:
Segala jenis buah-buahan merupakan
hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya
Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan
pada kehidupan.
3) Mengenai Kue/Jajan:
“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning
rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning
sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan“.
Artinya:
Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan
Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka
(ayah-ibu), Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang
kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang
sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
4) Mengenai bahan porosan:
“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus
hasanak, makadang mitra, kasih kumasih“.
Artinya:
Sirih dan pinang itu lambang dari
yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang
baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan
berkawan.
2.2
Mantram
dalam Canang Sari, Daksina, dan Peras
2.2.1 Mantram Canang Sari
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
2.2.2
Mantram
Daksina
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
2.2.3 Mantram Banten Peras
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Pañca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Śiva jnana
Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.
Oṁ Pañca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Śiva jnana
Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.
III PENUTUP
3.1.1
Simpulan
Dari
pembahasan tentang banten dapat disimpulkan, bahwa banten merupakan unsur pokok
dalam melaksanakan upacara yadnya khususnya di Bali, yang tidak biisa lepas
dari saran upacara. Dalam canang sari, daksina,
banten peras, banten sesayut, banten ajuman, dan banten pejati terdapat unsur
penyatuan sekte-sekte kedaalm sekte Siva Siddhanta. Banten-banten diatas memiliki
banyak makna apabila pada saat pembuatan dimaknai dengan baik maka banten itu
akan lebih bermakna. Jadi sangat perlu dalam mengetahui makna-makna yang ada
dibalik banten.
DAFTAR PUSTAKA
Sanjaya, Putu.
2010. “ Acara Agama Hindu “. Surabaya : Paramitha
PHDI.
2001. Panca Yadnya. ”.
Denpaasar: Proyek peningkatan sarana dan prasarana kehidupan beragama.
http://bebantenan.wordpress.com/makna-banten/ http://pandejuliana.wordpress.com/2012/04/09/banten-pejati/
http://www.scribd.com/doc/63565118/Banten-Ajumanhttp://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar