TUGAS YOGA
II
ESENSI AJARAN YOGA DALAM TATTWA JNANA
IHDN
DENPASAR
Dosen
Pengampu : I Ketut Sumardana,S.Pd.H, M.Pd.H
NAMA KELOMPOK: PAH B SEMESTER 5
1.
Ni Made
Suliartini (10.1.1.1.1.3864)
2.
Putu
Rika Perdiani (10.1.1.1.1.3869)
3.
Komang
Trisna Sukratini (10.1.1.1.1.3884)
4.
Putu
Ngurah Restiada (10.1.1.1.1.3892)
5.
Gede
Suliartawan (10.1.1.1.1.3889)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
ESENSI AJARAN YOGA DALAM TATTWA JNANA
I Pendahualuan
1.1 Latar Belakang
Secara etimologi yoga berasal dari urat kata yuj, yang artinya berhubungan. Kata
berarti hubungan atau berhubungan, yang dimaksud adalah bertemunnya roh individu (Atma/Purusa) dengan roh universal yang
tidak berperibadi (Mahapurusa/
Paramatman). Sedangkan menurut Rsi Patanjali dalam Yogasutra I : 2
mendefinisikan yoga sebagai “yogas citta
vrrti nirodhah” yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: Mengendalikan
gerak gerik pikiran, atau mengendalikan tingkah polah pikiran yang cenderung
liar, bias, lekat terpesona terhadap objek (yang dikhyalkannya) memberi nikmat
(Yasa dkk, 2006 : 6). Di sisi lain, menurut Pidarta (2000 : 136-137), kata yoga dapat juga diartikan
menghubungkan diri dengan
Tuhan melalui pikiran. Adapun caranya
adalah dengan memusatkan pikiran hanya
kepada Tuhan. Yoga bukanlah suatu jalan keahlian tertentu, melainkan suatu pengakuan dan
pengabdian. Yoga adalah suatu dorongan batin untuk pengembangan diri. Pada tiap
langkah yoga merupakan proses penilaian diri (Saraswati, 2004 : 5). Dalam perspektif lain, yoga adalah cara untuk mulat
sarira (merefleksikan/instrospeksi diri yang menyebabkan orang tahu diri, sehingga menjadi suci lahir bhatin.
Suci berarti sahrdaya, yakni sehati
dalam Tuhan Yang Maha Suci. Yoga merupakan bagian dari ajaran agama
Hindu yang didalamnya terdapat ajaran
etika dan moralitas yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan ini.
Etika
dan moralitas yang terdapat pada yoga merupakan bagian dari Astangga Yoga, yaitu bagian dari yama dan nyama yang dijadikan etika.
Astangga Yoga
merupakan
delapan tahapan disiplin atau
pengendalian diri. Jadi seseorang yang ingin melakukan sebuah hubungan dengan
Tuhan dalam konteks yoga hendaknya menerapkan ajaran Astangga Yoga
mulai dari tingkatan yang paling awal sampai pada tingkat Samadhi
yang
merupakan puncak dari Astangga
Yoga.
Seseorang
tidak akan mampu mencapai Samadhi apabila tidak
mengendalikan indrya-indrya, karena dalam Astangga
Yoga yang sangat penting dilakukan
adalah pengendalian diri serta menjalankan pantangan-pantangan.
Dalam
Tattwa Jnana dijelaskan bahwa Guna sangat berpengaruh terhadap sifat
seseorang, satu sama lain berbeda tergantung pada kadar Guna yang
ada pada diri seseorang. Bila Sattwa dominan
pada Citta akan menimbulkan
sifat-sifat yang baik, bila Rajah dominan pada Citta akan menimbulkan sifat-sifat yang kurang baik. Namun bila Rajah dan bertemu dengan Sattwa
akan menyebabkan mencapai sorga. Bila Sattwa,
Rajah dan Tamah sama-sama dominan
menyebabkan terlahir menjadi manusia.
Jadi
seseorang harus mampu mengendalikan sifat Tri
Guna yang ada pada diri dengan menerapakan atau dengan mempelajari ajaran Astangga Yoga.
Apa bila seseorang sudah mampu melaksanakan ajaran Astangga Yoga
dengan baik hingga sampai pada tingkat Samadhi maka orang itu
sudah tentu dapat mengendalikan Tri Guna
yang ada pada dirinya. Ajaran Astangga
Yoga
menurut Rsi Patanjali terdapat 8 tahapan yang disebut Astangga Yoga,
namun didalam Tattwa Jnana hanya
terdapat 6 tahapan yang
disebut Prayogasandhi atau Sadangga Yoga.
