TUGAS SIVA SIDDHANTA II
Mengkaji pelinggih dan sejarah dalam merajan serta
keterakitan dengan kritalisasi Siva Siddhanta
Dosen Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H
OLEH :
NAMA : NI MADE SULIARTINI
NIN : 10.1.1.1.1.3864
PRODI : PAH
/V.B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
20l2
|
KATA
PENGANTAR
“Om
Swastyastu”
Puja dan
puji syukur saya panjatkan kehadapan Ide Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
asung kerta waranugraha-Nya saya dapat membut tugas tentang “Sejarah, nama-nama, dan banten dalam sanggah
dadia atau merajan agung”. dengan
baik dan tepat waktu. Saya membut
tugas ini yaitu untuk memenuhi tugas matakuliah Siva SIddhanta II. Dan
saya juga ingin mengetehaui tentang
sejarah, ataupun yang menyangkut tentang sanggah. karena sangat berguna bagi
dalam membantu pengetahuan saya yang nantinya dapat saya pergunakan di
masyarakat.
Dalam pembuatan
tugas ini banyak pihak yang telah membantu. Daintaranya: Dosen pengampu
matakuliah Siva Siddhanta II,
yaitu Bapak, I Ketu Pasek Gunawan, S.Pd.H. saya ucapakan trimakasih kepada bilau
karena berkat bimbingan beliau saya dapat membuat tugas ini. Dan ucapan trimakasih kepada teman-teman
dan keluarga atas bantuannya dan partisipasinya.
Saya
menyadari bahwa tugas yang saya
buat ini, banyak kekurangannya dan belum sempurna, maka dari itu kami
mengharapakan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah kami
ini. Semoga tugas yang buat ini ada
manfaatnya bagi para pembaca.
“Om Santih, Santih,Santih, Om”
Singaraja,
Oktober, 2012
Penulis
P.A.H. V B
ii
|
DAFTAR ISI
Hal
COVER ........ i
KATA
PENGANTAR.....................................................................................
ii
DAFTAR
ISI...................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................
1.1 Latar Belakang..........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................
3
1.3 Tujuan Masalah.........................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
4
2.1 Sejarah Kawian Pasek Tamblingan...........................................
4
2.1.1
Berkembangnya Keturunan Dalem di palemahan alas
amerta
jati dan pawidangan sanantala labu...................
5
2.1.2 Ngurah
Pajenengan Mancawarna..................................
8
2.1.3
Terjadi Pertempuran di Puri Sanantala Labuh............... 10
2.1.4
Pakeling-pakeling Pemeluk Siva Muka Bulakan
Dalem Tamblingan Gobleg...........................................
13
2.2 Sejarah Sanggah Dadia.............................................................
15
2.2.1 Sanggah Embang.............................................................
15
2.2.2 Sanggah Jajaran...............................................................
16
2.2.3 Sanggah Dadia................................................................
17
2.3 Nama dan Banten dalam Pelinggih Dadia................................ 17
2.3.1 Sanggah Surya.................................................................
17
2.3.2 Rong Tiga.......................................................................
18
2.3.3 Meru tumpang Tiga........................................................ 20
2.3.4 Dalem Tamblingan.......................................................... 21
2.3.5 Ulun
Danu 22
iii
|
2.3.7 Taksu...............................................................................
23
2.3.8 Gedong Penyimpenan..................................................... 24
2.3.9 Pelinggih Piyasan.............................................................
25
2.3.10 Bale Banten...................................................................
26
2.3.11 Taksu Apit Lawang.......................................................
26
2.3.12 Pelinggih Paibon............................................................
27
2.3.13 Jero Gede.......................................................................
28
2.4 Ukuran Asta Kosala-Kosali Secara Umum................................ 28
2.4.1 Sukat................................................................................
28
2.4.2 Ukuran/Sukat Prahyangan Sanggah / Merajan................ 29
2.4.3 Ukuran /Sukat Kahyangan.............................................. 29
2.4.4 Ukuran /Sukat Pelemahan Paibon/Panti.......................... 29
2.4.5 Ukuran/Sukat
Tempat Kori Pelinggih..............................
30
2.4.6 Ukuran/Sukat
Tempat Pelinggih......................................
31
BAB III
PENUTUP..................................................................................................
33
3.1 Simpulan.......................................................................................
33
3.2 Saran-saran...................................................................................
33
Daftar
Pustaka
iv
|
BAB
I
PENDAHULAUN
1.1
Latar
Belakang
Tempat
suci adalah tempat yang digunakan untuk berbakti atau brsembahyang kepadaa
Tuhan. Tempat suci dari Agama Hindu adalah Pura. Kata
pura berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti kota atau benteng artinya
tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan
kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura. Dan ada
beberapa pengelaompokan pura, diantaranya: Pura Umum , Pura Teritorial, Pura Fungsional
dan Pura
Kawitan.
Pura Kawitan, Pura
ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur
berdasarkan garis kelabiran (genealogis). Suatu keluarga inti (ayah, ibu, dan
anak-anak). Dan apabila keluarga itu telah bertambah banyak jumblahnya dan
sudah ada yang keluara dari rumah asal, maka tempat pemujaan keluarga luas
tersebut disebut sanggah Gede atau Pamrajan Agung. Selanjutnya pada tingkat
yang lebih luas yaitu pada tingkat klen mempunyai tempat pemujaan yang disebut
pura dadia, sehingga mereka disebut tunggal dadia. Apabila klen itu
membesar sehingga mencangkup jagat Bali,
maka mereka mempunyai tempat pemujaan yang disebut Padharman. (Ardana.2000.5)
Kawitan merupakan asal leluhur dari mana, dan keterunannya harus selalu
ingat dengan wit atau asal leluhurnya. Karena masing-masing kawitan memliki prastasti
yang didalamnya terdapat bisama (kutukaan). Apabila tidak ingat dengan dengan kawitannya
maka besar kemungkinan akan mendapatkan bisama dari leluhurnya. Agar tidak kena
bisama sangat perlu mengetahui wit atau asala dari leluhur guna menghindarikan
bisama.
1
|
Setelah mendapatkan tugas Siva Siddhanta ini, saya mencari-cari data, serta menanyakan kepada penglingsir
saya tentang kawitannya, dia katakan pasek gelgel pegatepan, kemudian saya
menanyakan tentang kaitannya dengan Dalem Tamblingan, pengelingsir dan
tunggalan dadia saya tidak bisa memberikan jawaban, jawabannya dalem tamblingan
sudah di sung-sung sejak dari dahulu oleh para leluhur.
Banyak hal yang membuat saya tidak
percaya dengan kawitan yang sekarang, karena banyak pelinggih yang di sung-sung
hanya pelinggih yang ada di Dalem Tamblingan. Serta dalem tamblingan itu sudah
di sung-sung sejak dahulu. Contohnya Pura Embang pura ini merupakan pelinggih
penyawangan yang ada di danau tamblingan, pura ini berada di halaman utama
madala Pura Desa Pedawa, Pura Embang terletak kaja kangin. Hanya dadia saya
saja yang memiliki sanggah pribadi di pura Desa. Dadia yang lainnya tidak ada
yang memiliki pelinggih pribadi di pura Desa. Status pura Embang miliki dadai
saya, kalau pura in rusak maka keluarga saya yang mengadakan perbaikan dan
melaspas. Pura embang itu, pelinggihnya dari carang dadap. Namun sekarang dari
kayu agar sama dengan pelinggih yang lainnya yang ada di pura Desa, namun yang
sanggah dadia dan di kemulan masing-masing hanya menggunakn carang dadap. Dan
menurut cerita-cerita (tutur-tutur), leluhur saya dari Gobleg membawa seeprangkat gamelan ke Pedawa, di
mana gamelan yang dibawa itu Supak, Gangsa. Yang dibagi dengan Gobleg, setengah
di Gobleg dan setengah di bawa ke Pedawa.
2
|
Dadia saya selama ini keliru kawitannya, karena saya kaitkan dari
beberapa keadaan pelinggih dan tradisi, bisama lebih cendrung kaitannya dengan
Dalem Tamblingan. Saya sangat bersyukur dapat tugas ini karena saya dapat
mengetahui kekeliruan selama ini.
Dalam makalah ini, saya akan membahasa tentang sejarah kawitan Pasek
Tamblingan, keberadaan pelinggi nama dan
banten yang di gunakan sangat penting pula di ketahui serta ukuran asta bumi
dalam pelinggih.
1.2
Rumusan
Masala
1.2.1
Bagaimana Sejarah Perajalanan Kawitan
Pasek Tamblingan?
1.2.2
Bagaimana Sejarah Terbentuknya Sanggah
Dadia?
1.2.3
Apa Nama-nama Pelinggih dan Banaten
Dalam Sanggah Dadia?
1.2.4
Bagaimana Ukuran Asta Kosala-Kosali
Pelinggih secara Umum?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.3.1
Ingin mengetahui Sejarah Perajalan
Kawitan Pasek Tamblinga.
1.3.2
Ingin mengetahui Sejarah Terbentuknya
Sanggah Dadia
1.3.3
Ingin mengetahui Nama-nama Pelinggih dan
Banaten Dalam Sanggah Dadia.
1.3.4
Ingin mengetahui Ukuran Asta
Kosala-Kosali Pelinggih secara Umum.
3
|
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarak Kawitan Pasek Tamblingan
Pada
Purnama ke Dasa, tepatnya hari rabu tahun çaka 11, diutuslah ketiga putra Ida
Dalem Aji Saka Suryaningrat oleh Sri Maha Pandita Bagawanta Dwijaksara ke
Nusantara. Perjalanan beliau bertiga beserta keempat parekan yang dijadikan
satu “cepak besi kuning”. Pertama menuju pulau Kanci (pulau Sumatra sekarang).
Di pulau inilah beliau membuat pasraman, selanjutnya berputra lima orang dan
parekan pengiringnya berputra 12 orang laki-perempuan yang selanjutnya menjadi
penghuni tetap pulau Kanci (Sumatra).
Pada tahun
çaka 51 diceritakan bahwa beliau bertiga berpindah menuju tempat yang memiliki
tumbuh-tumbuhan sejenis padi yang bernama pulau Pari Jawawut (pulau Jawa
sekarang). Di pulau inilah selanjutnya beliau bertiga membangun pasraman yang
diberi nama Dewa Karta Membah yang disebut Surakarta (Solo). Dalam pasraman
ini, Ida Dalem yang pertama Sri Wira Jaya Satruning Bumi perputra enam orang,
laki perempuan. Dalem yang ke dua Dalem Sri Kesari Warma Dewa dan Dalem yang ke-tiga Sri Wira Tamblingan
berputra seorang laki-laki. Parekan yang dicepak besi kuning berputra delapan
orang, laki perempuan.
Lama
kelamaan entah bagaimana pertimbangan beliau bertiga, akhirnya hanya Dalem Wira
Jaya Satruning Bumi yang tinggal di Solo, yang selanjutnya menurunkan keturunan
yang menguasai pulau Jawa. Sedangkan adik beliau Ida Dalem Kesari Warmadewa dan
Ida Dalem Wira Tamblingan pindah ke arah timur menuju Tanjung (Hnjung) Sanur
Tahun çaka 125.Dari pantai Sanur beliau melanjutkan perjalanan menuju Gunung
Selonding-Besakih dan memilih tempat pesraman di Dalem Puri. Di tempat inilah
beliau berdua berstana sampai dengan tahun çaka 131, yang selanjutnya Ida Dalem
Wira Kesari Warmadewa memasuki Dinasti Sri Kesari Warmadewa di Bali dengan alur
sebagai berikut :
1. Sri
Kesari Warma Dewa dengan keraton Singadwala ( .... – 915 )
2. Sri
Ugrasena Warma Dewa (915 – 942)
4
|
4. Darmodayana
Warma Dewa dengan permaisuri Gunaprya (989– 1022)
5. Anak
wungsu Warma Dewa (1022 – 1077)
6. Putri
Sekala Indu Karana (1077 - …....)
7. Sri
Jaya Pangus ( abad ke-12 )
8. Sri
Eka Jaya ( abad ke-13 )
9.
Asta Asura Bumi ( .... – 1343 )
10. Keluarga Pasek Gelgel (1343–1350)
Kemudian berkembang Dinasti Kresna
Kepakisan Bali Dengan runtutan sebagai berikut :
1.
Dalem Ketut Kresna Kepakisan (Samprayangan – Gianyar) (1350 - 1380)
2. Dalem Ketut Ngulesir (Gelgel –
Klungkung) (1380 – 1460)
3. Dalem Watur Enggong (Gelgel –
Klungkung) (1460 – 1550)
4. Dalem Bekung (Gelgel – Klungkung)
(1550 – 1580)
5. Dalem Sagening (Gelgel –
Klungkung) (1580 – 1665)
6. Dalem Dimade (Mengwi) (1665 – 1686)
7. Gusti Agung Maruti (1686 -
...... )
8. Dalem Jambe (Semarapura –
Klungkung) (1700
- ….... )
Sedangkan Ida Dalem Wira Tamblingan
kesah dari Daem Puri menuju hutan yang ada danaunya, yang oleh beliau diberi
nama Alas Amerta Jati.
2.1.1 Berkembangnya Keturunan Dalem di palemahan alas amerta jati dan
pawidangan sanantala labu.
Sementara Ida Dalem Kesari Warma
Dewa menurunkan dinasti Warma Dewa, yang dilanjutkan dengan Keluarga Pasek
Gelgel, kemudian Dinasti Kresna Kepakisan seperti disebutkan di atas, Ida Dalem
Wira Tamblingan membangun pasraman di Alas Amerta Jati, tepatnya di tepi danau
Tamblingan setelah kesah dari Dalem Puri.
5
|
Demikian
kuatnya beliau pada waktu itu, sampai-sampai memasuki tahun çaka 235 musuh yang
datang dari jagat Hindu yang ingin mengganggu ketentraman beliau berdua dapat
dikalahkan. Sejak kalahnya musuh beliau berdua inilah tempat Ida Dalem berstana
dinamakan jagat Bali.
Ida Dalem Wira Tamblingan di Alas Amerta Jati
beserta isrti beliau Dewi Amerta Sari setelah berpisah dengan kakaknya Ida
Dalem Kesari Warma Dewa. Sebetulnya perkawinan beliau dengan Dewi Amerta Sari
telah dikaruniai seorang putra yang bernama Dalem Maojog Mambek, namun tinggal
dengan Ida Dalem Sri Wira Satruning Bumi di Solo. Tetapi setelah berstana lebih
dari 20 tahun di Alas Amerta Jati ternyata belum dikaruniai putra lagi,
sehingga beliau berkeinginan untuk memanggil putra beliau Dalem Maojog Mambek
ke Bali.
Keinginan
tersebut beliau sampaikan kepada kakak beliau di Solo dan kakak beliau sangat
setuju, lebih-lebih maksud mengundang putranya adalah untuk menata pasraman di
Tamblingan yang telah banyak mengalami perubahan-perubahan pada waktu itu. Berkat
kekuatan kedua ayahnya’dan nya baik yang di Solo maupun di Tamblingan akhirnya
tibalah Ida Dalem Maojog Mambek di Tamblingan dengan selamat disambut oleh
pengiring-pengiring Ida Dalem Wira Tamblingan.
Pengiring-pengiring
beliau adalah keturunan dari I Bagejo dan I Daulat seperti yang telah
dijelaskan di depan dan telah berkembang menjadi 16 pasek yang merupakan satu
kesatuan Paguyuban Alas Amerta Jati. Ke-16 pasek tersebut yaitu ;
1. Pasek Dana Jaya
2. Pasek Ulung
3. Pasek Ulumerta
4. Pasek Ulika
5. Pasek Pemancingan
6. Pasek Kenca
7. Pasek Ulu Jaya
6
|
9. Pasek Jaya Kesuma
10. Pasek Gawa
11. Pasek Batur Sari
12. Pasek Batu Lepang
13. Pasek Batu Laga
14. Pasek Watu Selem
15. Pasek Keladian
16. Pasek Selulung
Karena terjadi letusan gunung berapi
dan bencana alam tanah longsor yang sangat hebat pada waktu itu, Ida Dalem
Tamblingan menyadari sepenuhnya bahwa putra beliau tidak akan mungkin
melanjutkan kehidupan di Tamblingan. Lagi pula beliau pada saat itu telah tiba
saatnya dalam waktu dekat akan ke Alam Sunia. Agar dinasti Tamblingan beserta
pengiring-pengiringnya tetap terjaga, maka dipanggillah putranya dan beliau
bersabda
“Ananda
Dalem, sekarang anakda sudah dewasa dan sudah saatnya beristri, disamping sudah
saatnya Ibu beserta Aji untuk kembali ke Swarga Loka. Ini Ibu beserta Aji telah
mempersiapkan tetegenan dan buah labu dengan sanan tebu. Pergilah dan pikul
seperangkat tetegenan ini, jalanlah terus, nanti dimana sanan tebu itu patah
dan labu itu jatuh berstanalah Anakn’da di sana. Bersamaan dengan itu akan
datang seorang gadis yang sangat cantik , itulah yang akan menjadi istri
Anakn’da. Tempat jatuhnya tetegenan itu sebutlah SANANTALA LABUH”.
Setelah beliau berkata demikian,
pada tahun çaka 260 moksalah Ida Dalem Wira Tamblingan beserta istri beliau di
tepi danau Alas Amerta Jati, dan mulai saat itu danau tersebut diberi nama
Danau Tamblingan. Sepeninggal Ida Dalem Wira Tamblingan beserta istri beliau,
untuk menghormati bisama dari Ayahnnya
berangkatlah Ida Dalem Maojog Mambek memikul tetegenan yang telah
dipersiapkan keluar dari kawasan Tamblingan. Beliau berjalan terus, berjalan,
dan berjalan bersama pengiringnya yang sudah dipersiapkan sesuai dengan pesan
Ayah’danya.
7
|
Tidak begitu jauh dari tempat labu
itu jatuh di tempat yang agak datar dan subur, akhirnya beliau dengan
pengiring-pengiringnya mendirikan pesraman dan diberi nama Puri Sanantala
Labuh. Karena sudah merupakan jodoh yang dikehendaki oleh’Nya sesuai pesan Ida
Dalem Wira Tamblingan, akhirnya kawinlah Ida Dalem Maojog Mambek dengan Putri
Sarin Tahun pada tahun çaka 262.
Bulakan yang muncul sesuai dengan
bisaa Ayah’danya akhirnya diemban menjadi Pura Bulakan, dan tempat beliau
berstana dengan pengiring-pengiringnya diberi nama Puri Sanantala Labuh, di
palemahan Gobleg sekarang dengan penuh kedamaian.
Buah perkawinan beliau dikaruniai
seorang putra yang diberi nama Sri Dalem Wira Bumi. Sri Dalem Wira Bumi sebagai
generasi ke tiga dari Dinasti Dalem Tamblingan tumbuh dan berkembang menjadi
remaja di bawah bimbingan Ida Dalem Maojog Mambek beserta istri beliau, sambil
ngemban Pura Bulakan dimana telah tercipta Tirta Predana Urip dan Tirta
Predana Pati. Seluruh paguyuban Puri Sanantala Labuh dalam melaksanakan
panca yadnya menggunakan kedua Tirta Bulakan tersebut untuk muput yadnya,
sehingga terjadilah kedamaian yang luar biasa pada waktu itu.Puri Sanantala
Labuh berkembang dengan pesat, bahkan sudah terjadi hubungan balik dengan
dinasti Ida Dalem Sri Wira Jaya Satruning Bumi di Solo yang menguasai jagat Jawa
pada saat itu.
2.1.2 Ngurah Pajenengan Manca Warna
8
|
Oleh Ayah’danya di Solo serta
kesepakatan dengan Ida Dalem Maojog Mambek akhirnya Ida Dalem Wira Bumi sejak
saat itu dikukuhkan menjadi “Ngurah Pajengan Manca Warna ” dengan sebutan “
Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Bumi.”. Berdasarkan sebutan ini munculah sejarah
Pasek Gobleg Ka Dalem Tamblingan, sedangkan untuk pengiring-pengiring setia
beliau menyatu menjadi Pasek Gobleg Ma Dalem Tamblingan, yang selanjutnya
menjadi cikal bakal sebutan Pemeluk Siwa Muka Dalem Tamblingan Gobleg. Ida
Dalem Maojog Mambek moksa pada tahun çaka 401.
Tempat terciptanya Tirta Predana
Urip dan Tirta Predana Pati, sekarang menjadi Pura Bulakan yang menjadi
sungsungan seluruh keturunan Pasek Gobleg Wira Bumi, sedangkan Ngurah Pasek
Gobleg Wirabumi dijuluki Ngurah Pajenengan Manca Warna. Ngurah Pajenengan Manca
Warna selanjutnya mendapat tugas ngemban petirtan dengan Tirta Predana Urip dan
Tirta Predana Pati yang telah tercipta.
Sejak saat itulah Ngurah Pajenengan
Manca Warna dengan kesepakatan pengiring-pengiringnya yang terdiri atas 16
Pasek seperti disebutkan di atas, melakukan lima fungsi dalam mengemban
petirtan di Bulakan, yaitu ;
1. Beliau berfungsi
sebagai Siwa, tatkala “nuhur” (ngarga) Tirta di Bulakan
2. Beliau disebut
ngurah penyarikan, tatkala muput Yadnya
3. Beliau disebut
Bhagawan Gama, tatkala nyapa banten pengelukat bumi
4. Beliau disebut
Balian Guru Sakti, tatkala muput upacara
5. Beliau disebut
Bendesa Dalem Tamblingan, tatkala nabdab kerama.
Demikian fungsi Ngurah Manca Warna di
Pura Bulakan yang terletak di Pewidangan Sanantala Labuh Gobleg dengan
pengiring-pengiring beliau pada saat itu, sudah barang tentu berdasarkan
“bisama-bisama” dari Ida Dalem Maojog Mambek. Pengiring-pengiring beliau yang
dengan tekun membantu 5 fungsi beliau dikukuhkan sebagai pengabih beliau dengan
sebutan PARAYOGYA. Parayogya-parayogya itu meliputi:
1. Ngurah Pangenter
9
|
3. Ngurah Mangku Agung
4. Ngurah Kubayan
5. Ngurah Pangengeng
6. Balian Tiga Sakti
7. Balian Sanding
8. Balian Sasa
9. Balian Susul
10. Pernas
Sudah tentu sebutan-seutan di atas
adalah pengabih beliau yang telah mendapat penugrahan Ngurah Manca Warna, dan
telah mediksa sesuai dengan ketentuan pada saat itu. Seluruh
pengiring-pengiring beliau dengan tekun mengikuti petunjuk-petunjuk upacara dan
upakara yadnya sehingga terciptalah kesejahteraan sekala maupun niskala di
Pewidangan Sanantala Labuh.
Dengan kepercayaan, kesejahteraan
lahir dan batin serta kedamaian yang didapat oleh pengiring-pengiring beliau,
maka seluruh pengiring itu mateges Pasek Gobleg Ma Dalem Tamblingan, yang untuk
selanjutnya seluruh perti sentananya menjadi Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem
Tamblingan Gobleg.
2.1.3 Terjadi Pertempuran di Puri Sanantala Labuh
Pernikahan Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Bumi dengan Putri Solo Purwakaning Dadi, dikaruniai seorang putri dan dua orang putra. Putra yang pertama adalah Ngurah Gede Pasek Wira Baga, yang kedua bernama Ngurah Made Pasek Gobleg Wira Guna, dan yang perempuan bernama Ngurah Nyoman Ayu Pasek Putri Dewi yang selanjutnya menikah ke Batur Sari. Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Baga selanjutnya menikah dengan Putri Dasar Buana keturunan Gunung Agung, Bali Age menurunkan ;
1. Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Sena
2. Ngurah Made Pasek
Gobleg Wira Sada
3. Ngurah Nyoman Pasek
Gobleg Wira Bama
4. Ngurah Ketut Pasek
Gobleg Wira Sura
10
|
6. Ngurah Ketut Pasek
Gobleg Putri Ayu Sekar
7. Ngurah Ketut Pasek
Gobleg Putri Parwati
Sedangkan
Pernikahan Ngurah Made Pasek Wira Guna dengan Putri Dasar Buana menurunkan ;
1. Ngurah Gede Pasek
Gobleg Wira Sakti
2. Ngurah Made Pasek
Gobleg Wira Jaya
3. Ngurah Nyoman Pasek
Gobleg Wira Dana
4. Ngurah Ketut Ayu
Pasek Putri Laksmi
5. Ngurah Ketut Pasek
Gobleg Putri Ayu Padmi
Ngurah
Gede Pasek Gobleg Wira Sakti menikah dengan Dewi Sri Adnyawati keturunan Dewi
Danuh di Gunung Batur menurunkan seorang putra bernama Ngurah Gede Pasek Gobleg
Wira Anom. yang selanjutnya bergelar MANGKU GEDE pada tahun çaka 944.
Ngurah
Gede Pasek Gobeg Wira Anom ( Mangku Gede ) menikah dengan putri dari Pedawa
menurunkan ;
1. Ngurah Gede Pasek
gobleg Wira Bogol
2. Ngurah Made Pasek
Gobleg Wira Damba
3. Ngurah Ketut Ayu
Pasek Gobleg Sri Selikanti yang menikah dengan Ngurah Gede Pasek Batu Lepang di
Gelgel.