Dari
perbedaan tahapan atau ajaran tentang yoga yang berkaitan dengan disiplin dan pengendalian
indrya-indrya, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam lagi esensi ajaran yoga menurut kitab Tattwa Jnana dan mengkaitkannya dengan ajaran yoga Rsi
Patanjali dalam Yoga sutra. Melalui
artikel ini penulis berharap dapat menambah wawasan pembaca tentang yoga
sehingga tidak muncul kebingungan, dan mampu memilih ajaran yoga yang tepat.
II Pembahasan
2.1 Yoga Sutra
Ajaran yoga merupakan
anugerah yang sangat luar biasa besarnya dari Rsi Patanjali kepada siapa saja
yang melaksanakan hidup spiritual
kerohanian. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang
ingin menegetahui kenyataan roh sebagai asas yang bebas, bebasa dari tubuh, indrya, dan
pikiran yang terbatas. Rsi Patanjali menulis ajaran-ajaran yoga ini ke dalam “sutra-sutra”.Beliaulah
pendiri sistem
ajaran yoga ini.
Sutra secara etimologis berarti “benang” dan dalam
konteks ini ia berarti pernyataan-pernyataan pendek yang memmbantu untuk
mengingatkan (Maswinara, 1999 : 10). Sutra-sutra itu
sangat singkat sehingga maknanya menjadi sangat tidak jelas sehingga dibutuhkan
suatu penjelasan yang terperinci serta penafsiran yang jelas melalui
ulasan-ulasan. Ulasan masing-masing sutra disebut dengan Bhasya.
Kitab Sutra Rsi Patanjali terdiri dari 4 (empat) bab dan
mengandung 194 Sutra. Bagian pertama
mengajarkan tentang teori yoga yang terdiri dari 51 Sutra, isinya adalah tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga.
Selain itu juga menerangkan perubahan-perubahan pikiran dan cara pelaksanaan ajaran
yoga.
Bagian kedua berisikan
tentang praktik yoga, pada bagian keduanya ini terdiri dari 55 Sutra, isinya tentang tata cara
pelaksanaan yoga seperti bagaimana cara mencapai Samadhi, tentang kedukaan, tentang karma phala dan yang lainnya.
Bagian ketiga terdiri dari 54
Sutra. Pada bagian ketiga ini
diajarkan tentang cara mencapai tujuan yoga , juga mengajarkan segi bathiniah
ajaran yoga dan juga tentang kekuatan gaib yang didapat karena melaksanakan
praktik yoga. Kekuatan ini disebut dengan siddhi.
Sedangkan bagian terkhir,
yakni bagian ke empat menjelasakn tentang kelepasan (moksa), melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan roh yang
mengatasi alam duniawi. Bagian
keempat ini terdiri dari 34 Sutra.
2.2 Astangga
Yoga
dalam Yoga Sutra
Yoga Sutra
didirikan oleh maharsi Patanjali, yang merupakan tambahan atau cabang dari
filsafat Samkhya, yoga dikatakan
bersifat ortodoks dari
filsafat Samkhya, karena yoga secara
langsung mengakui keberadaan Iswara, sehingga sisitem filsafat
Patanjali merupakan Saiswara.
Yoga Sutra dari
Maharsi Patanjali muncul sebagai acuan yang tertua dari aliran filsafat yoga,
yang memiliki 4 bab; pada bab 1 Samadhi
Pada, yaitu menjelaskan tentang sifat dan tujuan melaksanakan Samadhi. Bab 2 Sadhana Pada memeuat tentang cara pencapaian itu. Bab 3 Vibukti Pada memberikan uraian tentang daya-daya supra
alami atau Siddhi Siddhi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan yoga
dan bab 4 yaitu Kaivalya pada menggambarkan tentang sifat dari pembebasan
tersebut. Yoga Maharsi dari Patanjali
dalam memiliki
tahapan laku spiritual yang sering dikenal dengan istilah Astangga Yoga. Adapun Astangga Yoga tersebut tersurat dalam Yoga
Sutra II.29 sebagai berikut:
Yama
niyamasana pranayama prathyahara
Dhrana dhyana samadhys stavanggani
(Yoga
Sutra II.29)
Terjemahan:
Yama, niyama, asana, pranayama, prathyahara, dhrana, dhyana, dan Samadhi. Ini semua disebut delapan bagian yoga. (Yasa dkk, 2006 : 24)
Maswinara (1998 : 49-51) dalam bukunya Sistem Filsafat Hindu (Sarwa Darsana Samgraha) menerjemahkan
secara sederhana sebagai berikut ; Yama (larangan),
Nyama (ketaatan), Asana (sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Prathyahara (penarikan indrya dari
obyek), Dharana (konsentrasi), Dhyana (meditasi), Samadi (keadaan supra sadar).
2.2.1 Yama
Yama adalah pengendalian diri yang harus
dilakukan oleh setiap orang dalam usaha meningkatkan kualitasa hidup yang lebih
baik. Dalam pustaka suci Yogasutra di uraikan sebagai berikut:
Ahima
satasteya
Brahmacaryaparigraha yamah
(Yogasutra
II.30)
Terjemahan:
Ahimsa tidak
membunuh, tidak melukai dan berlaku kasar pada sesama, baik melalui pikiran,
perkataan, apalagi perbuatan.Satya bersikap
dan berprilaku bajik, setia pada ucapan, dan jujur pada perbuatan.Asteya tidak mencrui atau menginginkan
milik orang lain. Brahmacarya
bersikap dan berperilaku terkendali, mengendaliakan hawa nafsu. Aparigraha hidup sederhana dan tidak serakah dapat menerima kenyataan hidup
apa adanya (Yasa dkk, 2006 : 24)
Lebih lanjut Saraswati (2004 : 45-47)
sebagaimana mengutip Yoga Sutra .II.35-39 menyatakan bahwa Yama terdiri
dari lima pantangan yaitu: Ahimsa tanpa
kekerasan, Satya kebenaran pikiran, Asteya pantangan untuk menginginkan milik orang lain, Brahmacarya pantangan kenikmatan
seksual. Aparigraha pantangan
kemewahan. Kelima pantangan ini disebut mahavrata,
atau sumpah yang besar..
2.2.2 Nyama
Nyama adalah
pengendalian rohani dengan tujuan agar rohani menjadi suci dan bersih sehingga
membantu mempermudah dalam melaukan Samadhi atau pemujaan kepada Ida Shang Hyan Widhi Wasa. Didalam Yogasutra disebutkan:
Sauca
samtosa tapah
svadyayesvara pranidhani niyamah
(Yogasutra. II: 32)
Terjemahan:
Sauca
berusaha menjaga kebersihan dan kesucian diri, baik lahir maupun bhatin. Santosa menjaga
kestabilan emosi agar selalu tenang, arif, dan bijak dalam menghadapi
permasalahan hidup. Tapa berusaha untuk tahan uji,
berpegang teguh pada dharma. Swadiyaya berusaha mandiri dan tekun
mempelajari kitab suci. Iswarapranidhana selalu memusatkan pikiran
dan bhakti kepada iswara atau Tuhan
(Yasa dkk, 2006 : 25)
.
2.2.3 Asana
Kata
Asana berarti sikap duduk
(Zoeltmulder dalam Yasa dkk, 2006 : 25), yakni duduk dengan sikap sempurna :
duduk menuru sistem yoga. Maksudnya, orang akan
mampu duduk dengan benar dan baik bilamana keadaan fisiknya sehat
sempurna. Oleh karena itu para peminat yoga pertama-tama hendaknya membina
kebugaran fisiknya melalui olahraga yoga yang sering disebut yoga Asana. Dan ada berbagai macam gerak
yoga. Tetapi berbagai variasi Asana itu dalam posisi duduk, berdiri termasuk
didalamnya posisi duduk, berdiri termasuk didalmnya posisi terdiri terbalik,
dan terlentang. Orang dapat memilih beberapa variasi Asana. Jadi, disesuaikan
dengan keadaan fisik peminat yoga.
Patanjali
menganggap bahwa setiap asana sebagai
sukha-asana, (asana yang menyenangkan), yang tidak memaksa dan membantu untuk
menstabilkan badan pikiran. Tanpa keragu-raguan, tanpa paksaan, tanpa
ketegangan. Dan dalam sutra berikutnya “prayatna-saithilya”
yang berarti suatu keadaan atau kondisi yang tidak memerlukan pengerahan
kekuatan khusus, badan mengambil sikap tanpa bergerak dan dikuasai penuh.
(Saraswati, 2004 : 116)
Ajaran
Asana juga dapat menenangkan pikiran
dan dapat dijadikan media dalam menjaga kesehatan jasmani maupun rohani. Karena
dengan menjalankan latihan Asana secara
kontinyu dapat membuntu menyembuh penyakit, karena ada beberapa gerakan Asana yang dapat menyembuhkan penyakit
atau mengatasi kesehatan.
2.2.4 Pranayama
Kata
Pranayama, berarti latihan pernapasan
(Zoetmulder dalam Yasa dkk, 2006 : 26). Menurut sistem yoga, pranayama terdiri atas puraka, ‘menarik nafas’, kumbaka ‘menahan nafas’, dan recaka ‘mengeluarkan nafas’. Ada
beberapa jenis latihan nafas. Akan tetapi yang paling umum adalah bernafas
melalui hidung. Ke luar, tertahankan, dan masuknya napas diselaraskan dengan asana yang dilakukan.