Ngurah
Gede Pasek Gobleg Wira Bogol menikah dengan Luh Pasek Tirta Sari keturunan
Pasek Ulung di Les, menurunkan ;
1. Ngurah Gede Pasek
Gobleg Wira Prodong
2. Ngurah Made Pasek
Gobleg Wira Ulata
3. Ngurah Nyoman Pasek
Gobleg Wira Wimba
4. Ngurah Luh Pasek
Amerta Sanjiwani
Ida
Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Prodong beserta saudara-saudara beliau yang
mengemban Petirtan Bulakan dengan Prasasti Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem
Tamblingan. Pada saat inilah terjadi kesepakatan di kerajaan Majapahit untuk
pengutus pemuka-pemuka kerajaan ke semua Dalem yang ada dalam rangka menata
ketentraman kerajaan-kerajaan di Nusantara.
11
|
Berdasarkan
ketentuan di atas, lalu Dane Ngurah Pasek Gobleg Wira Prodong beserta
saudara-saudaranya serta Prayogya dan pemuka-pemuka di Puri Sanantala Labuh
mengadakan pesamuan Agung. Hasil pesamuan Agung tersebut menyatakan tidak
setuju apabila Ngurah Pasek Gobleg keturunan Dalem Tamblingan yang ngemong
Petirtan Bulakan Gobleg diganti oleh Satrya Dalem dari Majapahit.
Beliau
bertiga dengan pengiring-pengiringnya sepakat tidak setuju dengan permintaan
Satrya Dalem dari Majapahit dalam pergantian itu, lalu mengadakan melakukan
perlawanan sengit sehingga terjadi pertumpahan darah di Pemulungan Agung
Gobleg. Sejak terjadinya pertumpahan darah inilah Puri Sanantala Labuh diduduki
oleh Satrya Dalem Majapahit dibantu oleh Pasek Pegatepan dari Klungkung pada
tahun çaka 1425.
Demikian
kuatnya pengaruh Satrya Dalem Majapahit yang dibantu oleh Pasek Pegatepan dari
Klungkung saat itu terjadilah tekanan-tekanan yang menyebabkan kesahnya Perti
Sentanan Dalem Tamblingan ke berbagai daerah di Bali. Walaupun demikian, berkat
bisama-bisama yang telah ditanamkan oleh Ngurah Pajenengan Manca Warna tentang
Pesiwaan dan pelaksanaan Panca Yadnya tetap dapat dipertahankan. Puri Sanantala
Labuh agar tetap eksis menata Pesiwaan dengan bisama-bisama di atas dipindahkan
dari Jembong ke tempat kedudukan yang sekarang, dengan tanggung jawab pesiwaan
diemban oleh Ngurah Nyoman Pasek Gobleg Wira Wimba.
12
|
2.1.4 Pakeling Pelinggih Pemeluk Siwa Muka Bulakan
Dalem Tamblingan Gobleg
Selama Ida Dalem Tamblingan berstana
di Alas Amerta Jati untuk Srada dan Bhakti beliau ke hadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, telah tercipta cukup banyak Pura berdasarkan fungsi dan
tujuannya.Pura berdasarkan fungsinya adalah sebagai tempat suci untuk memuja
Sanghyang Widhi dengan segala manifestasinya. Pura berdasarkan tujuannya adalah
sebagai sarana yang dapat meningkatkan pengertian dan kesadaran akan
ketaqwaannya kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Pura-pura yang mempunyai kaitan
kehidupan Ida Dalem Tamblingan dengan perti sentana Ida serta 16 pasek
pengiring beliau yang terletak di kawasan Tamblingan disebut Pura-Pura Luhuring
Capah. Pura-pura itu meliputi :
1. Pura Pucak Bukit Lesung (Gamuring Anglayang)
2. Pura Goa Naga Loka
3. Pura Enek (Kentel Gumi)
4. Pura Dalem Tamblingan
5. Pura Pesamuan Agung
6. Pura Tirta Mang-Ning
7. Pura Ulun Danu Tamblingan
8. Pura Guna Anyar
9. Pura Tajun
10. Pura Duwur Sari
11. Pura Embang
12. Pura Sang Hyang Kawuh
13. Pura Tukang Timbang
14. Pura Telaga Aya
15. Pura Pakemitan Kangin
16. Pura Pakemitan Kawuh
13
|
terciptalah Pura-pura
yang dikenal dengan Pura Madyaning Capah. Pura-pura itu adalah:
1. Pura Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg
2. Pura Batu Madeg
3. Pura Batur (Karang Kedas)
4. Pura Pemulungan Agung
5. Pura Tanggu Langit
6. Pura Batu Mancer
7. Pura Subak Kopi
8. Pura Pajenengan
9. Pura Ularan
10. Pura Blambangan
11. Pura Taman
Untuk fungsi dan tujuan pemujaan di
laut diciptakan Pura yang disebut Pura Soring Capah yang berlokasi di Labuhan
Aji. Setelah mengalami penataan-penataan, baik oleh beliau Dalem beserta
pengiring-pengiring dan penataan-penataan eksternal dari raja-raja yang
memerintah Bali pada waktu itu seperti yang disebutkan pada prasasti yang
didapat di Pura Enek, pakeling Pelinggih Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem
Tamblingan telah disepakati sesuai dengan nama Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem
Tamblingan, kesepakatan serta arti katanya adalah sebagai berikut ;
1. Pemeluk Siwa artinya “Mesiwa Widhi”
Muka
Bulakan artinya “memucukang Tirta Bulakan untuk muput saluiring saraja karya”
yaitu Tirta Pradana Urip dan Tirta Pradana Pati untuk muput Panca Yadnya atas
panugrahan Ngurah Manca Warna.
2. Dalem Tamblingan Gobleg artinya
pakeling pelinggih yang wajib disungsung oleh preti sentana Dalem Tamblingan
Gobleg.
Pelinggih-pelinggih itu meliputi ;
14
|
3. Pelinggih Wira
Bumi ( Ngurah Pajenengan Manca Warna / Ngurah Gede Pasek Gobleg Wira Bumi )
meteges PANCER GOBLEG, meprelingga meru metumpang pitu ( 7 ).
4. Pelinggih Kemulan Sakti, meteges penyungsungan para
leluhur miwah seketurunannya, meprelingga pelinggih tiang dapdap 4 buah beratap
ijuk ( duk jaka ).