Yoga
Sutra Patanjali menyampaikan empat aphorisma
(sutra) yang berkenaan dengan Pranayama
yaitu :
1)
Tasmin sati
svasa-prasvasayor-gati-vicchedah pranayamah
2)
Bahya-abhyantara-stambha
vrittir-desa-kala-samkhyabhih paridrsto dhirgasuksmah
3)
Bahya-abhyantara-visayaksepi
cathurtah
4)
Tatah ksiyate prakasavaranam
Terjemahan
harfiah dari pada Sutra tersebut
adalah:
1)
Dalam keadaan itu (yaitu sesudah mengambil
sikap yang cocok), pengendalian napas yang masuk dan keluar adalah pranayama
2)
Ini adalah tiga golongan (a) yang diluar (b) di
dalam, dan (c) yang tetap dan ketiganya berkenaan dengan jangka waktu dan
jumblah, dibuat berlangsung waktu panjang atau singkat.
3)
Ada juga golongn ke-4, yang terdiri dari
pembuangan dan penahanan napas-masuk
4)
Dengan bantuannya (pranayama) membantu tabir yang menutup cahaya ditanggalkan. (Saraswati. 2004 : 150).
2.2.5 Prathyahara
Kata Prathyahara artinya
penarikan diri (Zoetmulder dalam Yasa dkk, 1995 :
856). Dalam konteks yoga berarti
menarik indra dari objek kesukaannya. Masing-masing indra memiliki kesenangan
sendirii-sendiri, misal indra mata suka akan rupa dan warna yang indah, tetapi
benci kepada rupa dan warna yang buruk. Indra penciuman suka mencium bau harum,
tetapi benci kepada bau busuk, indra pada lidah suka merasakan makan dan minum
yang enak, tetapi benci kepada makanan dan minuman yang basi atau tidak enak.
Indra pada telinga suka mendengar irama yang indah, tetapi benci kepada irama
yang tak beraturan. Indria kulit suka merasakan sentuhan yang halus namun benci
kepada sentuhan yang kasar. Indra kemaluan suka merasakan hubungan seks yang dicintai, tetapi tidak mau
bersetubuh dengan dengan yang tidak dicintai. Demikianlah indrya-indrya itu harus dari
hal yang disenangi atau yang dibenci, lalu diarahkkan ke dalam dirinya. (Yasa dkk, 2006 : 26-27).
Pratyahara adalah pemusatan pikiran
dengan cara penarikan indra-indra dari segala obyek luar. (Maswinara, 1998 : 52).
Dalam Prathyahara
seseorang harus berusaha mengendalikan
indrya-indrya agar mampu menjalakan tahap yang berikutnya.
2.2.6 Dharana
Kata dharana bereti memegang, membawa,
menguasai, memiliki Setelah indrya ditarik dari obyeknya dan
dibawah pengawasan manah ‘pikiran’.
Selanjutnya menguasai indria-indra dan memusatkan pikiran pada obyek meditasi. (Yasa dkk, 2006 : 27). Dharana dapat pula diartikan penyatuan
pikiran kesatu arah atau sasaran yang diinginkan. Menurut Patanjali terdapat 7
metode Dharana dalam pemusatan pikiran,
yaitu:
1.
Bermeditasi, dilakukan apabila budi mengalami
goncangn.
2.
Bersikap mental yang baik terhadap orang lain.
3.
Pengucapan Yoga
Sutra Patanjali.
4.
Kemantapan Buddi,
dilakukan dengan cara melatih konsentrasi, disebutkan beberapa konsentrasi
yakni pada ujung hidung membangkitkan unsur bumi, pada ujung lidah membangkitkan
unsur air. Pada matahari atau bulan menmbulkan unsur-unsur suara. OM melahirkan unsur udara dan
menciptakan bentuk-bentuk musik.
5.
Jyotismati,
metode meditasi yang dilakukan pada cahaya
batin yang cemerlang yng berada diluar penderitaan.
6.
Konsentrasi pada orng-orang suci, dengan
memusatkan pikiran pada orang-orang suuci.
7.
Pengetahuan dalam mimpi, apa yang dialami dalam
mimpi di praktekkan dalam meditasi. (Saraswati,
2004 : 221-226).
2.2.7 Dhyana
Kata dhyana berarti meditasi, refleksi,
pemusatan pikiran. Disebut
juga kontemplasi atau renungan mendalam. Patanjali menjelaskan “Tatra pratyaikatana dhyanam”, artinya
arus pikiran yang terkonsentrasi tak putus-putusnya pada obyek renungan (Yasa dkk, 2006 : 27).
2.2.8 Samadhi
Kata Samadhi, berasal
dari urat kata sam, dan dhi, sam artinya kumpulan persamaan,
gundukan, timbunan. Sedangkan Dhi artinya
pikiran, ide-ide, budi. Secara etimologi kata samadhi artinya pemusatan atau kumpulan pikiran yang ditujukan pada
obyek tertentu. Dan Maharsi Patanjali merumuskan samdhi “Tadevartha mantra nirbhanam svarupa sunyam iva Samadhi” (Yogasutra
III.3) , Artinya “renungan mendalam itu sesungguhnya Samadhi. (Yasa dkk, 2006 : 28).
Dalam Samadhi pikiran telah lebur
menyatu dengan obyek renungan, dan tidak ada lagi kesadaran kan akan diri
sendiri. Samadhi adalah persatuan
sempurna dari yang dicintai, pencinta dan kecintaan, suatu keadaan kelupaan keadaannya dan suatu keadaan
peresapan sempurna. (Saraswati.2004:238).
2.3 Tattwa Jnana.
Tatwa
berasal
dari bahasa
sansekerta kemudian setelah diserap
menjadi kata Tattwa.
Tattwa memiliki
berbagai pengertian seperti:
kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan segala sesuatu yang
bersumber dari kebenaran. (Watra, 2007:
1). Sedangkan Jnana
berarti ilmu atau pengetahuan. Sehingga Tattwa
Jnana memiliki arti
pengetahuan tentang hakekat hidup
atau pengetahuan tentang kebenaran.
Tattwa
Jnana adalah lontar Paksa Siwa. Di dalam ajarannya banyak terdapat kemiripan
dengan lontar siwaistik lainya seperti Vrhaspati
tattwa, Ganapati Tattwa, Bhuana Kosa, Jnana Sidhanta dan Sanghyang Maha
Jnana. Dalam lontar tersebut di atas mengagungkan Siwa/Iswara sebagai realitas tertinggi. Tattwa
Jnana adalah lontar yang menggunakan bahasa Jawa
Kuna yang disusun dalam bentuk prosa bebas (gancaran).
Eksistensinya sebagai kitab Tattwa disebutkan
bahwa Tattwa Jnana adalah dasar semua
Tattwa ( Bungkahing Tattwa Kabeh).
Pemahaman Tattwa Jnana secara baik
akan memberikan pahala yang luar biasa seperti memahami betapa menderitanya
menjelma dan untuk kembali pada asal mula, sehingga lepas dari proses kelahiran
sebagai manusia. (Tim Penyusun, 2003 : 18).
Ajaran Tattwa Jnana dimulai
dengan menjelaskan 2 unsur universal
yang ada di alam raya ini. Kedua sumber ini adalah cikal bakal semesta. Dua
unsur tersebut yaitu ; Cetana
yaitu unsur kesadaran dan Acetana
yaitu unsur tidak
sadar. Cetana adalah Siwa Tattwa sedangkan Acetana adalah Maya Tattwa. Cetana ada tiga tingkatannya yaitu ; Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa dan Atmikatattwa.
Paramasiwatattwa adalah Bhatara
Siwa dalam keadaan tanpa bentuk, yang suci dan yang tidak tersentuh oleh
apapun. Beliau Sadhu Sakti atau memiliki delapan sifat kemahakuasaan beliau yang
disebut Astaiswarya. Sifat kemahakuasaan beliau ini dilambangkan dengan bunga teratai
yang berdaun delapan yang disebut dengan Padmasana.
Sadasiwatattwa adalah Bhatara
Siwa yang sudah mulai tersentuh oleh
unsur sarwajnna, sarwakaryakarta, cadu
sakti dan jnanasakti. Pada
intinya Sadasiwatattwa adalah cetana
yang memiliki tingkat kesadaran menengah (ada pengaruh maya namun masih kecil).
Atmikatattwa adalah Sadasiwatattwa
yang Utaprota dalam Acetana. Uta artinya
berada secara gaib dan prota artinya
berkeadaan bagaikan permata bening cemerlang dalam Acetana. Pada tingkatan Atmikatattwa. maka sakti,
guna, dan swambhawanya berkurang
karena dipengaruhi maya. Karena
pengaruh maya ini menyebabkan
kesadaran aslinya berkurang dan bahkan hilang dan sifatnya berubah menjadi awidya, apabila kesadaran siwatman
terpecah-pecah dan kemudian menjiwai mahluk hidup termasuk manusia maka ia
disebut atma atau jiwatman. Meskipun atma merupakan bagian dari Tuhan namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh
pengaruh Maya maka ia
tidak menyadari asalnya. Inilah yang menyebabkan atma dalam lingkaran sorga dan neraka.
2.4 Ajaran
Yoga dalam Tattwa Jnana.
Tujuan
hidup menurut Tattwa Jnana adalah
untuk bersatu kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa/Bhatara Paramasiwa. Adapun jalan yang yang harus ditempuh untuk manunggaling kawula gusti (bersatu
dengan tuhan) adalah melalui jalan Prayogasandhi.