Pelinggih-pelinggih inilah yang
wajib menjadi sungsungan seluruh keturunan Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem
Tamblingan Gobleg dalam fungsi serta tujuan pura seperti disebutkan di atas,
lebih-lebih dalam pelaksanaan panca yadnya, dengan tidak menutup kemungkinan
untuk metirta yatra ke Pura-pura lain di Luhuring Capah, Madyaning Capah, dan
Soring Capah.
2.2 Sejarah
Terbentuknya Sanggah Dadia
2.2.1 Sanggah Embang
foto pada saat ngenteg linggih
15
|
2.2.2 Sanggah
Jajaran
Foto pada saat
odalan.
Keluarga
saya, juga memiliki sanggah Jajaran, yang terdiri dari beberapa sanggah dimana
sanggah itu merupakan sanggah penyawangan. Pengelingsir saya juga tidak bisa
memastikan kapan pembuatan pertamannya. Namun menurut informasi (tutur-turtur)
sanggah Embang itu lebih dulu di buat di bandingkan dengan sanggah jajarannya.
16
|
2.2.3 Sanggah
Dadia
Setelah
ada pura Embang, Sanggah Jajaran Baru dibuat sanggah Dadia, pembuatannya pada
tahun 1968. Setelah pembangunan sanggah dadia ini baru mencari kawitan. Dalam
sanggah dadia kelurga saya terdapat beberpa bangunan mulai dari timur surya,
rong telu, meru, dalem tamblingan, ulun danu, embang, taksu, gedong, piasan. Di jaba tengah paibaon. Di
depan pintu dari jroan terdapat taksu apit lawang dikiri dan kanan. Sera
terdapat pula jro gede.
2.3 Nama-nama dan banten yang terdapat dalam sanggah
Dadia saya
2.3.1 Sanggah Surya
17
|
2.3.2 Rong Tiga
18
|
Pelinggih
Rong Tiga biasanya disebut pelinggih
kamulan. Sanggah adalah tempat pemujaan, sedangkan Kemulan adalah berasal dari
kata sansekerta yang mula berarti akar, dasar, perfmulaan. Dengan demikian Rong
Telu merupakan tempt pemujaan asal yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai Tri Murti. Dan juga pemujaan kepada roh
suci leluhur. Dalam sanggah rong telu,
sudah adanya kristalisasi semua sekte-sekte kedalam Tri Murti yaitu sekte brahma, waisnawa
dan siva. Dan ada beberapa fungsindari rong telu
dianntaranya:
1.
Merupakan sthana Ida Sang Hyang Widdhi
Wassa dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Atm yaitu: Atma, Ciwa atma, dan
Paramatma yang merupakan asal adanya kehidupan di dunia ini.
2.
Sebagai sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
3.
Sebagai tempat menstanakan roh suci
leluhur yang dianggap telah mnunggal dengan sumbernya, yang selalu dipuja oleh
keturunannya guna memohon perlindungan, bimbingan dan waranugraha.
4.
Sebagai tempat peemujaan leluhur dalam
rumah taanggan khususnya keluarga diBali.
5.
Sebagai pengulun karang yaitu menempati
posisi hulu (utama mandala) dalam konsep Tri Hita Karana.(Sanjaya, 2010:
106-107)
Dalam
sanggah rong telu, sudah terdapat kristalisasi
semua sekte-sekte kedalam Tri Murti. Yang
diterapkan oleh Mpu Kuturan, maka rong telu Merupakan Pemujaan kepada roh
leluhur dan kepada Tri Murti, merupakan
penyatuan kedalam sekte Siva Siddhnata.
Banten
yang digunkan pada saat odalan yaitu: di masing-masing rong nya di haturkan
banten Canang Daksina Baas Pipis Canang Meraka, Canang Sari Burat Wangi. Tidak
menggunakan mantra hanya mesesontengan saja.
Mantra
yang umum digunakan pada pelinggih Rong Telu dalam (Anom, 2009: 17) menyebutkan:
a. Dikiri : ong
ung wisnu antaratma wagniyan sadnyanem
b.
Ditengah : ong mang iswaratma siwa monaya nama swaha
c.
Dikanan :
on gang brahmanatma paibon
19
|
2.3.3 Meru Tumpang Tiga
Urutan
penglinggih pada sanggah dadia keluarga saya yang ketiga yaitu meru. Meru
adalah bangunan yang menyerupai gunung yang bentuk bertumpang atau bertingkat.
Meru merupakan simbol dari gunung yang merupakan tempat bersemayamnya Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, para dewa, roh-roh suci leluhur. semakin tinggi tempatnya
semakin mulia yang dipujanya. Meru yang memiliki atap bertingkat merupakan simbol
Asta Dikpala yaitu delapan dewa
penguasa penjuru mata angin ditmbah tiga dewa mnguasai alam bawah, alam tengah,
dan alam atas. Terdapat 11 Dewa utama yang disimbolkan kedalam aksra suci
yaitu: Sa, Ba, Ta, , I, Na, Ma, Si, Wa,
Ya. Dan kesepuluh aksara suci ini menghasilkan aksara suci OM. Di merajan
atau sanggah dadia keluarga saya meru tumpang tig, yang merupakan simbol Tri Purusa yaitu: Ciwa, Sad Ciwa, Parama Ciwa. (Sanjaya, 2010:105-106). Banten yang dihaturkan sama dengan
banten yang di haturkan dirong tiga. Dan hanya menggunakan sesontengan. Dalam
pelinggih meru terdapat kritalisasi sekte-sekte kedalam sekte siva siddhanta,
tumpang satu elambangkan Tuhan yang tunggal
tumpang dua melambangkan Purusa dan Pradhana, dan tumpang tiga
melambangkan Tri Purusha dan Tri Murti.
Dalam pelinggih dadia saya meru tumpang tiga, yaitu krstalisasi
sekte Brahma, Waisnawa, dan Siva. Yang
menyatu kedaalm sekte Siva Siddhanta.
20
|
2.3.4 Dalem Tamblingan
21
|
Yadnya, dari dahulu
turun temurun, namun Dalem Tamblingan tidak digunakan sebagai Kawitan.
2.3.5 Ulun Danu
22
|
2.3.6 Sanggah Embang
Sanggah
merupakan Sangah penyawangan dari sanggah Embang yang di Danau Tamblingan.
Sanggah ini hanya mengunakan carang dadap, karena Pura Embang di Danau Tambling
tidak menggunakan sanggah hanya batu saja. Adapun banten yang dihaturkan sama
seperti banten Canang Daksina Baas Pipis, Canang meraka, Canang Sari. Yang
merupakan dasar atau Ulen dari banten msyarakat Desa Pedawa. Serta hanya menggunaan sesontengan. dan tidak menggunakan mantra hanya
sesontengan.
2.3.7 Taksu
23
|
Adapun
mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam taksu (Anom, 2009: 17)
menyebutkan: Ong ang adikala byo namah swaha
2.3.8 Gedong penyompenan
24
|
Adapun
mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam Catu Mujung, Catu meres dan Gedong
Sari (Anom, 2009: 17) menyebutkan:
Ong ong pradana purusa sanyo gaya windu
dewaya byoktra jagatnataya, dewa dewaya dini, sanyo gaya prasiwa ya namah.
2.3.9
Piyasan
Piasan
merupakan bangunan yang berbentuk bale-bale beratap. Paisan berasal dari kata
pahysan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan persembahyangan berupa sesaji
kepada para dewa ataupun leluhur. Dan piasan juga sebagai tempat menghiasi
Pralingga Ida Bhatara yang akan disucikan (masucian). (Sanjaya, 2010:108). Dan
dapat pula di artikansebagai tempat pertemuan Ida Bhatara-Bhatari yang
berlangsung pada setiap ada upacara di Sanggah Pamerajan, dibuat lagi bangunan
balai-balai yang disebut Balai Piyasan (balai untuk Bhatara-Bhatari berhias).
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=538&Itemid=26&limit=1&limitstart=1.
Piasan
pada sanggah keluarga saya hamir sama fungsinya dengan fungsi piasan secara
umum, di keluarga saya piyasan difungsikan sebagai tempat menghaturkan sesajen
kepada Ida Bhatara. Banten pada saat odalan yang di haturkan yaitu: Canang Daksina Baas Pipis, Canang meraka,
Canang Sari. Yang merupakan dasar atau Ulen dari banten msyarakat Desa
Pedawa. Serta hanya menggunaan
sesontengan.
25
|
2.3.10 Bale Banten
Bale
ini terletak di jeroan, bale yang memanjang yang biasanya pada saat odalan
dipergunakan sebagai tempat banten. Adapun banten-banten yang digunakan pada
saat odalan yaitu: Canang Daksina Baas Pipis Canang Meraka, Pengulapan
Pengambyan, Pengelukuan, Pangkonan Banten Taksu, Daupan Taksu, Anis-anisan,
Suci Agung, Penyangra, Pengeresik, Pemanisan, Penerus, Ajengan, Ajuman,
Pengulapan matah, Banyuawang, Byakaonan dan Caru atuunan (jumblahnya 9 tanding
yaitu: tog-tog, pelupuan putih kuning, powonga, tulak, manca warna, bulan, surya, macan, naga).
2.3.11 Taksu Pangait Lawang
26
|
Adapun
mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam taksu (Anom, 2009: 17)
menyebutkan: Ong ang adikala byo namah swaha.
2.3.12 Sanggah Paibon
27
|
2.3.13 Jro Gede
Jro
Gede pada sanggah saya terletak disamping taksu pengapit lawang. Jro Gede
merupakan kristalisasi sekte Ganapatya, yang disebut sebagai dewa Ganesha yang
merupakan tempat bersthananya dewa Gana, dinama sekte dari Ganapatya berfungsi
sebagai penjaga dan pelindung (Gunawan. 2012 : 19). Dan dapat pula dikatakan
sebagai stanan dari catur sanak, yang merupakan keamanan secara niskala. Banten yang biasanya dihaturkan yaitu Tipat
Gong. Tidak menggunakan mantram.
Adapun
mantra yang umum sebenarnya digunakan dalam Ang Rurah atau Jro Gede (Anom,
2009: 17) menyebutkan:
ah eh uh ih yyah, anta preta bhuta
kala dengen byo namah swaha
2.4
Ukuran
Asta kosala-kosali
dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan
tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar,
tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah
aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar
pelinggih.
2.4.1 Sukat
Sukat atau
sikut biasanya menggunakan tangan dan kaki, ada yang ukurannya adepa agung, ada
adepa alit, ada agemel, ada yang sejengkal dan yang lainnya. dan ada yang
disebut sesa.
28
|
2.4.2 Ukuran/Sikut prahyangan sanggah atau merajan
14 depa alit x 13 depa alit = Madia - sesa
22 depa agung x 21 depa agung =
Madia - sesa
11 depa agung x 10 depa agung = Madia - sesa
19 depa alit x 18 depa alit = Madia - sesa
27 depa alit x 26 depa alit = Madia - sesa
26 depa agung x 25 depa agung = Madia - sesa
6 depa agung x 25 depa agung = Madia - sesa
8 depa alit x 7 depa alit = Madia -
sesa
10 depa agung / alit x 9 depa agung/
alit = Madia - sesa
14 depa agung / alit x 13 depa
agung/ alit = Madia - sesa
11 depa agung / alit x 10 depa agung
/ alit = Madia - sesa
15 depa agung / alit x 16 depa agung
/ alit = Madia - sesa
Dalam mengukur penyengker mulai dari
seletan timur utara dan barat agar uripnya sahasta musti. Dan itambah sesa.
2.4.3 Ukuran/Sikut/ sukat pekarangan Kahyangan
22 x 21
depa agung =
utama
11 x 10
depa agung =
madya
27 x 26 depa alit =
utama
19 x 18
depa alit =
madya
15 x 18
depa alit =
madya
14 x 13
depa alit =
madya
10 x 9 depa
alit =
utama
8 x 7 depa
alit =
madya
6 x 5 depa alit =
madya
6 x 4 depa
alit =
sikut dari pemangku sanggah
4 x 2 depa
alit =
sikut dari pemangku sanggah
2.4.4 Ukuran/Sikut pelemahan Paibon, panti
10
depa x 9 depa alit- nista = utama
29
|
33 depa
alit x 22 depa alit =
madya
22 depa
agung x 21 depa agung = madya
25 depa
agung x 23 depa agung = madya
26 depa
alit x 25 depa alit =
madya
18 depa
agung x 17 depa agung = madya
42 depa
agung x 41 depa agung = utama
Sesudah
selesai menyikut ukuran hlaaman setiap pojok di isi patok / turus kemudia
setelah itu di haturkan banten pemali, yaitu : banten nasi kojong barak, diisi lidi, pucuk dadap, bunga pucuk merah,
bawang jae. Dan banten nyikut : peras daksina, prayascita, canang pakeling ke
surya, banten pemali, segean manca warna.
2.4.5 Ukuran/Sikut tempat kori dan pelinggih
Menyikut
kori agung dari selatan timur (kaja kangin)
ke utara, kalau kori menghadap ke timur, selanjutnya dari timur ke barat
menyikut kalau kori menghadap ke utara, selanjutnya dari utara ke seletan
mengukur jika kori menghadap ke barat. Dan dari barat ke timur jika kori menghadap ke
selatan. Mengukur dari luar batas tembok. Dan panjang batas pengaruh arah Sembilan dan bilangan (panjang batese pinarah
sanga, lan wilangan):
a.
Kori
menghadap ke timur, dari utara mengukur
1.
Akasih
perih = Madya
2.
Kina
bakten = Ayu
3.
Werd
guna = Ayu
4.
Dana
teka = Ayu
5.
Brahma
stana = Ala
6.
Dana
werdi = Ayu
7.
Nohan
= Ayu
8.
Stri
jahat = Ala
9.
Nista
= Ala
b.
Kori
menghadap ke seletan, dari timur mengukur
1.
30
|
2.
Tan
panak = Ala
3.
Suka
mageng = Ayu
4.
Udan
mas = Ayu
5.
Brahma
stana = Ala
6.
Dana
wredi = Ayu
7.
Sugi
baya = Ala
8.
Tekaa
werdi = Ayu
9.
Kesakitan = Ala
c. Kori
mengdap ke barat, dari timur mengukur
1. Baya agung = Ala
2.
Kweh
musuh = Ala
3.
Werdi
mas = Ayu
4.
Werdi
guna = Ayu
5.
Dana
wan = Ala
6.
Brahma
stana = Ayu
7.
Kinabakten
= Ala
8.
Kapiutangan
=
Ayu
9.
Karongan
/ kepaten = ala
d.
Kori
menghadap ke utara, dari barat mngukur
1.
Karongan
/ kepaten = Ala
2.
Tanpa
anak = Ala
3.
Ywa
waharan (wyayakler) = Ala
4.
Nohan = Ala
5.
Doyan
pangan = Ala
6.
Brahma
stana = Ala
7.
Suka
mageng = Ayu
8. Bagiasih / kasih = Ala
2.4.6 Ukuran/Sikut Tempat Pelinggih
31
|
Perhitungan Astawara diantaranya:
1. Sri =
Untuk tempat jineng, elinggih, sri
sedana pelinggih manik galih
2. Indra = Untuk tempat pelik
sari, atau puseh, dalem, padmasana.
3. Guru =
Untuk tempat pelingghi yang utama,
sperti sanggah kemulan,
pelinggih gunung agung, pelinggih desa, puseh, dalem,
padmasana.
4. Yama = Untuk pelinggih / Ratu Ngurah sakti, dan
yang sejajar berupa
patih
di pelinggih.
5. Ludra = Untuk pelinggih api
lawang, ameng-ameng di jaba
6. Brahma = Untuk pelinggih/
bangunan dapur
7. Kala =
Untuk pelinggih taksu
8. Uma =
Untuk gedong simpen, piyasan, bale
gong, bale pasandekan.
(Anom. 2009: 7-12)
32
|
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari materi
pembahasan diatas tentang merajan, dapat
saya simpulakan, bahwa sejarah perjalanan kawitan saya berawal dari Dalem Solo,
ke Dalem Puri, Dalem Tamblingan, ke
Gobleg kemudian ke Pedawa. Saya memakai
kawitan dadia saya Pasek Tamblingan karena banyak hal yang saya temukan, yang
saya jadikan bahan pertimbangan. Pelinggih-pelinggi yang di sung-sung merupakan
pelinggih yang terdapat di Danau Tamblingan, dan sudaah dari jaman dulu
kuluarga saya menyungsung Dalem Tamblingan, serta kesamaan tradisi dengan
penduduk gobleg yang menyungsung Tamblingan yaitu anak gadisnya yang menikah
harus dibasebokor. Serta perjalan
kesahnya keturunan Tamblingan tidak ada keterkaitan dengan Pasek Gel-gel
Pegatepan yang di akui keluarga saya baru-baru ini. Jadi dalam tugas ini saya
menemukan kekeliruan selama ini menyungsung kawitan dan kawitan yang sebenarnya
tidak diakui sebagai kawitan. Berdasarkan data-data yang saya dapat dan sesuai
dengan tradisi serta pelinggih-pelinggih yang ada, bahwa sebenarnya dadia saya
kawitannya Pasek Tamblingan bukan Pasek Gelgel Pegatepan.
Berdirinnya pelinggih dari sanggah Embang yang ada di
Pura Desa, Sanggah Jajaran, baru Sanggah Dadia. Nama pelinggihnya Surya, Rong
Telu, Meru, Dalem Tamblingan, Ulun Danu, Embang, Taksu, Gedong Penyimpenan,
Piasan, Paibon, Taksu Apit Lawang dan Jro Gede. Di dalam pelinggih dan banten
yang di gunakan sudah ada kristalisasi sekte-sekte kedalam sekte Siva Siddhanta.
3.2 Saraan
Makalah tentang sanggah pelinggih dalam sanggah
merajan atau dadia yang saya lakukan, perlu dilakukan penelitian ulang dan
belum sempurna. Maka dari itu saya mengharapkan kritik saran dari pembaca demi
penyempurnaan tugas ini. Semoga maalah
ini ada manfaatnya agi para pembaca.
33
|
DAFTAR
PUSTAKA
Anom,
Ida Bagus. 2009. Ngewangun Parahyangan Lan Paumahan. Denpasar: Widya Dharma.
Anom,
Ida Bagus. 2009. Tentang Membangun Merajan. Denpasar : Cv Kayu Mas
Agung
Ardana,
I Gusti Gede. 2000. Pura Kahyangan Tiga.
Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana Dan Prasarana Beragama
Gunawan,
Pasek I Ketut. 2012. Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Denpasar : IHDN
Sanjaya,
Putu. 2010. Acara Agama Hindu. Surabaya: Paramitha.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=538&Itemid=26&limit=1&limitstart=1.
|
Tolong jelaskan siapa dan darimana i bagejo dan i daulat,yang diatas disebutkan menurunkan 16 parekan pengiring ide dalem tamblingan???
BalasHapus