Tahapan-tahapan
dari Prayogasandhi
yang terdiri dari Prathyahara,
Dhyana, Pranayama, Dharana, Tarka dan Samadi. Prayogasandhi akan
dapat dilaksanakan apabila dituntun oleh Samyagjnana
(pengetahuan yang benar). Samyagjnana
diperoleh melalui Bhumi Brata, Tapa, Yoga
dan Samadhi. Kesemuanya itu akan
mempertajam panah Prayogasandhi dan
mengarahkannya pada sasaran secara tepat. Tattwa Jnana sebagai ajaran untuk umat Hindu Bali memuat ajaran Yoga yang berjumlah enam tahapan spiritual sehingga lazim disebut Sadanggayoga.
2.5 Sadangga
Yoga
dalam Tattwa Jnana
2.5.1 Prathyaharayoga
Muwah
hana ta pratyahara-yoga nagaranya, ikang indrya kabeh watek sakeng wisayanya,
kinempeling citta buddhi manah, tan wieh maparan-paran kinempeling cittalila,
yeka prathyaharayoga ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Ada pratyaharayoga namanya,
semua indrya ditarik
dari obyek kenikmatannya
kumpulkan dalam citta, buddhi dan manah, jangan
dibiarkan ia pergi kesana kemari, pusatkan ia pada pikiran yang tak terganggu
apapun. Yang demikian itulah prathyaharayoga.
2.5.2 Dhyanayoga
Ikang jnana tanparorwa, tanpa wikara, enak ikang,
hnang hnngnnya, umideng tan kawaran yeka dhyanayoga ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Batin yang tidak
mendua,
tidak berubah-ubah, jernih, dengan enaknya, tanpa ditutupi
apa-apa, yang demikian itu dhyanayoga namanya.
2.5.3 Pranayamayoga
Tutup
ikang dwara kabeh, irng, tutuk, talinga, wayu, rumuhun isepen, wetwa ikang
wunwunan, kunang tanpabhyasa ikang wayu winehadalan ngkana, dadi adalan
engirung, halon wetuning wayu, yeka pranayama ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Tutuplah semua
pintu yaitu hidung, mulut, telinga, tariklah terlebih dahulu nafas, keluarkan
melalui ubun-ubun, boleh dikeluarkan melalui hidung, keluarkan nafas itu
pelan-pelan. Yang demikian pranayamayoga
namanya.
2.5.4 Dharanayoga
Hana
ongkara sabda mungguh ring hati, ya teka dharanan, ya pangilang ikang karengo,
ri kala ning yoga, ya teka sunya ngaranya, siwatmawak bhatara siwa yan mangkana.
Ya tika dharanayoga ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Ada Omkara sabda bertempat dalam hati.
Hendaknya itu pegang kuat-kuat. Itulah yang menghilangkan apa yang didengar
waktu Siwa berwujud Siwatman. Yang
demikian itulah dharanayoga namanya.
2.5.5 Tarkayoga
Ndakasa
rawa sang hyang Paramartha, ndan palenanira sakeng akasa, tan hana. Sabda ri
sira, ya ta kalinganing paramartha, palenanira sakeng awing-awang, pada
nirekang alilang, yeka terka-yoga ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Sang Hyang Paramartha/hakekat yang
tertinggi adalah konon angkasa, bedanya dengan angkasa ialah tidak ada suara
padanya. Demikianlah
hakekat paramartha itu perbedaannya
dengan awang-awang, persamaannya sama-sama jernih. Yang demikian itulh tarkayoga namanya.
2.5.6 Samadhiyoga
Ikang
jnana tan pangupeksa, tan pangalupa, tan hana kaharep nira, tan hana
sinadhyanira, malilang tan kahilangan, tan kawaranan, tan pawastu ikang cetana,
apan mari humidep ikang sarira, luput sakeng catur kalpana, yeka samdhi-yoga ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Batin yang tidak
lalai, tidak lupa, tidak mengharapkan apa-apa, tidak ada sesuatu yang ingin
dicapai, jernih tanpa ada yang hilang, tidak ditutupi apa-apa, sehingga
kesadaran itu tidak ada kesulitan, karena tidak lagi memikirkan badan jasmaninya,
bebas dari catur kalpana, itulah yang
dimaksud Samadhiyoga.
Konsep
yoga dalam Tattwa Jnana sedikit
berbeda dengan konsep yoga Patanjali dalam Yoga
Sutra. Untuk mengetahui perbedaan tersebut berikut akan disajikan tabel
agar lebih mudah untuk memahami.
Tabel 1.
Perbedaan
tahapan
yoga antara Yoga Sutra dengan Tattwa Jnana
No
|
Yogasutra
|
Tattwa Jnana
|
1
|
Yama
Brata
|
-
|
2
|
Nyama
Brata
|
-
|
3
|
Asana
|
Prathyahara
|
4
|
Pranayama
|
Dhyana
|
5
|
Prathyahara
|
Pranayama
|
6
|
Dhrana
|
Dhrana
|
7
|
Dhyana
|
Tarka
|
8
|
Samadhi
|
Samadhi
|
Berdasarkan tabel tersebut dapat kita lihat perbedaan
susunan yoga menurut kitab Tattwa Jnana dan
Yoga Sutra, perbedaan-perbedaan itu yaitu:
1.
Dalam Tattwa
Jnana tahapan Yama dan Nyama tidak dimasukan secara langsung
kedalam tingkatan yoga seperti dalam Yoga
Sutra.Dalam hal ini penulis
berasumsi bahwa Yama dan Nyama bukanlah tindakan yang hanya
harus dilakukan oleh orang ingin menekuni yoga saja, namun sudah merupakan
kewajiban bagi umat Hindu, karena Yama dan
Nyama merupakan etika dasar yang dapat dijadikan
patokan dalam perilaku kesehariannya. Selain itu penulis berasumsi bahwa
tingkatan yoga dalam Tattwa Jnana diperuntukan
bagi seseorang yang memiliki tingkat spiritual yang tinggi, dimana sudah mampu
menjalakan Yama dan Nyama dengan sempurna.
2.
Dalam Tattwa
Jnana tahapan Prathyahara diletakan
pada tingkatan pertama dalam hal penulis berasumsi bahwa karena tingkat
spiritual yang tinggi, sehingga Yama dan Nyama sudah dilaksanakan dengan sempurna dan tidak diragukan lagi, maka dengan sangat
mudah Prathyahara
(penarikan indrya dari
objek kesengannya) itu dilakukan.
3.
Kemudian susunan pranayama dalam Yoga sutra
Patanjali pranayama diletakan sebelum
Dhrana dan Dhyana. Sedangkan dalam kitab Tattwa
Jnana, Pranayama diletakan diantara Dhyana dan Dhrana. Menurut Yoga Sutra, Prana atau
nafas itu meliputi seluruh tubuh termasuk di dalam indrya, jadi
dengan mengendalikan nafas (pranayama)
kita dapat mengendalikan indria. Demikianlah perbedaan tahapan antara Yoga Sutra dengan Tattwa
Jnana.
2.6 Astaiswarya
dalam Tattwa Jnana
Dalam Tattwa Jnana
dinyatakan apabila sang Yogiswara telah menemukan Samadhi, ia dikatakan telah memiliki Astaiswaryan. Yang meliputi Anima, Laghima, Mahima, Prapti, Prakamya,
Isitwa, Wasitwa,
Yatrakama-wasayitwa. Dalam
tataran ini, sang Yogiswara telah
memiliki kekuatan sama dengan Tuhan/Iswara. Berikut adalah kutipan sloka terkait hal dimaksud.
Yapwan mangkana
lwir nikang samadhi kapangguh de Sang Yogiswara, wyakti sira makadrebya
kasteswaryan mangke ring sakala, apa sinangguh kateswaryan ngaranya anunggung
sampun manemwaken yogi wisesa hana kasiddhyan ngaranya, lwirnya nihan, anima,
laghima, mahima, prapti, prakamya, isitwa, wasitwa, yatrakamawasayitwa.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Bila demikian
halnya Samadhi yang ditemui oleh Sang
Yogiswara, maka nyata-nyata ia
memiliki Kastaiswaryan itu.
Dia yang sudah mendapatkan Yogi Wisesa.
Ada Kasidhyan namanya, yaitu: Anima, Laghima, Mahima, Prapti Prakamya, Isitwa,
Wasitwa, Yatra Kamawasayitwa.
2.6.1 Anima
Anima ngaranya,
ikawak Sang Yogiswara, ganal tambayan, wkasan-alit, suksma, ya ta matangnyan
Sang Yogiswara wenang sapanira, tan
katahan sira dening gunung watu, wenang ta sirasiluruping lemah, tan han
madhana keswaryanira, yeka sinangguh anima ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Anima ialah: badab Sang Yogiswara
pada mulanya kasar, akhirnya menjadi kecil halus. Itulah sebabnya Sang Yogiswara dapat bepergian keman saja, ia
tidak terhalang oleh gunung batu, dapat masuk ke dalam tanah. Tidak ada yang
menyamai kaiswaryan-Nya. Itulah yang
disebut Anima.
2.6.2 Lagima
Lagima
ngaranya, ikawakk Sang Yogiswara, abyetambyan, wkasana dhangan kadi kapuk, ya
ta matangnyan Sang Yogiswara ambaramarga anampak gagana, ajalantara, wenang
manampakk wye, yeka lagihima ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Lagima ialah, badan Sang Yogiswara pada mulanya berat kemudian ringan seperti kapuk. Itulah
sebabnya sang Yogiswara adalah
merupakan jalannya udara, menampak ruang angkasa, jalantara yaitu dapat
menampak air. Itulah Lagima mananya.
2.6.3 Mahima
Mahima ngaranya,
mara sira ring desantara, punya sinembah sira kinabaktyan sira, sparanittsna,
tan ginulung-gulung, yeka singangguh mahima ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Mahima ialah ia pergi ke daerah
lain, dipuja, disembah, dihormati, sejauh perjalanannya tiddak dipermainkan orang,
itulah
yang disebut mahima.
2.6.4 Prapti
Prapti ngaranya, teka
sakahyunirekang wastu, tanulihinganghel yeka prapti ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Prapti
ialah apa saja
keinginannya
dapat dapat dipenuhi, mendapatkannya tiada dengan susah payah, itu Prapti namanya.
2.6.5 Prakamya
Prakamya ngaranya wenang ta
siragawe rupa nir dadyanom dadyatuha, dadyalanang, dadyawalon, wenang ta sira
masuking jnana irikang rat kabeh, yeka sinangguh prakamya ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Prakamya
ialah ia dapat menjadikan wajahnya muda, tua, muda, menjadi laki-laki,
menjadi perempuan, dapat memasukkan batinnya pada semua orang. Itulah yang
disebut Prakamya.
2.6.6 Isitwa
Isitwa ngaranya, mara nira sira maring swarga
kahyangan, pinujainarcana sir dening watek dewata kbeh, atawi wenang sira
umadeh ikang waek dewat, ri kahyangan ira, tan hana dewata sumikareng sira apan
Bhatara mahulun hana ringawak Sang Yogiswara, yeka sinangguh isittwa ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Isitwa ialah ia pergi ke sorga,
ke kahyangan, ia dipuja, dihormati oleh para dewata semua, atau ia dapat
menundukkan para dewata di kahyangan. Tidak ada dewata yang merintangi
karena bhatara yang
menjadi junjungannnya itu ada diri Sang Yogiswara.
Itulah yang disebut Isitwa.
2.6.7 Wasitwa
Wasitwa
ngaranya, tan hana wenang langghana sawuwus nira, tan kahalangan sira ring
sakeccha nira, yeka sinngguh wasitwa ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Wasitwa ialah idak ada
orang yang dapat
melawan segala kata-katanya, ` tiada
yang merintangi segala keinginannya. Itulah yang disebut Wasitwa.
2.6.8 Yatrakamawasayitwa
Yatrakamawasayitwa
ngaranya, wenang sira tumimbah ikang watek dewata ngusa tmahnya, tan hana
wenang langghana sawuwus nira, tan kahalangan, sawalen,wenang ta sira sumawa
dewata, mangdadya manusa yang langghana ri sira, yeka sinangguh
yatrakamawasayitwa.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Yatrakamawasayitwa ialah: ia dapat memerintah para Dewata, berkuasa, tidak
ada yang dapat melawan segala kata-katanya, tiada rintangan, dapat mengutuk
para Dewata menjadi manusia bila menentang dia. Itulah yang disebut Yatrakamawasayitwa. (Mirsha, 1997 : 116-119)
Dalam konteks Tattwa
Jnana, Sang Yogiswara yang telah
yang telah purna dalam yoga akan memperoleh keajaiban-keajaiban dan kesaktian (sidhi). Jika kita kaitkan dalam ajaran
Yoga dari Pantanjali (Yoga Sutra),
Bab yang membahas tentang kekuatan dan keajaiban yang diperoleh oleh penekun
yoga ada pada bab 3 yaitu bagian Vibukti
Pada.
Daftar Pustaka
Adiputra, I Gede Rudia
dkk. Tattwa Darsana. Jakarta : Proyek
Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama.
Maswinara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarwa Darsana
Samgraha). Surabaya : Paramita.
Mirsha, I Gusti Ngurah Rai. 1997. Tattwa Jnana, Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar : Upada Sastra.
Pidarta, Made. 2005. Hindu
Untuk Masyarakat Umum Pada Jaman Pasca Modern. Surabaya : Paramita.
Saraswati, Swami Satya Prakas. 2004. Raja Yoga. Surabaya : Paramita
Tim Penyusun. 2003. Siwatattwa.
Denpasar : Tanpa Penerbit.
Watra, I Wayan. 2007. Pengantar
Filsafat Hindu ( Tattwa I). Surabaya: Paramita.
Yasa, I Wayan Suka dkk. 2006. Yoga : Marga Rahayu. Denpasar: Widya Dharma dan Tim PIA Fakultas Ilmu
Agama Universitas Hindu Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar